Jakarta-Komite Koordinasi Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang (Komnas TPPU) membentuk tim gabungan atau Satgas untuk mengusut kasus transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp349 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan. Keputusan pembentukan Satgas ini merupakan hasil rapat Komite TPPU di Kantor PPATK, Senin (10/4).
NERACA
"Komite akan segera membentuk Tim Gabungan/Satgas yang akan melakukan supervisi untuk menindaklanjuti keseluruhan LHA/LHP dengan nilai agregat sebesar lebih dari Rp349 triliun dengan melakukan case building (membangun kasus dari awal)," ujar Ketua Komnas TPPU Prof Dr Mahfud MD, kemarin.
Menurut dia, tim Gabungan/Satgas akan melibatkan PPATK, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Bareskrim Polri, Pidsus Kejagung, Bidang Pengawasan OJK, BIN, dan Kemenko Polhukam.
"Komite akan melakukan case building dengan memprioritaskan LHP yang bernilai paling besar karena telah menjadi perhatian masyarakat yakni dimulai dengan LHP senilai agregat lebih dari Rp189 triliun. Komite dan Tim Gabungan/Satgas akan bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel," tegas Mahfud MD.
Dia memastikan, tidak ada perbedaan data dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait transaksi mencurigakan Rp349 triliun di lingkungan Kemenkeu. Dia menjelaskan, sumber data yang dimiliki dirinya dan Sri Mulyani sama.
"Tidak ada perbedaan data antara yang disampaikan oleh Menko Polhukam sebagai Ketua Komite di Komisi III DPR tanggal 29 Maret 2023 dengan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan di Komisi XI DPR tanggal 27 Maret 2023, karena sumber data yang disampaikan sama, yaitu data agregat, data agregat itu uang keluar masuk, bukan seluruhnya itu nilai yang mutlak," ujarnya.
Mahfud menjelaskan, perbedaan laporan yang dianggap berbeda hanya karena klasifikasi dan penyajian data. "Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK tahun 2009-2023 terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang berbeda. Keseluruhan LHA/LHP mencapai 300 surat dengan total nilai transaksi agregat lebih dari Rp349 trilin,” ujarnya.
Menurut Mahfud, perbedaan laporan yang dianggap berbeda hanya karena klasifikasi dan penyajian datanya. "Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK tahun 2009-2023 terlihat berbeda karena cara klasifikasi dan penyajian datanya yang berbeda. Keseluruhan LHA/LHP mencapai 300 surat dengan total nilai transaksi agregat lebih dari Rp349 T," ujarnya.
Selain itu, Kemenko Polhukam mencantumkan semua LHA/LHP yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan. Baik LHA/LHP yang dikirimkan ke Kemenkeu, LHA/LHP yang dikirimkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) yang terkait pegawai Kemenkeu dengan membaginya menjadi tiga klaster.
Sedangkan, Kementerian Keuangan hanya mencantumkan LHA/LHP yang diterima. Serta tidak mencantumkan LHA/LHP yang dikirimkan ke APH yang terkait pegawai Kemenkeu. "Jadi ada yang ke Kementerian ada yang ke APH ini yang tidak dicakup itu saja bedanya," ujar Mahfud.
Selain itu, Komite TPPU bakal menelusuri lebih lanjut transaksi mencurigakan Rp 189 triliun yang diduga terjadi di lingkup Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Meski, perkara ini sudah pernah ditindak lewat jalur hukum.
Transaksi Emas Ilegal
Menko Polhukam menuturkan pihaknya akan menelusuri kembali berbagai hal yang perlu ditindaklanjuti. Sebelumnya, dia mengungkap perkara ini terkait ada nya pencucian uang dengan modus impor emas batangan ilegal.
Dia menjelaskan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dengan nilai transaksi agregat Rp 189.273.872.395.172 atau Rp 189 triliun, yang disampaikan oleh Menko Polhukam di Komisi III DPR-RI pada 29 Maret 2023 dan dijelaskan Menkeu di Komisi XI DPR-RI pada 27 Maret 2023.
