PELAYANAN BPJS KESEHATAN: - Pemerintah Tunda Penerapan Sistem KRIS

Jakarta-Pemerintah menunda penerapan sistem kelas rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan, yang seharusnya mulai 1 Juli 2025, diundur hingga akhir tahun. Sebelumnya, penerapan ditargetkan berlaku 1 Juli 2025, dengan mulai memasuki masa transisi pemberlakuan 30 Juni 2025. Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024. Ternyata masih ada sejumlah rumah sakit yang belum siap menerapkan model KRIS.

NERACA

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui masih ada sejumlah RS yang belum siap menerapkan KRIS. Dengan adanya ketidaksiapan di sejumlah faskes, termasuk terkait penerapan 12 kriteria yang perlu dipenuhi, masa transisi penerapan diperpanjang hingga akhir Desember 2025. “Dengan masih perlu adanya penyesuaian dan Perpres-nya, masa transisi implementasi KRIS diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2025,” ujar Budi seperti dikutip bergelora.com, Minggu (1/6).   

Rumah sakit di Indonesia yang ditargetkan menerapkan KRIS adalah 83,7 persen dari total 3.240 RS. Yang sudah bekerja sama dengan BPJS sebanyak 2.715 RS. Di sisi lain, yang tidak menjadi target KRIS adalah 80 RS yakni RS D Pratama, RS Bergerak, RS Lapangan.

Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene menyoroti rencana penerapan sistem KRIS dalam layanan BPJS Kesehatan. Felly menilai kebijakan ini berpotensi mengabaikan hak peserta yang selama ini membayar iuran lebih tinggi untuk layanan kelas satu.

Felly melontarkan kritik tersebut dalam rapat kerja Komisi IX dengan Menkes, DJSN, Dirut BPJS Kesehatan, PERSI dan ARSSI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5). "Kebijakan kelas standar harus memperhatikan keadilan dalam konteks kontribusi peserta, bukan sekadar pemerataan fasilitas semata," ujarnya.

Felly mengaku memahami konsep pelayanan kesehatan bagi orang mampu agar membayar sendiri pelayanan kesehatan yang diperolehnya agar tidak menjadi beban negara. Kondisi ini yang sudah terjadi selama ini. “Yang kami maksud yang selama ini bertahun-tahun, orang membayar untuk mendapatkan pelayanan lebih besar. bukan masalah keadilan itu,” tegas Felly.

Konsep asuransi kesehatan secara umum memang mengakomodasi perbedaan layanan berdasarkan iuran yang dibayarkan. Jika peserta sudah membayar iuran tinggi selama bertahun-tahun, dia menilai tidak adil jika mereka harus menerima layanan yang sama dengan peserta yang membayar jauh lebih murah.

“Bayangkan kalau satu keluarga ada tujuh orang, mereka bayar kelas satu lebih dari seratus ribu per orang setiap bulan. Totalnya bisa hampir satu juta. Masak mereka harus disamakan dengan peserta yang hanya bayar 36.000 rupiah per bulan?,” tanya Felly.

Subsidi silang tetap penting dalam sistem jaminan kesehatan nasional, namun hal itu tidak berarti mereduksi hak peserta yang telah berkontribusi lebih besar. Prinsipnya, menurut Felly, orang yang mampu memang harus membantu yang tidak mampu. Tapi bukan berarti mereka yang sudah bayar lebih, harus diturunkan pelayanannya. Karena itu, justru tidak adil.

Menurut Felly, tugas pemerintah dan Kementerian Kesehatan adalah mengklasifikasi layanan agar peserta yang telah membayar lebih, tetap mendapatkan fasilitas yang sesuai. Seperti layanan dan fasilitas kesehatan yang lebih nyaman, misalnya kamar mandi dalam standar yang telah ditetapkan.

Kriteria KRIS

Berdasarkan Pasal 1 ayat 4b Perpres Nomor 59 Tahun 2024, kelas rawat inap standar atau KRIS adalah standar minimum pelayanan rawat inap yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan. Penerapan KRIS menggantikan kelas BPJS Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan rawat inap peserta.

