Jakarta-Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan iuran peserta BPJS Kesehatan tidak naik, meski pembayaran untuk kelas 1-3 dihapus dan digantikan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Dia tidak ingin tunggakan iuran yang kerap dilakukan peserta untuk kelas terbawah semakin menumpuk.
NERACA
Ghufron berharap tidak ada kenaikan iuran selama masa uji coba kelas standar BPJS Kesehatan sampai 2024. Dia pun menepis asumsi masyarakat, yang bilang iuran peserta kelas 3 akan naik dari Rp35.000 menjadi Rp50.000 hingga Rp75.000 per bulan.
"Sekarang aja kelas 3 membayar sekitar Rp35.000, Rp7.000 ada subsidi. Itu saja yang nunggak ada beberapa. Hitungannya jutaan orang (yang nunggak). Bayangkan kalau dua kali lipat, akan menunggak lebih banyak," ujar dia usai sesi public expose di Jakarta, pekan ini.
Dari sisi APBN, pemerintah saja harus menanggung full iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI). Belum lagi pemerintah masih harus menanggung subsidi Rp 7 ribu untuk peserta kelas 3. "Itu kalau dua kali lipat dari Rp 35 ribu menjadi Rp 75 ribu, Anda bisa bayangkan tidak beban APBN akan membengkak lagi," ujarnya.
Namun, Ghufron mengatakan, putusan final iuran kelas standar BPJS Kesehatan masih harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pemangku kepentingan terkait. "Banyak hal lagi yang harus diperhitungkan lebih seksama, lebih komprehensif. Sehingga bisa lebih hati-hati, lebih komprehensif," tutur dia.
Kementerian Kesehatan sendiri menargetkan penerapan kelas standar BPJS Kesehatan bisa diimplementasikan secara penuh di seluruh rumah sakit pada 2024.
Guna menggapai target tersebut, Kementerian Kesehatan bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tengah melakukan revisi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dan peraturan turunannya, termasuk Perpres 64/2020 yang mengatur soal pengenaan tarif iuran.
Adapun kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir terjadi per 1 Januari 2021, tepatnya untuk peserta kelas 3. Biaya yang harus dibayarkan naik dari Rp25.500 menjadi Rp35.000 per bulan.
Bila ditelisik lebih jauh, sebenarnya tidak ada kenaikan dalam iuran BPJS Kesehatan kelas 3, yakni sebesar Rp42.000. Adapun yang membedakan ialah besaran subsidi dari pemerintah, dari sebelumnya Rp16.500 menjadi hanya Rp7.000 untuk satu peserta.
Jika tak ada perubahan aturan, seharusnya iuran BPJS Kesehatan harus kembali disesuaikan per 1 Januari 2023. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 38 ayat (1) Perpres 64/2020. "Besaran iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali, dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum dan sekurang-kurangnya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar Iuran," ujarnya.
Belum Matang
Ghufron mengakui kebijakan penghapusan kelas 1-3 untuk peserta BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) belum jelas dan belum matang.
Secara target, kelas standar BPJS Kesehatan akan mulai diujicoba di 5 rumah sakit pada 2022 ini. Namun, Ghufron masih bingung bagaimana itu kelak diimplementasikan. Termasuk soal urusan iuran bagi para peserta selama masa uji coba. "Itu masih dalam perumusan, uji cobanya seperti apa. Karena dari sisi rumusan sendiri perlu dirumuskan, termasuk tujuan, definisinya seperti apa, kriterianya seperti apa, apakah fisik atau ada non-fisik," ujarnya.
"Obat contohnya, yang kadang-kadang kosong. Apakah jadi kewajiban dari sebuah kelas standar harus ada obat tersedia. Kalau tidak ada seperti apa? Perawatnya seperti apa, ada dokternya tidak?" tutur dia.
Ghufron lantas mempertanyakan kesiapan non-fisik rumah sakit untuk menerapkan skema kelas standar BPJS Kesehatan, semisal ketersediaan obat hingga tenaga medis. Itu semua di luar 12 kriteria fisik untuk kesiapan rumah sakit dalam implementasi KRIS seperti yang sudah disepakati. "Ini kan masih belum begitu jelas. Apakah hanya fisik dari sisi ventilasi, penerangan, partisi, jarak, tempat tidur dan lain sebagainya," kata dia.