Pengungkapan dugaan Tindak Pidana Asal (TPA) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sudah dilakukan langkah hukum terhadap TPA dan telah menghasilkan putusan pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK). "Namun Komite memutuskan untuk tetap melakukan tindak lanjut termasuk hal-hal yang selama ini belum masuk kedalam proses hukum (case building) oleh Kementerian Keuangan," ujar Mahfud.
Perlu diketahui, dugaan ini masuk dalam transaksi mencurigakan dengan nilai agregat Rp 349,8 triliun yang diduga melibatkan pegawai Kementerian Keuangan. Secara khusus, Komite TPPU juga akan membentuk tim guna melakukan penelusuran transaksi mencurigakan tersebut.
Dengan langkah awalnya adalah menyasar kasus dengan nilai terbesar Rp 189 triliun yang disebut Mahfud MD terjadi dengan modus impor emas batangan ilegal.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara membeberkan transaksi janggal Kementerian Keuangan senilai Rp189 triliun terkait kegiatan ekspor emas. Dia menjelaskan, pada Januari 2016 petugas Bea Cukai melakukan pencegahan ekspor emas batangan.
Kegiatan ekspornya dihentikan karena dalam perizinan disebutkan emas perhiasan. Sedangkan faktanya, yang diekspor emas batangan. "Dikatakan ekspor perhiasan tetapi ternyata isinya bukan perhiasan tetapi ingot (emas batangan) dan itu disetop BC," kata Suahasil dalam Media Briefing di Kemenkeu, Jumat (31/3).
Setelah dihentikan ekspornya, Bea Cukai melakukan pendalam terkait transaksi tersebut karena diduga ada potensi tindak pidana kepabeanan. “Maka ditindaklanjuti dengan penelitian penyidikan bahkan sampai ke pengadilan, tindak pidana kepabeanan,” ujarnya.
Kasus ini pun menjalani persidangan selama 3 tahun di meja hijau. Namun persidangan yang dimulai pada 2017 ini berbuah pil pahit karena putusan pengadilan di tahun 2019, Bea Cukai dinyatakan kalah. Tak puas dengan putusan tersebut, maka pemerintah melakukan kasasi dan dimenangkan Mahkamah Agung. "Di pengadilan negeri Bea Cukai kalah, lalu kasasi. Di kasasi Bea Cukai menang," katanya.
Atas putusan tersebut terlapor mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung. Hasil PK menyatakan Bea Cukai kalah dari terlapor. "Jadi dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanan, itu 2019," katanya.
Sementara itu, dalam pengungkapan tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus didahului oleh tindak pidana sebelumnya. Dalam konteks ini, maka karena dugaan tindak pidana kepabeanannya dibatalkan MA, maka pengungkapan kasus TPPU pun tidak bisa dilanjutkan. "Jadi tahun 2019 TPPU tidak maju, tapi perkara dari 2016 sampai 2019," ujarnya.
Selama tahun 2016-2019 ada berbagai pertukaran data antara Kementerian Keuangan dengan PPATK. Kemudian di tahun 2020, Bea Cukai kembali melihat modus yang sama di tahun 2016.
Suahasil mengatakan, Bea Cukai melibatkan PPATK, untuk meminta data transaksi demi mencari modus serupa. Laporan dari PPATK ini yang kemudian tindaklanjuti dengan berbagai macam rapat sampai Agustus 2020.
Dalam sebuah rapat Kemenkeu dan PPATK merancang strategi agar tuntutannya tidak dikalahkan pengadilan. Mengingat modus yang dilakukannya sama. Maka dengan logika tersebut. "Dengan logika itu maka pada Agustus 2020 disepakati, kalau tindak kepabeanan tidak kena, masukkan dengan kejar pajaknya. Sehingga PPATK kirimkan lagi, hasil pemeriksaan atau data kepada Pajak, itu dikirim Oktober 2020," ujarnya. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…