Kendali Listrik Negara Masih Kuat - MESKI MK BATALKAN UU KETENAGALISTRIKAN NO 30/2009

Jakarta-Kementerian ESDM menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengenai pembatalan beberapa pasal dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, tidak sama sekali mengganggu proyek pemerintah. Bahkan menurut putusan itu semakin memperkuat rambut-rambu dan mendorong percepatan proyek 35.000 MW.

NERACA

“Putusan MK ini justru mendorong agar proyek tersebut dapat terlaksana dengan baik. Tentu saja Kementerian ESDM akan mengatur dan mengawasi pelaksanaannya agar senantiasa sesuai amanah UUD 1945, dan tetap mengawal agar sesuai dengan amanat putusan MK”, tegas Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Agus Triboesono di Jakarta, akhir pekan lalu.

Kendati begitu, pihaknya akan melakukan berkoordinasi untuk penyelarasan regulasi di sektor Ketenagalistrikan menyesuaikan dengan putusan MK berkaitan dengan pasal 10 ayat (2) serta pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.

Sebagaimana diketahui MK menyatakan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Apabila rumusan dalam Pasal 10 ayat (2) diartikan sebagai dalih praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa, akan menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.

Kemudian, menyatakan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) juga bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Namun, Kementerian ESDM menegaskan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan tidak perlu direvisi, meski Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan terkait pengujian UU tersebut terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi mengatakan, ‎Kementerian ESDM menghormati putusan MK.  Kementerian ESDM memastikan tidak ada revisi UU. Jika pelaksanaan UU ada yang tidak sesuai dengan putusan dari MK tersebut maka Kementerian ESDM akan melakukan penyesuaian.

"Keputusan harus dihormati. Kalau ada yang tidak seusai akan kami sesuaikan," ujarnya.

Putusan MK dengan Perkara Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015 tesebut, masih sejalan dengan pelaksanaan UU Ketenagalistrikan, karena peran negara berupa kontrol pemerintah masih ‎hadir meski pembangunan infrastruktur dilakukan pihak swasta. "Tidak sampai membatalkan UU, sepanjang pasal tidak dimaknai negara tidak sampai di sana," tutur Hufron.

Putusan MK Republik Indonesia No 111/PUU-XIII/2015 terkait UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, ternyata menimbulkan perbedaan tafsir antara Kementerian ESDM dengan PLN pada pemaknaan penguasaan negara.

Menurut ESDM, selama ini peranan negara telah hadir dalam mengontrol penyelenggaraan sektor kelistrikan. Dia mengemukakan bahwa hal itu bisa dilihat dari campuran tangan negara dalam hal penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen, penetapan wilayah usaha, perizinan, serta persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan.

“Kontrol Negara masih kuat. Yaitu adanya kontrol terhadap harga jual dan tarif listrik kepentingan umum. Tarif listrik masih dikontrol oleh Pemerintah dan DPR atau Gubernur dan DPRD,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Sujatmiko kepada pers di Kantor Kementerian ESDM, pekan lalu.

Dengan demikian penguasaan negara menurut ESDM terletak pada peran kebijakan fiskal, bukan berdasarkan monopoli oleh satu badan usaha. Namun sepertinya cara pandang dari PLN mengertikan penguasaan oleh negara hanya dikuasai oleh badan usaha yang mewakili negara.

Sujatmiko mengatakan, Permen itu akan sangat membantu elektrifikasi daerah-daerah yang belum teraliri listrik. Yang terpenting, Permen itu tidak bertentangan dengan ketentuan UUD dalam menjalankan amanat penguasaan negara. Karena, sewaktu Permen itu disusun, dasar pertimbangannya mengacu pada seluruh peraturan yang ada.

“Kalau kita baca dengan baik baik amar putusan MK mengatakan: tidak meniadakan peran serta seluruh komponen bangsa dalam penyediaan tenaga listrik, termasuk swasta, koperasi dan perusahaan. jadi diperbolehkan mengerahkan potensi yang ada untuk pemenuhan kebutuhan listrik. Jadi, Permen 38 tetap berlaku karena Permen 38 itu kita susun dengan menimbang, mengingat seluruh peraturan yang berlaku,” ujarnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa jika putusan MK saat ini dikaitkan dengan putusan MK pada tahun 2003, MK berpendapat tidak melarang keterlibatan bagi pihak swasta dalam penyedia listrik untuk kepentingan umum, sepanjang negara masih sebagai kontraktor atas penyelenggaraan aktifitas tersebut.