Sebagai pihak pelaksana, BPJS Kesehatan banyak menerima keluhan dari para peserta soal kesiapan non-fisik dari rumah sakit yang justru sangat diperlukan. "Itu ada 10 keluhan terbanyak. Antara lain nomor tiga adalah obat, itu entah kosong, entah nambah lagi. Ini belum ada satu perumusan kesepakatan," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.
"Oleh karena itu di DPR kemarin untuk disepakati dulu, lalu diujicobakan. Diupayakan tahun ini (uji coba kelas standar BPJS Kesehatan terlaksana). Pokoknya semakin cepat semakin baik," tegas dia.
Tidak Relevan
Ghufron menilai, pemanfaatan kelas standar BPJS Kesehatan sudah tidak relevan jika dikaitkan dengan rencana pemulihan keuangan lembaga. Itu lantaran BPJS Kesehatan sudah tidak defisit lagi pada laporan keuangan 2021.
"Yang jelas BPJS Kesehatan berharap, fokusnya KRIS untuk tingkatkan mutu sekalian ekuitas. Tidak hanya tutup defisit, karena tidak relevan, karena sudah tidak defisit," ujarnya. Oleh karenanya, Ali mengatakan, pihaknya perlu duduk bersama dengan pemangku kepentingan lain semisal Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Kesehatan, guna merumuskan kebijakan implementasi KRIS.
Selain itu, pihaknya juga ingin melihat kesiapan rumah sakit untuk penerapan kelas standar BPJS Kesehatan. Sebab, ada sejumlah kriteria yang wajib dipenuhi rumah sakit untuk implementasi KRIS, seperti 1 kamar dengan 4 tempat tidur.
"Ada kriteria lain lagi, harus ada perumusan kembali dan kesepakatan tentang tujuan, tentang definisi KRIS, dan bagaimana kriteria, apakah fisik atau ada non-fisik," tuturnya. "Ini perlu rumusan lebih komprehensif, lebih matang. Perlu waktu untuk perumusan tersebut," tegas dia.
Sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyesuaian tarif Indonesian Case Based Group (INA CBGs) BPJS Kesehatan dilakukan untuk mengakomodasi tingkat inflasi yang terjadi setiap waktu.
Tarif INA CBGs merupakan metode pembayaran BPJS Kesehatan kepada rumah sakit melalui sistem paket per episode pelayanan kesehatan. Pembayaran ini mencakup rangkaian perawatan yang dilalui peserta dari awal sampai akhir.
Pemerintah, kata Menkes, sudah melakukan modelling dengan para aktuaris dengan adanya adjusment dari tarif kapitasi INA CBGs. Terhitung bahwa kondisi arus modal (cashflow) dan cadangan kumulatif BPJS Kesehatan masih tetap aman, bahkan cenderung meningkat.
"Memang BPJS Kesehatan ini bukan didesain sebagai profit organization, tapi sebagai organisasi yang melayani. Sehingga di mata regulator idealnya positif-nya (cashflow) tidak terlalu banyak. Sehingga bisa disalurkan bagi masyarakat," ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin (4/7).
Menkes menyatakan, pemerintah selaku regulator melakukan penyesuaian tarif INA CBGs, lantaran adanya penghapusan kelas 1-3 BPJS Kesehatan dan diganti menjadi KRIS. Selain itu, diharapkan INA CBGs bisa mengakomodir tingkat inflasi yang terjadi sejak penentuan tarif terakhir pada 2016.
Untuk peserta, penyesuaian ini akan memberikan akses yang lebih adil, akses yang lebih bijak, akses yang lebih dini intervensinya. Jadi ketika masih sehat pun mereka mendapatkan layanan ini. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…
NERACA Jakarta - Pengusaha mengaku kapok ikut menggarap proyek infrastruktur dan layanan publik pemerintah dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan…
Jakarta-Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat RI Mufti Anam mengritik keras terkait batalnya diskon tarif listrik bagi masyarakat. Dia…
NERACA Jakarta – Pemerintah telah merilis lima paket stimulus untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Namun begitu, Direktur Eksekutif…