Selain itu, KRIS juga memberikan pelayanan satu kelas yang sama rata bagi pasien pengguna BPJS Kesehatan. Dengan begitu, pelaksanaan BPJS Kesehatan memenuhi ketentuan dan prinsip ekuitas atau keadilan. Penerapan KRIS juga sesuai dengan prinsip gotong royong yang diamanatkan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).  

KRIS BPJS Kesehatan harus memenuhi 12 kriteria fasilitas ruang perawatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 46A Perpres Nomor 59 Tahun 2024,  yang wajib dipenuhi sebagai berikut:

(1) Komponen bangunan yang digunakan tidak memiliki tingkat porositas yang tinggi; (2) Ventilasi udara memenuhi pertukaran udara pada ruang perawatan biasa minimal 6 kali pergantian udara per jam; (3) Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur; (4) Kelengkapan tempat tidur berupa adanya 2 kotak kontak dan nurse call pada setiap tempat tidur.

(5) Ada nakes per tempat tidur; (6) Dapat mempertahankan suhu ruangan mulai 20 sampai 26 derajat celcius; (7) Ruangan telah terbagi atas jenis kelamin, usia, dan jenis penyakit (infeksi dan non infeksi); (8) Kepadatan ruang rawat inap maksimal 4 tempat tidur, dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter; (9) Tirai/partisi dengan rel dibenamkan menempel di plafon atau menggantung; (10) Kamar mandi dalam ruang rawat inap; (11) Kamar mandi sesuai dengan standar aksesibilitas dan (12) Outlet oksigen.

 Cukup KTP

Di sisi lain, Asisten Deputi Bidang Komuniksi Publik dan Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah pernah mengatakan, saat ini peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa berobat gratis hanya dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut dia, hal tersebut dilakukan dalam upaya memberikan kemudahan layanan kepada peserta JKN dan untuk memberikan kemudahan bagi peserta BPJS Kesehatan. "Kami BPJS Kesehatan telah berkoordinasi dengan fasilitas kesehatan (faskes) untuk dapat melayani peserta JKN dengan hanya menunjukan KTP," ujarnya belum lama ini,   

Menurut dia, hal tersebut juga sejalan dengan komitmen BPJS Kesehatan dalam rangka transformasi mutu layanan dengan memberikan pelayanan yang mudah, cepat, dan setara. Selain itu, Rizzky menegaskan bahwa ketentuan terkait penggunaan KTP untuk sarana pengobatan gratis peserta BPJS Kesehatan juga telah disepakati oleh seluruh faskes dari tingkat 1 hingga 3. "Dan seluruh fasilitas kesehatan disepakati Janji Layanan JKN dalam memastikan pelayanan tersebut," jelasnya.

Adapun penerapan KTP sebagai identitas untuk sarana berobat peserta BPJS Kesehatan sudah dilakukan sejak Januari 2022. Sehingga, peserta BPJS Kesehatan hanya perlu menunjukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera di KTP untuk bisa mengakses layanan di fasilitas kesehatan. Peserta BPJS Kesehatan yang hendak berobat menggunakan KTP tidak perlu membawa berkas atau dokumen pendukung lainnya.

Menurut dia, penggunaan NIK sebagai nomor identitas peserta JKN akan meningkatkan akurasi data peserta secara terintegrasi. Di sisi lain, bagi peserta BPJS Kesehatan yang belum memiliki KTP dapat mengakses layanan kesehatan dengan menunjukkan Kartu Identitas Anak (KIA) ataupun NIK yang tercantum di Kartu Keluarga (KK).

Apabila ada Faskes menolak KTP, menurut Rizzky, masyarakat bisa melaporkan faskes yang tidak mau melayani pengobatan peserta BPJS Kesehatan menggunakan KTP. "Terdapat janji layanan kepada seluruh faskes untuk memastikan pelayanan tersebut berjalan. Apabila ada yang menolak dapat melaporkan ke BPJS Satu di RS," tegas dia. bari/iwan/fba

BERITA TERKAIT

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Ekonom : Swasta Harus Terlibat dalam Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…

PEMERINTAH MENAIKKAN ANGGARAN PENGADAAN MOBIL DINAS - DPR Kritik Keras Batalnya Diskon Tarif Listrik

  Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…

Paket Stimulus Belum Cukup Dongkrak Pertumbuhan 5%

    NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…