PENOLAKAN RPMK DAN PP 28/2024: - DPR: Jangan Lihat dari Sudut Kesehatan Saja

Jakarta-Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo meminta kepada seluruh pihak untuk melihat permasalahan penolakan berbagai asosiasi lintas sektoral terhadap rancangan peraturan menteri kesehatan (RPMK) dan PP No. 28/2024 tidak hanya dari sudut pandang kesehatannya saja, tetapi juga perlu menelisik keseimbangannya. Karena faktanya, tembakau adalah komoditas unggulan nasional yang sangat digantungkan oleh jutaan orang mulai dari buruh pekerja, petani tembakau, dan peritel beserta keluarganya.

NERACA

Rahmad juga menyoroti ketika ada kebijakan yang berimplikasi buruk terhadap sektor pertembakauan nasional. Artinya dampak negatif jelas akan menghimpit industri hasil tembakau secara keseluruhan dari hulu hingga ke hilir dan berimplikasi kepada masyarakat secara luas.

Hal ini semakin mengkhawatirkan, apalagi di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di berbagai sektor industri. Sehingga, perumusan aturan diharapkan dapat berimbang, mempertimbangkan dampaknya, dan tidak memunculkan masalah baru.

“Kita harus balance dalam membuat kebijakan. Pengendalian itu harus, tapi jangan menyelesaikan masalah dengan memunculkan masalah baru. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif yang baru,” ujarnya, Minggu (15/9).

Sebelumnya berbagai lapisan masyarakat terdampak mulai dari asosiasi pengusaha, petani, hingga peritel, menyuarakan penolakan terhadap kebijakan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Besarnya kekhawatiran pihak terdampak disoroti oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang ikut menyayangkan kemunculan aturan ini karena dinilai sangat diskriminatif terhadap produk tembakau dan keberlangsungan mata rantainya.

Selain itu, Rahmad juga menyoroti banyaknya kebijakan yang telah dirasakan oleh sektor pertembakauan seperti kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) eksesif yang telah mendorong penyebaran rokok ilegal. RPMK yang memaksa kemasan rokok polos tanpa merek diyakini kian memperparah kondisi sebelumnya.

“Terkait dengan pihak yang harus dilindungi, saya mengajak semua pihak untuk menyelesaikan dengan duduk bersama. Karena prevalensi perokok itu bisa ditekan, yang penting kan prevalensinya menurun. Ketika banyak penolakan, ini pun banyak yang setuju. Jalan keluarnya adalah titik temu, jadi silakan berembuk dan mencari solusinya bersama,” ujarnya.

Dari sisi ketenagakerjaan, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan menekankan bahwa aturan inisiatif Kemenkes ini jelas merugikan berbagai sektor karena cenderung mengabaikan fakta bahwa tembakau masih menjadi sumber penghidupan banyak orang. Dia menilai, usulan Kemenkes dalam bentuk RPMK ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi. “Ini akan berdampak kepada PHK massal dan akan berdampak ke perekonomian, termasuk UMKM. Ini yang seharusnya diatur sebaik mungkin,” jelasnya seperti dikutip Liputan6.com.

Menuai Banyak Polemik

PP No. 28 Tahun 2024 yang disusun dengan metode omnibus dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) menuai banyak polemik. Dua produk regulasi yang mengatur berbagai aspek kesehatan dan non-kesehatan, termasuk pengaturan industri makanan, tembakau, dan alat kontrasepsi tersebut menuai kecaman dari berbagai sektor.

Protes yang dilayangkan banyak mencermati kurangnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan-peraturan terkait kesehatan sehingga peraturan yang dihasilkan menekan berbagai sektor nonkesehatan yang turut terdampak.

Dari industri makanan dan minuman misalnya, protes keras dilayangkan karena aturan yang muncul justru memperlakukan gula dan susu formula secara tidak adil, bahkan seolah seperti barang haram yang tidak boleh diiklankan dan dipromosikan. Belum lagi, industri tembakau yang ditekan dengan aturan standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek pada aturan turunan PP 28/2024 dalam bentuk RPMK yang direncanakan Kemenkes untuk segera disahkan, serta zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau pada PP tersebut.

Kedua contoh tersebut justru dapat merugikan masyarakat. Kebijakan tersebut akan menempatkan Ibu-ibu yang tidak dapat memproduksi ASI kebingungan produk substitusi apa yang baik untuk anaknya, di sisi lain, perokok akan sulit untuk mengurangi risiko kesehatannya karena seolah tidak memiliki pilihan lain yang lebih rendah risikonya selain rokok yang dikonsumsinya, padahal jelas dalam PP 28/2024 profil risiko harus diperhatikan.

Menurut ahli hukum administrasi negara Fitriani A. Sjarif, minimnya partisipasi publik dalam penyusunan peraturan yang menggunakan metode omnibus ini. Menurutnya, kebijakan ini tidak sejalan dengan hukum yang sudah ada untuk menjamin partisipasi publik (meaningful participation) dalam penyusunan peraturan.

