TARGET PERTUMBUHAN EKONOMI 8 PERSEN: - Pengamat: PR Berat bagi Presiden Terpilih Prabowo

Jakarta-Pengamat ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai target pertumbuhan ekonomi 8 persen menjadi PR yang berat bagi Presiden terpilih Prabowo Subianto. "Semua ini masih menjadi PR yang belum jelas penyelesaianya sampai hari ini. Prabowo pun belum berbicara secara terperinci soal ini," ujarnya, Rabu (11/9).

NERACA.

Disamping itu, Ronny meminta agar Prabowo dan timnya berhenti menebar janji bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa tercapai selama masa Pemerintahannya. "Dengan kata lain, angka 8 persen semestinya bukan untuk diumbar, tapi dijabarkan secara detail strategi dan langkah yang akan dilakukan untuk mencapainya. Yang jelas, solusinya bukanlah makan siang gratis," ujarnya.

Menurut dia, secara teoritik, untuk keluar dari jebakan lima persen dan keluar dari middle income trap, memang angka pertumbuhan yang dibutuhkan adalah 8 persen. Ronny pun mengakui bahwa Indonesia memiliki potensi mencapai itu jika prakondisinya terpenuhi.

"Jadi, Prabowo sudah tak perlu lagi membaca apa yang sudah ada di atas kertas, tapi jabarkan langkah-langkah untuk mewujudkan angka di atas kertas tersebut. Itu menurut saya yang jauh lebih penting," tegas dia seperti dikutip Liputan6.com.. .

Menurut Ronny, jangan sampai demi mencapai angka 8 persen, Indonesia justru berubah menjadi negara otoriter dan bertangan besi. Jangan sampai, karena target tersebut, jejaring oligarki yang ada di kubu Prabowo-Gibran justru mengambil porsi terlalu besar, sementara rakyat hanya mendapat sisanya.

Ronny menilai, jika Pemerintahan Prabowo-Gibran tidak menghadirkan strategi pembangunan yang revolusioner dan perubahan kebijakan yang signifikan, maka tren pertumbuhan di era Jokowi, yang terperangkap di kisaran 5 persen, kemungkinan besar akan berlanjut. Ia menekankan bahwa mencapai angka 8 persen bukanlah pekerjaan yang mudah.

Ronny juga menyoroti pernyataan tim ahli dari kubu Prabowo, seperti Dradjat Wibowo, yang membandingkan dengan era Orde Baru di mana pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 8 persen. "Saya kira mereka harus belajar lebih banyak mengenai kondisi saat ini dan masa lalu. Booming minyak di era Soeharto sangat berpengaruh dalam pencapaian angka tersebut," ujarnya.

Ronny menjelaskan bahwa booming minyak dan lonjakan harga minyak dunia pada awal 1970-an, akibat perang Yom Kippur di Timur Tengah, membuat kantong Orde Baru mendadak membengkak. Hal ini memungkinkan intervensi pembangunan secara masif.

Ronny pun menyarankan sejumlah langkah yang bisa dilakukan Pemerintahan Prabowo di masa mendatang untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. Langkah pertama, pemerintah harus aktif terlibat dalam membangun daya saing sektor manufaktur atau memodernisasi sektor manufaktur nasional secara serius dan signifikan agar menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi di pasar global agar mampu menyerap sebanyak-banyakanya tenaga kerja. "Namun nyatanya hari ini sektor manufaktur kita semakin loyo," imbuhnya.

Kedua, pemerintah juga harus aktif mengembangkan daya saing sektor jasa agar lebih kompetitif dan semakin besar kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, melakukan revitalisasi dan modernisasi sektor pertanian, baik untuk ketahanan pangan maupun untuk ekspor. Hal ini sangat krusial sifatnya. Jaminan ketahanan perut nasional harus dikedepankan. Keempat, mengakselerasi pembangunan SDM nasional agar menghasilkan angkatan kerja yang produktif dan kreatif, serta berdaya saing

Kelima, melakukan transfer teknologi serta pengembangan teknologi domestik agar tidak semakin tertinggal dengan negara maju. Terdapat berbagai skema untuk ini, mulai dari FDI sampai pada akuisisi perusahaan asing. "Nah, semua itu bisa terjadi jika dibiayai dari perpaduan investasi publik atau anggaran negara dengan investasi swasta yang besar," ujarnya.

