Jakarta - Kementerian Keuangan telah memastikan akan mempelajari daftar nama-nama orang Indonesia yang ada di “Panama Papers” untuk penegakan hukum. Sekitar 79% diantara cocok dengan data Ditjen Pajak yang diduga memiliki rekening di dua negara asing. Namun Indonesia kesulitan mendeteksi mereka karena masih lemahnya sistem informasi dan teknologi perpajakan.
NERACA
"Kami sudah melakukan pencocokan data “Panama Papers”, dan nama WNI yang kami yakini punya rekening di luar negeri. Kami menemukan kesamaannya 79%. Jadi di “Panama Papers” diyakini ada WNI yang punya rekening di luar negeri," ujar Menkeu Bambang PS Brodjonegoro dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR-RI di Jakarta, Senin (11/4).
Yang menarik, Bambang menyebutkan, dari nama-nama yang ada di “Panama Papers”, sebanyak 79% diantaranya cocok atau sama dengan data DJP yang berisikan nama-nama orang Indonesia yang diduga memiliki rekening di dua negara asing.
Menurut dia, Ditjen Pajak akan mengejar nama-nama yang ada di daftar tersebut. Meski diakui Bambang, bisa jadi beberapa nama yang memiliki akun di luar negeri sudah membayar kewajiban pajaknya. "Tetapi yang kita kejar bukan hanya pajaknya, tapi adalah kenapa aset tersebut tidak dilaporkan," ujarnya.
Oleh karena minimnya data-data untuk mengakses pajak, Kemenkeu berharap agar DPR mau mengecualikan kerahasiaan bank untuk kepentingan perpajakan. Bukan hanya pengecualian, akan tetapi kemudahan dalam mengakses.
Alasan lain, menurut Bambang, belum semua negara mau bertukar informasi perbankan dengan Indonesia, dengan alasan resiprokal, seperti Singapura. Sementara automatic exchange of information (AEoI) baru mulai seluruhnya 2018.
"Karena kalau kita hanya kejar WNI yang dari data dua negara, ada kemungkinan besar yang tidak di dua negara ini tidak menjadi sasaran kita," ujarnya.
Secara terpisah, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, sistem informasi dan teknologi (IT) pajak di Indonesia masih lemah. Akhirnya, perusahaan Indonesia yang bersembunyi dan membuat perusahaan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle-SPV) di negara yang menjadi suaka bagi para pengemplang pajak (tax haven) tak terdeteksi.
Menurut Darmin, negara tax haven memang menjadi idaman bagi para pengusaha di berbagai negara untuk membuat perusahaan SPV. Pasalnya, negara-negara tersebut memberlakukan sistem pajak yang berbeda dengan negara lainnya.
Sayangnya, pemerintah saat ini belum bisa melacak keberadaan pengusaha Indonesia yang membangun SPV di negara tax haven. Alasannya, sistem IT pajak belum mumpuni untuk melacak keberadaan mereka.
"SPV ada banyak. Tapi apa betul dia taruh uang banyak di sana ya kita tidak tahu. Karena IT kita belum begitu bagus untuk mengikuti itu," ujarnya di Brebes, kemarin.
Darmin mengatakan, akibat sistem IT pajak Indonesia yang masih lemah, pemerintah pernah kebobolan oleh salah satu konglomerat Indonesia yang banyak bergerilya di Hongkong dan Singapura.
"Jadi ada waktu itu kasus konglomerat di pajak, saya tidak usah bilang siapa. Kami telusuri sampai ke Hongkong, Singapura. Kemudian terakhir masuk ke sana, kami tidak bisa masuk lagi. Jadi selama IT bagus, sebenarnya bisa dicegah lebih awal," ujar Darmin.
Kalau saja sistem IT pajak di Indonesia sudah mumpuni, keberadaan perusahaan SPV yang dibuat para pengusaha Indonesia bisa terlacak. "Walaupun tidak bisa diakses apa yang terjadi disana, tapi dari negara lain kesana itu bisa terdeteksi. Memang kalau punya SPV itu patut dicurigai, tapi tidak bisa dibilang langsung salah?" ujarnya.
Berbagai Modus
Sebelumnya Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prasetyo menyebutkan ada sejumlah kategori isu pada “Panama Papers”. Pertama, dana yang dilarikan ke negara-negara suaka pajak atau tax haven dinyatakan murni investasi, baik itu dilakukan perorangan maupun perusahaan yang bertujuan untuk menjual obligasi, membeli saham, atau sekedar melakukan ekspansi bisnis.
"Kalau yang dilakukan itu murni investasi, itu bisa dikatakan legal," ujar Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/4).
Kedua, dana yg dilarikan ke negara-negara tax haven dilakukan dengan tujuan untuk menyembunyikan pundi-pundi hasil bisnisnya. Jika hal ini terjadi, upaya tersebut dinyatakan ilegal dan melanggar hukum. "Jika tujuannya untuk merahasiakan uang mereka di negara surga bebas pajak, maka hal itu adalah ilegal," katanya.