“Dalam proses penyusunan aturan, penting untuk memastikan bahwa masyarakat diberikan kesempatan untuk didengarkan dan memberikan masukannya. Penyusunan peraturan menggunakan metode omnibus menggabungkan banyak topik dalam satu peraturan dengan ribuan pasal. Proses pembahasan yang terburu-buru dan tidak transparan akan semakin menyulitkan pemangku kepentingan untuk terlibat, sehingga kualitas substansi peraturan yang dihasilkan kurang baik dan sulit diimplementasikan di lapangan,” ujarnya. Minggu (15/9).

Fitriani menambahkan agar pemerintah berhati-hati dalam menggunakan metode omnibus dalam penyusunan peraturan dan belajar dari pengalaman negara lain. Dengan begitu, harapannya dapat tercipta regulasi yang baik dan berimbang tanpa mendiskriminasi sejumlah pihak.

“Dalam UU 12/2011, Indonesia menganut penyusunan peraturan dengan metode single subject rule, di mana satu peraturan akan fokus mengatur topik yang sama. Indonesia mulai menerapkan metode omnibus beberapa tahun terakhir, yang diawali dengan penyusunan UU Cipta Kerja. Indonesia bisa mencontoh Amerika Serikat yang lebih dulu menerapkan metode omnibus yang hanya membolehkan metode omnibus jika peraturan yang disusun memiliki tema yang sama, atau bisa dibilang omnibus law dengan pendekatan single subject rule,” ujarnya.

Salah satu aturan terbaru yang tengah dirancang oleh Kemenkes yakni kemasan rokok polos tanpa merek melalui RPMK. Draft kebijakan tersebut dinilai paling berpotensi mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau.

Kekhawatiran utamanya adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal. Kemasan yang seragam berpotensi menyulitkan konsumen untuk membedakan produk legal dan ilegal. Bahkan penerapan kemasan rokok polos tanpa merek juga bertentangan dengan regulasi seperti UU tentang Hak Cipta, Merek, maupun Perlindungan Konsumen.

Praktisi kesehatan publik sekaligus pakar K3, dr. Felosofa Fitriya menyoroti peran penting edukasi dan sosialisasi dalam menekan prevalensi konsumsi rokok masyarakat. Ia berpandangan bahwa tidak seharusnya produk tembakau dan rokok elektronik dipasarkan dalam kemasan polos tanpa merek. Hal ini akan menimbulkan kebingungan pada konsumen untuk membedakan produk. Menurutnya, gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kedua jenis produk ini perlu dibedakan. Namun, kemasan polos tanpa merek seharusnya tidak diberlakukan pada produk tembakau maupun rokok elektronik, untuk tetap melindungi konsumen dan memastikan mereka dapat memilih sesuai profil risikonya.

“Sebaiknya kemasan ini dibedakan sesuai profil risikonya yang diharapkan perilaku perokok berubah ke yang rendah risiko. Kalau semua produk tembakau dan rokok elektronik kemasannya disamakan, bagaimana cara membedakannya? Karena jika dibedakan, ini akan meningkatkan kesadaran perokok untuk memilih produk,” tutur dia.

Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani melalui keterangan tertulis menyampaikan keprihatinannya atas dampak PP 28/2024 kepada sektor-sektor padat karya, khususnya pada industri manufaktur. "Regulasi ini membebankan tanggung jawab penyakit tidak menular (PTM) sepenuhnya pada produsen pangan olahan dan industri hasil tembakau, padahal PTM disebabkan oleh banyak faktor lain, seperti gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, merokok, alkohol, paparan polutan, dan stres. Beban ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada satu atau dua sektor," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Ekonom Sebut Deflasi Perlu Dikendalikan

NERACA Purwokerto, Jateng - Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Abdul Aziz Ahmad mengatakan pemerintah perlu mengendalikan…

KAJIAN TERBARU BANK DUNIA: - Kebijakan Proteksionis Pengaruhi di Asia Pasifik

Jakarta-Bank Dunia mengungkapkan tiga faktor yang mempengaruhi ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Menurut Wakil Presiden Bank Dunia Asia Pasifik-Timur, Manuela…

ADA 19 NEGARA LAKUKAN RESTRIKSI DAGANG: - Jokowi Soroti Pembatasan Perdagangan Global

  Jakarta-Presiden Jokowi menyoroti sejumlah negara maju yang memberlakukan pembatasan perdagangan, diantaranya China dan Amerika Serikat. Menurut dia, saat ini ada 19…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Ekonom Sebut Deflasi Perlu Dikendalikan

NERACA Purwokerto, Jateng - Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Abdul Aziz Ahmad mengatakan pemerintah perlu mengendalikan…

KAJIAN TERBARU BANK DUNIA: - Kebijakan Proteksionis Pengaruhi di Asia Pasifik

Jakarta-Bank Dunia mengungkapkan tiga faktor yang mempengaruhi ekonomi di kawasan Asia Pasifik. Menurut Wakil Presiden Bank Dunia Asia Pasifik-Timur, Manuela…

ADA 19 NEGARA LAKUKAN RESTRIKSI DAGANG: - Jokowi Soroti Pembatasan Perdagangan Global

  Jakarta-Presiden Jokowi menyoroti sejumlah negara maju yang memberlakukan pembatasan perdagangan, diantaranya China dan Amerika Serikat. Menurut dia, saat ini ada 19…