“Permen 38 itu kontrolnya tetap ada pada pemerintah, mulai dari izin wilayah, izin pembangunan, harga penjualan listik, tarif listrik ke masyarakat (kalau di pusat ESDM dengan DPR, namun Kalau di daerah tarif ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD), semua dikontrol oleh negara,” tegas Sujatmiko.

Sebagaimana diketahui bahwa MK telah memutuskan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan menyalahi atau inkonstitusional apabila pasal itu diartikan menjadi dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip “dikuasai oleh negara”.

Selanjutnya Kementerian ESDM akan mengevaluasi kembali seluruh peraturan terkait ketenagalistrikan untuk memenuhi amanat putusan MK. Hal ini ditujukan agar dalam kegiatan ketenagalistrikan yang menyangkut kepentingan umum tetap berdasarkan prinsip “dikuasai Negara”.

“Putusan MK tersebut sebagai rambu pengingat agar kebijakan di sektor ketenagalistrikan senantiasa mengacu pada Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 dan bertujuan mensejahterahkan rakyat,” tutur Sujatmiko.

Sejauh ini Kementerian ESDM meyakini putusan MK tersebut tidak menimbulkan pengaruh terhadap proyek listrik yang sedang diselenggarakan, hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan listrik telah mengacu kepada seluruh peraturan yang ada dan sejalan dengan amat UUD yang menekankan penguasaan negara.

Persetujuan DPR

Pengamat listrik dari UI Iwa Garniwa mengatakan, kebijakan menaikkan atau menurunkan tarif listrik yang dilakukan pemerintah harus berdasarkan persetujuan DPR. "Kapan naik-turun itu diperbincangkan, karena naik turun itu harus atas persetujuan DPR," kata Iwa seperti dikutip laman Liputan6.com, pekan lalu.

Menurut dia, sudah diamanatkan dalam Undang-Undang, namun jika tarif listrik ditetapkan tidak tetap atau berubah setiap bulan maka harus ada pembicaraan dengan DPR. "Kepada Undang-Undang ketenagalistrikan bahwa Undang-Undang itu berdasarkan Peraturan Pemerintah apabila disetujui DPR," tutur dia.

Dengan perubahan tarif yang tidak dilaporkan DPR tersebut, maka pemerintah telah menyalahi UU yang telah ditetapkan.

"Jadi hanya kata-kata aja, berarti di situ harus ada tabel tarif dasar listrik di tanda tangan pemerintah. Jadi menurut saya dia menyalahi UU kalau begitu mekanismenya," tegas dia.

Pemerintah dan Komisi VII DPR sepakat menggunakan mekanisme tarif listrik tidak tetap untuk empat golongan pelanggan yang sudah dicabut subsidinya tahun lalu. Nantinya tarif keempat golongan ini akan berubah setiap bulannya.

Keempat golongan pelanggan tersebut adalah rumah tangga besar (R3) dengan daya 6.600 VA ke atas, bisnis menengah (B2) dengan daya 6.600 sampai 200 kVA, bisnis besar (B3) dengan daya di atas 200 kVA, dan kantor pemerintah sedang (P1) dengan daya 6.600 hingga 200 kVA.

Sebelumnya Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengatakan, tarif listrik keempat golongan tersebut menggunakan skema penyesuaian secara otomatis (automatic tariff adjustment) mulai Mei 2014.

Pada bagian lain, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka menegaskan bahwa pengertian putusan MK tersebut sebagai pembenaran bahwa hanya PLN saja yang boleh menyelengarakan kelistrikan.

“Putusannya itu, PLN tidak boleh diprivatisasi, PLN memegang hak eksklusif untuk menjual listrik ke masyarakat. Konteksnya seperti itu menurut saya,” kata Made.

Bahkan jika ada Pemerintah Daerah yang melakukan pembangunan listrik, lalu dijual secara langsung ke masyarakat, menurut PLN tindakan itu bertentangan dengan UU. “Pemda-pemda yang jual listrik langsung ke masyarakat, itu nggak boleh lagi,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui MK telah membatalkan pasal 10 dan pasal 11 dari Undang-Undang (UU) no 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…