Legislator: Penanganan Kasus CPO Harus Lihat Pendekatan Psikososial

NERACA

Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyatakan penanganan kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya pada tahun 2022, yang juga melibatkan suap terhadap hakim, harus melihat pula dari aspek pendekatan psikososial.

"Kejahatan korporasi ini membuat rakyat kesulitan mencari minyak goreng, belum lagi harganya juga menjadi selangit. Muncul kegaduhan di tengah masyarakat. Jadi, penanganan kasusnya juga harus melihat dari pendekatan psikososial," kata Gilang dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (19/6).

Menurut dia, skandal kasus tersebut juga membuka kembali luka lama masyarakat yang dulu kesulitan mendapatkan minyak goreng pada tahun 2022.

"Publik masih sangat ingat betul bagaimana minyak goreng menghilang dari rak-rak toko, harga meroket, dan antrean panjang terjadi di mana-mana. Sekarang kita tahu, ternyata ada permainan besar yang membuat rakyat sengsara demi keuntungan korporasi," ujarnya.

Menurut Gilang, kasus yang membuat hakim bisa disuap oleh industri sawit raksasa itu merupakan skandal besar yang dikhawatirkan berpengaruh pada kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

"Vonis lepas (ontslag van alle recht vervolging) yang diberikan kepada Wilmar Group dan sejumlah korporasi sawit lainnya tidak hanya merusak asas keadilan, tetapi juga menghambat upaya penegakan hukum terhadap korporasi yang nyata-nyata menyebabkan kerugian publik," tuturnya.

Dia menambahkan kasus tersebut juga menjadi indikator bahwa mafia hukum dan mafia pangan saling berkelindan karena korupsi di sektor strategis seperti CPO tidak hanya soal penggelapan dana, tetapi berimbas langsung pada hajat hidup orang banyak.

"Ketika korporasi bisa menyuap hakim demi vonis lepas maka keadilan menjadi barang dagangan dan masyarakat menjadi korban dua kali. Saat minyak goreng langka dan saat pelaku dilepaskan dengan skema hukum yang dimanipulasi," katanya.

Untuk itu, dia menegaskan bahwa kasus ekspor CPO tidak boleh berhenti pada penyitaan uang dan penetapan tersangka saja, tetapi harus ada proses hukum yang transparan dan menyeluruh sampai pada pihak pemberi maupun penerima suap.

"Kasus ini harus ditangani secara tuntas, tidak cukup hanya dengan penyitaan uang dan menetapkan tersangka. Proses hukum harus berjalan transparan dan menyeluruh, menyasar semua pihak yang terlibat," paparnya.

Gilang menambahkan kasus tersebut juga menjadi pengingat bahwa sistem hukum di Indonesia masih memiliki celah untuk dikendalikan kekuatan kapital besar sehingga hal tersebut perlu segera diatasi.

"Jika korporasi bisa membeli keputusan pengadilan, maka jangan heran jika ketimpangan sosial dan ketidakadilan terus melebar," ucapnya.

Gilang mendorong pula Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Kejaksaan Agung melakukan pembersihan internal secara serius sebab penegakan hukum tidak boleh tunduk pada logika pasar dan transaksi kekuasaan.

"Skandal Wilmar ini bukan hanya soal integritas satu-dua hakim, tetapi tentang bagaimana sistem peradilan bisa dimanipulasi untuk melindungi oligarki yang merugikan rakyat," ujarnya.

Terakhir, dia menuturkan Komisi III DPR juga mendorong pembentukan panitia khusus atau rapat kerja khusus untuk menindaklanjuti persoalan tersebut secara tuntas dan menyeluruh.

"Tidak boleh ada lagi ruang kompromi untuk praktik suap dalam proses peradilan terlebih dalam perkara yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat secara luas," kata dia.

Sebelumnya, Selasa (17/6), Kejaksaan Agung menyita uang sekitar Rp11 triliun dari terdakwa korporasi PT Wilmar Group terkait perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya tahun 2022.

Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Sutikno dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa mengatakan bahwa uang triliunan tersebut disita dari lima terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group.

Kelima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

"Kelima terdakwa korporasi tersebut di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat telah diputus oleh hakim dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum sehingga penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi yang hingga saat ini perkaranya masih ada dalam tahap pemeriksaan kasasi," katanya. Ant

 

 

 

BERITA TERKAIT

Hirup Udara Bebas, Mantan Terpidana Pemalsuan Surat Magang Advokat di Kotabaru, Dikabarkan Mau Sumpah Advokat Lagi

NERACA Kotabaru - Eks Narapidana MHH yang pernah kena kasus pemalsuan surat magang advokat di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan…

Akademisi UGM Usul Pembentukan Satgas Pengawasan Tambang

NERACA Yogyakarta - Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) pengawasan tambang untuk…

Pemerintah Berhasil Takedown 2 Juta Situs Judi Daring - Fokus pada Edukasi dan Perlindungan Anak

NERACA Jakarta — Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) terus menunjukkan komitmennya dalam memberantas praktik Judi Daring. Hingga pertengahan…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Hirup Udara Bebas, Mantan Terpidana Pemalsuan Surat Magang Advokat di Kotabaru, Dikabarkan Mau Sumpah Advokat Lagi

NERACA Kotabaru - Eks Narapidana MHH yang pernah kena kasus pemalsuan surat magang advokat di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan…

Legislator: Penanganan Kasus CPO Harus Lihat Pendekatan Psikososial

NERACA Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Gilang Dhielafararez menyatakan penanganan kasus korupsi ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO)…

Akademisi UGM Usul Pembentukan Satgas Pengawasan Tambang

NERACA Yogyakarta - Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Hatma Suryatmojo mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) pengawasan tambang untuk…