Jakarta-Akademisi dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Pemerintah sebaiknya kegiatan canvassing pelaku usaha di pertokoan maupun pusat perbelanjaan untuk meningkatkan jumlah wajib pajak (WP).
NERACA
“Tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak. Otoritas perlu mengincar pelaku usaha, termasuk sektor informal, daripada buruh untuk meningkatkan jumlah wajib pajak,” ujar Prianto Budi Saptono, staf pengajar ilmu administrasi fiskal UI.
Prianto mendorong petugas KPP (Kantor Pelayanan Pajak) melakukan ekstensifikasi melalui kegiatan canvassing atau menyisir pelaku usaha di pertokoan atau pusat perbelanjaan. Selain itu, dia menekankan pentingnya KPP bekerja sama dengan Bapenda di masing-masing provinsi dan kabupaten/kota melalui program joint monitoring atau pemantauan bersama.
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia itu menilai instansi pemerintah pusat dan daerah tersebut dapat melakukan pertukaran data melalui proses pengocokan data atau data matching. "Otoritas juga dapat memfokuskan ekstensifikasinya ke sektor underground economy [ekonomi bawah tanah] yang transaksinya bukan merupakan transaksi terlarang," ujar Prianto seperti dikutip Bisnis.com, Rabu (14/5).
Secara terpisah, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajri Akbar menilai selama ini rasio pajak di Indonesia cenderung rendah karena permasalahan struktur ekonomi. Dibandingkan negara yang setara, masyarakat Indonesia masih lebih banyak yang memiliki pendapatan rendah.
Dia mencontohkan laporan Bank Dunia yang menyebutkan jumlah orang miskin Indonesia (60,3%) jauh lebih besar dibandingkan negara lain seperti Filipina (50,6%), Vietnam (18,2%), Thailand (7,1%), hingga Malaysia (1,3%).
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sambungnya, juga mengungkapkan rata-rata upah buruh di Indonesia hanya Rp3,09 juta per bulan pada Februari 2025. Angka tersebut masih di bawah ambang batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sebesar Rp4,5 juta.
Oleh sebab itu, Fajry menyebut jika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ingin melakukan ekstensifikasi basis pajak, maka penurunan ambang batas PTKP bukanlah solusi karena tidak akan menambah nominal penerimaan pajak secara signifikan namun hanya memperbesar jumlah wajib pajak yang melapor.
"Di sisi lain, terdapat potensi penambahan beban administrasi dan pengawasan bagi otoritas pajak. Jika beban tersebut lebih besar dibandingkan penerimaan yang dihasilkan, artinya kan tidak feasible untuk dilakukan, bukan?" ujar Fajry.
Seperti diketahui, wacana penurunan PTKP pajak termasuk yang disorot oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Lembaga ekonomi yang berpusat di Prancis dan memiliki 38 anggota negara ekonomi maju itu menyarankan agar pemerintah Indonesia menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) guna meningkatkan penerimaan negara pada November 2024.
Saat ini, pemerintah menetapkan PTKP senilai Rp54 juta per tahun atau dengan pendapatan Rp4,5 juta per bulan. Sementara pajak dengan tarif 5% mulai berlaku bagi individu yang menerima upah Rp60 juta per tahun. OECD menilai bahwa ambang batas tersebut sangat tinggi atau sekitar 65% dari produk domestik bruto (PDB) per kapita. Selain itu, golongan pajak dengan tarif 25% dimulai pada pendapatan di atas Rp250 juta atau 300% dari PDB per kapita.
Saat ini saja, menurut Fajri, rasio jumlah wajib pajak terhadap account representative atau petugas pajak sudah terlalu lebar. Meskipun demikian, dia mengakui bahwa ekstensifikasi wajib pajak orang pribadi masih tetap perlu dilakukan, namun harus tepat sasaran. Sasaran ekstensifikasinya, tegas Fajry, haruslah mereka yang akan menambah penerimaan secara signifikan.
Selain itu, dia menekankan perlunya otoritas pajak meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat, misalnya terkait hal-hal teknis seperti cara melaporkan SPT. Fajry juga menilai selama ini masyarakat enggan membayar pajak karena tidak merasakan adanya keuntungan yang didapatkan.
Dia mencontohkan di Amerika Serikat (AS) terdapat kebijakan yang disebut EITC (Earned Income Tax Credit). Lewat kebijakan EITC, jika masyarakat melapor pajak, mereka bisa mendapatkan kredit pajak semacam BLT (Bantuan Langsung Tunai).
"Jadi orang akan dengan sendirinya terdorong untuk melaporkan SPT. Tapi kita masih terlalu jauh untuk ke sana. Kuncinya menurut saya ada pada edukasi dini bahwa ada kewajiban melapor SPT jika sudah memenuhi syarat objektif dan subjektif," ujarnya.
Perbedaan Data
Lebih lanjut, Fajry menilai salah satu masalah utama di Indonesia adalah data yang kerap berbeda antarinstansi. Padahal, upaya ekstensifikasi memerlukan data yang dapat dipercaya dan akurat—baik dari pihak ketiga maupun dari data lapangan. "Maka sulit untuk melakukan ekstensifikasi secara tepat sasaran," ujarnya.
Di sisi lain, Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti menyatakan pihaknya akan terus berupaya meningkatkan basis pajak. Caranya, DJP telah melakukan kegiatan ekstensifikasi untuk menambah jumlah wajib pajak aktif dan WP baru seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2019.
"Disebutkan bahwa pemberian NPWP dalam rangka ekstensifikasi dilaksanakan terhadap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak," kata Dwi.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk meninjau kembali sistem perpajakan nasional. Dalam peringatan Hari Buruh di Monas, Jakarta, Kamis (1/5), Presiden menyampaikan pentingnya menciptakan keadilan fiskal yang berpihak pada masyarakat berpenghasilan rendah. “Saya akan pelajari kembali masalah pajak. Pajak besar itu untuk orang yang penghasilannya besar. Kalau gajinya kecil, ngapain dikenai pajak? Tapi kalau bisa bayar sedikit, ya dibayar sedikit-sedikit saja,” ujarnya di hadapan ribuan buruh yang memadati Monas.
Kepala Negara pun menyampaikan bahwa kebijakan perpajakan yang adil bukan hanya soal keuangan negara, tetapi juga menyangkut keberlangsungan ekonomi secara keseluruhan.
Kalau orang yang penghasilannya rendah punya cukup uang, mereka akan punya daya beli. Mereka beli sepatu, baju, motor. Maka pabrik hidup, ekonomi bergerak,” ujarnya. Lebih lanjut, Prabowo menyebut Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan dibentuk pemerintah juga akan dilibatkan dalam memberi masukan soal kebijakan perpajakan terhadap buruh.
Perlu diketahui, pemerintah saat ini menambahkan kategori penghasilan kena tarif 30% untuk penghasilan Rp500 juta hingga Rp5 miliar. Sementara individu dengan penghasilan lebih dari Rp5 miliar, dikenakan tarif PPh 35%. Artinya, keputusan pemerintah lebih baik dengan mengejar pajak dari orang kaya ketimbang memburu pajak dari lapisan masyarakat kelas menengah dengan menurunkan PTKP. bari/mohar/fba
NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…
NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…
Jakarta-Meski paylater bisa menjadi sinyal positif dari sisi inovasi keuangan dan inklusi, penggunaannya yang meningkat juga bisa menjadi sinyal…
Jakarta-Akademisi dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…
NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…
NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…