Jakarta – Hasil pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belakangan ini rata-rata cukup tinggi yaitu 6% per tahun, ternyata pembagian “kue” pembangunannya tidak merata. Tidak mengherankan jika Bank Dunia menilai tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini masih memprihatinkan. Menurut Bank Dunia, ada sekitar 75% penduduk di Indonesia yang hidup dengan uang kurang dari US$ 4 atau setara Rp 40.000 per hari.
"Sebanyak 75% dari penduduk Indonesia hidup dengan uang kurang dari US$ 4 per hari dibanding negara berkembang lain. Padahal biaya hidup makin tinggi," ujar Director World Development Report Bank Dunia Norman Loayza, saat acara Peluncuran World Development Report 2014 oleh Bank Dunia di Paramadina Public Policy Institute, Jakarta, Kamis (24/4).
Menurut Norman, pemerintah perlu menerapkan pengelolaan risiko untuk mengantisipasi tingginya angka kemiskinan ini. Pendekatan pengelolaan risiko ini diharapkan bisa membentuk ketangguhan, melindungi hasil pembangunan dan mendekatkan Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem, serta meningkatkan kesejahteraan bersama.
Hasil penelitian Bank Dunia tersebut tentu sangat terkait dengan tingkat kesenjangan (ketimpangan) ekonomi di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir semakin melebar seperti yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini.
BPS menjelaskan bahwa kelompok kaya lebih mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi selama ini. Pada 2008, 40% penduduk Indonesia dikelompok pendapatan terendah masih menikmati PDB (pendapatan domestik bruto) antara 21%-23% namun porsi itu anjlok menjadi 16% pada tahun 2012. Sebaliknya, 20% penduduk terkaya yang pada 2008 sudah menikmati 40% PDB, melonjak menjadi 49% pada 2012. Jadi membuktikan bahwa yang kaya semakin kaya sementara yang miskin semakin melarat.
Salah satu indikator standard ketimpangan ekonomi adalah Rasio Gini, dimana kisaran nilai rasio itu antara nol (0) dan satu (1). Artinya, jika angka koefisien semakin mendekati 1 maka distribusi pendapatan semakin timpang dan apabila mendekati 0 maka semakin merata.
Koefisien Gini Indonesia pada 2011-2012 dan 2012-2013 tercatat sebesar 0,41 yang berada dalam koridor ketimpangan sedang. Karena sepanjang sejarah perekonomian Indnesia, pertama kalinya Rasio Gini menembus angka 0,4. Tentunya ini sesuatu yang serius dan pemerintah perlu menyikapi dengan langkah-langkah serius.
Sebab, kesenjangan ekonomi terkait erat dengan kemiskinan karena secara mendasar adalah indikator kemiskinan relatif, yaitu kesenjangan antara golongan kaya dan miskin. Rendahnya ketimpangan, atau semakin meratanya distribusi pendapatan, tentunya merupakan salah satu agenda penting pembangunan ekonomi.
Jadi suatu distribusi pendapatan makin merata jika nilai koefisien Gini mendekati nol. Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Rasio Gini-nya mendekati satu.
Tantangan Berat
Sementara itu, ekonom senior Bank Dunia Vivi Alatas menambahkan, pemerintah Indonesia harus fokus membenahi bidang kesehatan. Dengan membaiknya kesehatan, masyarakat mampu meningkatkan produktivitas pekerjaan.
Karena itu, siapa pun presiden yang terpilih dalam pilpres nanti akan menghadapi tantangan yang berat. Krisis ekonomi global dan pertumbuhan ekonomi domestik yang masih ditopang oleh produk primer membuat perekonomian Indonesia rentan.
“Kita juga mempunyai masalah serius, ketimpangan ekonomi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas dengan masyarakat miskin bukan makin menurun justru makin bertambah. Ketimpangan ekonomi di Indonesia naik sekitar 0,1 hingga 0,14 setiap tahun,” ungkap Rektor UGM Pratikno pada upacara wisuda pascasarjana UGM, kemarin.
Selain ketimpangan ekonomi, Indonesia juga memiliki ketimpangan harga antarpulau sebagai akibat kurang meratanya proses pembangunan dan buruknya infrastruktur yang menghubungkan wilayah.
"Konektivitas kita masih sangat lemah. Kita butuh pemimpin yang kuat dan punya komitmen pada kemajuan Indonesia, memenangkan Indonesia di persaingan global termasuk di rumahnya sendiri," tegas Pratikno.
Sebagai negara yang menganut sistem presidensial, menurut dia, presiden memiliki otoritas penuh dalam membuat keputusan dan kebijakan di bidang pembangunan nasional. Terlebih, tak ada lagi rumusan konsep pembanguman semacam GBHN yang dulu pernah ada.
“Presiden RI mendatang yang menjadi pilihan rakyat diharapkan memiliki moralitas tinggi, sikap keteladanan dan kesederhanaan, serta memiliki komitmen terhadap perbaikan nasib bangsa karena kepemimpinan dan terobosan kebijakan yang dimiliki presiden tentu memiliki implikasi serius bagi masyarakat nantinya,” ujarnya.
Menurut anggota Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Suahasil Nazara, jaminan kesehatan penduduk Indonesia sudah diamanahkan oleh pemerintah kepada (BPJS) Kesehatan. Saat ini, sedikitnya 113 juta orang sudah tercover jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan.
"Saat ini penduduk yang sudah tercover jaminan kesehatan dari BPJS sekitar 113 juta orang. Dari angka itu, 15% membayar iuran sendiri atau dari pengusaha, sedangkan sisanya dibiayai pemerintah karena masuk dalam golongan miskin," ujarnya. mohar/fba
Jakarta-Ketua Komite Tetap Perencanaan Ekonomi dan Moneter, Bidang Perencanaan Pembangunan Nasional Kadin Indonesia, Ikhwan Primanda mengungkapkan sektor industri pengolahan…
NERACA Jakarta - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) , Suroto mengatakan semenjak diterbitkan Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang…
Jakarta-Pemerintah melalui Perpres No. 46/2025 khususnya terkait besaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang semula minimal 40%, kini dapat…
Jakarta-Pemerintah melalui Perpres No. 46/2025 khususnya terkait besaran tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang semula minimal 40%, kini dapat…
NERACA Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 hanya mencapai 4,87%, mengalami…
Jakarta-Meski Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan di antara negara anggota G20, pertumbuhan ekonomi RI diposisi kedua setelah China. Data…