Pajak Dibenci Orang Kaya, Dicintai Kaum Duafa

 

Oleh: DR. Marwanto Harjowiryono, MA

Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal

 

Profesor Dennis J Ventry dari University of California Davis School of Law USA, menyatakan dalam pembukaan artikelnya yang berjudul  Americans Don’t Hate Taxes, They hate Paying Taxes (2011), bahwa orang Amerika benci pajak. American hate taxes, tegasnya. Sebelumnya, jawara kebijakan fiskal yang legendaris, Richard A Musgrave (1996) juga menggambarkan bahwa pajak itu  membuat seseorang tidak nyaman, bahkan menyakitkan.

Situasi serupa juga terjadi  di berbagai  negara maju. Kalangan  orang kaya, mengatakan bahwa mereka  tidak suka pajak. Kondisi ini dapat terjadi karena mereka terbiasa menggunakan filosofi manfaat dan pengorbanan dalam pengambilan keputusannya.  Pemikiran mereka dilandasi filosofi cost and benefit analisis . Bila ada biaya yang dikeluarkan, maka harus ada benefit atau keuntungan individu yang secara langsung dapat mereka nikmati.

Sedangkan pajak tidak menggunakan filosofi itu. Pembayar pajak dipaksa  untuk membayar kewajiban pajaknya sesuai dengan kemampuan finansialnya. Secara individu, mereka tidak diberikan kontra prestasi  secara langsung. Masyarakat secara luas yang akan menikmati hasil penggunaan pajak ini. Negara dapat memaksakan pungutan pajak ini dengan peraturan perundangan.

Realisasi sementara  APBN 2022  menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan mencapai Rp 2.034,5 triliun, atau sekitar 78%, sementara  penerimaan PNBP sebesar Rp 588,3 triliun atau 22% dari total pendapatan negara sebesar Rp 2.626,4 triliun. Dari jumlah penerimaan perpajakan tersebut, antara lain digunakan untuk  belanja menjalankan pemerintahan (belanja pegawai dan operasional) lebih dari 39%; belanja subsidi, dan bantuan sosial, serta  belanja transfer ke  daerah sekitar 60%.

 

Berdasarkan data tersebut, penerimaan perpajakan yang terkumpul sebagian besar digunakan untuk subsidi, bansos dan transfer, serta untuk membiayai jalannya pemerintahan. Sedangkan untuk belanja modal, dibiayai dari  PNBP dan pembiayaan defisit anggaran, yang mayoritas dari bersumber dari SUN. Pengelompokan ini  untuk tujuan analisis semata, sebab prakteknya, pada saat uang masuk rekening kas negara (RKUN) maka sumber pendapatan akan tercampur dalam satu keranjang kas negara.

Terlepas dari berbagai  keluhan pembayar pajak, terutama kelompok masyarakat mampu, pengelolaan pajak di Indonesia telah berhasil digunakan untuk mengatur jalannya perekonomian nasional. Dalam berbagai literatur utama kebijakan fiskal, pajak dikelola untuk berbagai fungsi. Fungsi pajak tersebut meliputi, atara lain fungsi anggaran (budgetair), fungsi redistribusi pendapatan (distribution), fungsi pengaturan (regulered), dan fungsi stabilisasi (stabilization).

Fungsi budgeter tercermin dari pajak  yang mampu menyumbang mengumpulkan pendapatan negara yang paling dominan. Di berbagai negara maju, penerimaan pajak ini mampu memberikan peran lebih dari 80% dari pendapatan negara. Sementara untuk Indonesia mencapai sekitar 78% di tahun 2022. Bila kinerja pajak dilihat dari rasio terhadap PDB, capaian penerimaan perpajakan kita masih belum optimal. Rasio tersebut pada 2022 sekitar 10,1%, sementara rata-rata negara dikawasan Asia Pasific mencapai 15%, sedangkan  rata-rata negara OECD berkisar 33%.

Sementara fungsi distribution pajak digunakan sebagai intrumen fiskal untuk meratakan pendapatan masyarakat. Orang yang berpenghasilan tinggi,  dan yang mengkonsumsikan barang dan jasa lebih mewah dan banyak, harus membayar pajak lebih tinggi. Sumber penerimaan dari  pajak selanjutnya  digunakan untuk membiayai program bagi rakyat kurang mampu, seperti subsidi dan kompensasi, bansos, program bantuan langsung tunai (BLT), program kartu pintar, kartu sehat, dan banyak program pengentasan kemiskinan lainnya.

Lebih lanjut, fungsi regulered pajak digunakan untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu yang perlu mendapatkan prioritas, seperti kebijakan pajak yang rendah (atau bahkan nol) bagi pajak UMKM, dan untuk berbagai hasil produksi dalam negeri. Namun pajak dapat juga digunakan untuk mengendalikan perkembangan sektor tertentu untuk menyeimbangkan dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional.

Akhirnya, masih ada fungsi pajak lainnya, yakni digunakan sebagai intrumen stabilisasi pada saat perekonomian menghadapi ekspansi yang berlebihan. Salah satu tujuannya adalah untuk mengendalikan inflasi.

BERITA TERKAIT

Wujudkan Kedaulatan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan   Pemerintah menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun…

KEM PPKF 2026 Menuju RAPBN 2026

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Setiap tahun, pemerintah memulai siklus penyusunan APBN dengan menyerahkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro…

Merger Bank Syariah, Peluang atau Tantangan?

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Tahun 2025 menjadi era baru bagi bank syariah di Indonesia—dimana banyak terjadi merger antar…

BERITA LAINNYA DI

Wujudkan Kedaulatan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan   Pemerintah menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun…

KEM PPKF 2026 Menuju RAPBN 2026

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Setiap tahun, pemerintah memulai siklus penyusunan APBN dengan menyerahkan dokumen Kebijakan Ekonomi Makro…

Merger Bank Syariah, Peluang atau Tantangan?

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Tahun 2025 menjadi era baru bagi bank syariah di Indonesia—dimana banyak terjadi merger antar…