NERACA
Jakarta - Tingginya kenaikan beberapa komponen biaya produksi seperti upah minimum provinsi (UMP) dan tarif listrik membuat industri tekstil dalam negeri tidak segan-segan untuk memindahkan pabriknya ke daerah lain, bahkan ke luar negeri. Di Jakarta, industri listrik mulai hengkang ke daerah lain.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat mengatakan, saat ini telah banyak industri tekstil yang pindah maupun bersiap-siap untuk pindah dari DKI Jakarta. Alasannya, dengan kenaikan UMP dan kenaikan tarif listrik yang berlaku mulai Mei 2014, membuat ongkos produksi melonjak.
Dia mengungkapkan, kebanyakan industri tekstil memilih untuk merelokasi pabriknya ke Jawa Tengah yang UMP-nya relatif lebih murah dibandingkan DKI Jakarta."Mereka nggak perlu dipaksa (untuk pindah). Ongkos produksi di sini, dengan yang di Jawa Tengah itu berbeda 100%. Hampir semua relokasi (bukan ekspansi)," ujar Ade di Jakarta, Selasa (29/4).
Selain kedua faktor tersebut, faktor pendorong lain yang membuat industri tekstil merelokasi pabriknya yaitu soal harga lahan yang lebih murah di Jawa Tengah, sehingga jika lahan bekas pabrik yang direlokasi di Jakarta dijual, maka pengusaha bisa mendapatkan keuntungan untuk bangun pabriknya lagi di Jawa Tengah. "Itu pola pikir dari pengusaha. Kalau pabrik di sini dijual, bisa dapat 10 kali lipat di Jawa Tengah. Di sana harga tanah paling Rp 100 ribuan per meter, di sini bisa sampai jutaan rupiah," lanjutnya.
Ade juga menjelaskan, dengan demikian, pada dasarnya industri apapun juga akan berorientasi pada bisnis properti sehingga saat di rasa lahan pabrik di wilayah Jabodetabek, terutama di Jakarta bisa dijual dengan harga tinggi, maka pengusaha akan memilih pindah ke wilayah lain yang harga lahannya lebih murah.
"Pada gilirannya, semua akan berorientasi pada bisnis properti, pengusaha teksil juga seperti itu. Misalnya dulu tanah di Tangerang harganya Rp 400 ribu per meter, sekarang sudah Rp 7 juta, ya mereka pilih pindahin pabrik. Jadi bangun pabrik juga jadi cara untuk bisnis properti, sambil lingkungannya berubah (sehingga harga lahan meningkat)," tandasnya.
Hal senada juga diungkap Ketua umum Asosisasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi. Menurutnya kenaikkan tarif listrik 38,9% (untuk I-3) dan 64,7% (untuk I-4)? Ini pemerintah memang benar-benar nggak mengerti bisnis.
Sofjan mengatakan, percuma pengusaha berdialog dengan pemerintah. Menurut dia, pemerintah sempat menyatakan akan mempertimbangkan usulan pengusaha yaitu kenaikan tarif listrik dilakukan bertahap per tahun, bukan dua bulan sekali. "Capek kita ajak bicara pemerintah, percuma," ujarnya.
Sofjan menegaskan, kenaikan tarif listrik tersebut akan sangat membebani dunia usaha. Padahal, pengusaha domestik tengah berjuang untuk bersaing dengan industri dari luar negeri. "Pastinya dengan naiknya tarif listrik yang diberlakukan pemerintah itu nanti, perusahaan banyak yang tutup, gulung tikar karena kalah bersaing dengan produk dari luar negeri. Impor akan meningkat lagi, lihat saja nanti," paparnya.
Untuk itu, Sofjan mendesak pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan tarif tenaga listrik yang akan berlaku Mei. Kebijakan tersebut memberatkan sektor industri hulu yang banyak mengonsumsi listrik.
"Kenaikan ini dampaknya besar sekali, terutama terhadap sektor industri hulu. Lebih baik pemerintah menaikkan tarif listrik untuk rumah tangga untuk mengurangi subsidi daripada membuat kebijakan yang memicu tutupnya industri," kata dia.
Menurut Sofjan, pengusaha harus menaikkan harga produk 15% untuk mengimbangi kenaikan tarif tenaga listrik 38,9%. Ini sangat sulit karena sekarang persaingan produk domestik dan impor di pasar dalam negeri sangat sengit sehingga kenaikan harga belum menjadi pertimbangan. Dampak negatif kenaikan tarif tegangan listrik baru akan terlihat secepatnya tiga bulan sampai setahun. Pengusaha yang sudah tidak sanggup lagi akan memilih mengurangi kapasitas produksi dan merasionalisasi pekerja.
Sebelumnya, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Franky Sibarani, mengatakan kalangan pengusaha sedih terhadap kebijakan pemerintah yang akhirnya menaikkan tarif listrik secara bertahap mulai 1 Mei 2014. Kalangan industri Indonesia berduka dan menjadi korban kebijakan populis dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat dalam membuat kebijakan energinya.
Pelaku usaha industri hulu yang harus menopang industri hilir harus menanggung beban kenaikan TTL hingga 64% khususnya untuk golongan I-4. Selain itu, terkait kenaikan tarif untuk golongan I-3 yang merupakan pelaku usaha perusahaan terbuka (Tbk) justru kontra produktif dan diskriminatif.
"Hal ini jelas diskriminasi terhadap perusahaan Tbk (go public), padahal pemerintah mendorong peningkatan perusahaan publik dengan memberikan insentif," ujarnya.
NERACA Jakarta - PT Pertamina International Shipping (PIS), subholding integrated marine and logistic dari PT Pertamina (Persero), kembali menegaskan perannya…
NERACA Jakarta - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bersama Koalisi Pemerintah Kabupaten Penghasil Kelapa (KOPEK) sepakat untuk mempercepat pengembangan…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengapresiasi kinerja PT Yuasa Battery Indonesia, salah satu pabrikan aki kendaraan terbesar Indonesia, yang…
NERACA Jakarta - PT Pertamina International Shipping (PIS), subholding integrated marine and logistic dari PT Pertamina (Persero), kembali menegaskan perannya…
NERACA Jakarta - Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bersama Koalisi Pemerintah Kabupaten Penghasil Kelapa (KOPEK) sepakat untuk mempercepat pengembangan…
NERACA Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengapresiasi kinerja PT Yuasa Battery Indonesia, salah satu pabrikan aki kendaraan terbesar Indonesia, yang…