Ketiga, mereka melarikan aset-asetnya ke luar negeri dengan tujuan menghindari pajak. Dengan demikian, mereka tidak perlu mengelurkan cost lebih besar untuk membayar pajak.
Walau demikian, Prasetyo mengaku pesimistis pemerintah dapat bergerak cepat merilis nama-nama serta data transaksi yang bersangkutan. Pasalnya, menurut dia, mereka yang masuk dalam daftar adalah nama-nama besar yang juga memiliki kekuatan besar.
"Saya pesimistis bisa menembus itu (nama-nama besar) kalau pun bisa paling penyampaian informasinya tidak sampai ke permukaan," ujarnya.
Meski demikian, dia meyakini pemerintah akan berupaya sekuat tenaga untuk mengungkap itu semua. Saat ini adalah momentum yang tepat untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah serius menangani permasalahan perpajakan.
"Ini akan mendapatkan dukungan publik yang luas kalau dimanfaatkan, tapi kalau tidak dimanfaatkan, publik bakal beranggapan pemerintah melindungi orang yang diduga melakukan penggelapan pajak," ujarnya.
"Saya kira “Panama Papers” adalah puncak gunung es dari segala permasalahan pajak didunia, termasuk di Indonesia," tutur Prasetyo.
Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Yuli Kristiyono mengatakan, pihaknya sudah mulai mengumpulkan ceceran dokumen "Panama Papers" yang bisa diperoleh lebih dulu.
Bidang intelijen dan penyidikan pajak telah mengawali pengumpulan dokumen, mempelajari, dan mulai membandingkannya dengan SPT para wajib pajak. "Sekarang ini, kami masih mengumpulkan data yang sepotong-sepotong itu. Kami menunggu janji bahwa dokumen itu seluruhnya dirilis pada Mei 2016,” ujarnya di Jakarta.
Menurut dia, jika SPT pajak dari nama-nama di "Panama Papers" menunjukkan adanya anomali, pihaknya akan melakukan pemanggilan, dan meminta mereka membayar agar semuanya tuntas.
"Bila tidak clear, maka akan ada pemeriksaan," katanya.
Karena itu, kata Yuli, Ditjen Pajak masih menunggu "Panama Papers" ini dirilis. "Mudah-mudahan lengkap datanya sehingga kami lebih mudah mengerjakannya. Sebentar saja itu (pengerjaannya). Datanya detil sekali, bila dilihat (dari beberapa dokumen yang telah diperoleh), mulai transaksinya berapa, nomor paspornya, bisnis apa," ujarnya.
Bocornya dokumen "Panama Papers", kata Yuli, patut disyukuri. Menurut dia, ini merupakan kesempatan untuk menyelamatkan pendapatan negara. Karena itu, dia berharap, warga negara Indonesia yang tersangkut dengan dokumen itu nantinya tidak mempersulit proses ini.
"Itu uang untuk negara yang nantinya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, dan lainnya. Mudah-mudahan mereka sadar bahwa data seperti itu, uangnya seperti itu, ternyata SPT-nya kecil. Jadi, sebelum dipanggil, lebih baik bayar dulu. Itu akan lebih baik," katanya.
Tidak hanya otoritas pajak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah memutuskan untuk mendalami temuan ini. Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, pihaknya akan melakukan penelitian. "Yang pasti, kami memutuskan akan mendalami (dokumen “Panama Papers”)," kata Agus.
KPK tidak serta-merta melibatkan diri ke sana karena keterbatasan dari sisi jumlah penyidik.
Untuk itu, mereka berencana merekrut tenaga penyidik. Dengan rasio yang sehat antara jumlah penyidik dan kasus yang ditangani, kasus "Panama Papers" tentu tak luput dari penyidikan KPK.
"Kami merekrut orang karena tenaga KPK sangat kurang. Penyidiknya saja hanya 92 orang, dengan jumlah kasus yang banyak sekali," kata Agus.
Selain itu, Presiden Jokowi diminta memaksa Ditjen Pajak dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bergerak lebih cepat mengungkap dan menginformasikan ke publik terkait data-data transaksi yang telah dilakukan terkait skandal "Panama Papers".
"Presiden bisa paksa Dirjen Pajak, PPATK untuk merespon nama-nama yang ada di “Panama Papers” dengan merilis “Jokowi Papers”. Supaya publik tahu siapa saja daftar nama orang yang tidak bayar pajak itu," ujar Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/4).
Menurut Erwan, transparansi yang nantinya dilakukan pemerintah diharapkan bisa menjadi acuan agar nama-nama yang terindikasi tersebut bisa segera dilakukan penindakan. Menurut dia, keterbukaan di sektor pajak sangat penting. "Pajak itu terkait juga dengan unsur keadilan," ujarnya.
Presiden Jokowi sebelumnya mengatakan, sebelum muncul “Panama Papers”, pemerintah sudah memiliki data warga negara Indonesia yang menyimpan uang di luar negeri. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…