Kemudian, secara fiskal, Pemerintah harus mengefektifnya belaja pemerintah dan memastikan bahwa belanja tersebut menghasikan multiplayer effect kepada perekonomian nasional.

"Tak lupa, memerangi korupsi dan pungli secara serius dan berkelanjutan, sehingga menurunkan tingkat ICOR Indonesia. Dan melakukan intervensi, baik fiskal maupun regulasional, kepada sektor-sektor yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.

Selain itu, sektor manufaktur, terutama tekstil, juga memberikan dorongan besar bagi ekonomi saat itu, dengan menyerap banyak tenaga kerja dan memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Kala itu, tekstil Indonesia merajai Asia Tenggara dengan ekspor yang besar.

"Dua faktor tersebut tidak ada lagi hari ini. Booming minyak sempat digantikan oleh commodity boom di era SBY, dengan kontribusi besar dari CPO dan batubara," tambahnya.

Namun, menjelang akhir masa pemerintahan SBY, daya dorongnya melemah, terutama pasca krisis finansial 2008 di Amerika. Akibatnya, yang terjadi adalah semacam "secular stagnation," istilah yang dipopulerkan oleh Alvin Hansen pada tahun 1938, karena saat itu Amerika dianggap kehilangan sumber-sumber pertumbuhan baru.

Analisis tersebut terbantahkan ketika Amerika menemukan sumber pertumbuhan baru, yaitu permintaan besar untuk Perang Dunia II. Setelah perang, sumber pertumbuhan beralih ke konsumerisme, hingga terhenti lagi pada 1970-an akibat krisis minyak dunia dan inflasi besar-besaran.

Pasca krisis finansial 2008, Larry Summers menghidupkan kembali istilah "secular stagnation" karena Amerika kembali terjebak dalam pertumbuhan ekonomi rendah. Ekonom Amerika menyebut beberapa tahun pasca krisis 2008 sebagai "Great Recession."

Industri dan Modernisasi

Sebelumnya, Ekonom senior Indef Dradjad Wibowo menyebut pertumbuhan ekonomi 8 persen masih bisa dicapai (attainable growth). Hal itu dikatakan Dradjad saat memberikan studium generale di Sekolah Pascasarjana Universitas Pancasila, Sabtu (7/9). Angka tersebut menurutnya, bukanlah angka pertumbuhan rata-rata selama kepemimpinan Prabowo-Gibran.

Dradjad menjelaskan, dalam kurun waktu tahun 1961 sampai tahun 2023 pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia 5,11%, dan hanya lima kali tumbuh 8% atau lebih. Yaitu tahun 1968 (10,92%), 1973 (8,10%), 1977 (8,76%), 1980 (9,88%) dan 1995 (8,22%).

 “Artinya, selama 63 tahun peluang ekonomi Indonesia tumbuh minimal 8% adalah sekitar 8% juga. Perubahan struktural melalui industrialisasi dan modernisasi berperan dominan,” ujar Dradjad.

Menurut dia, investasi fundamental menjadi hal yang sangat penting. Investasi fundamental itu di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan kelembagaan. Namun, jangan mengharapkan pertumbuhan tinggi dalam jangka pendek dari investasi ini karena terdapat jeda waktu. “Saya sudah mengevaluasi berbagai jalur untuk pertumbuhan tinggi. Yang paling potensial adalah stimulus Keynesian,” kata Dradjad.

Stimulus Keynesian dapat dipahami sebagai kebijakan fiskal pemerintah untuk menggenjot permintaan agregat agar ekonomi tumbuh tinggi, atau agar tidak anjlok saat kondisi menurun. Dijelaskan Dradjad, tiga hal potensial yang bisa menjadi fokus stimulus Keynesian.

Yang pertama adalah kebijakan produktifitas tenaga kerja yang tepat mengatasi kesenjangan produktifitas yang masih tinggi. Kemudian, terobosan memaksimalkan efek pertumbuhan jangka pendek dari investasi pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan kelembagaan. Dan yang terakhir hilirisasi dan modernisasi sebagai perubahan struktural harus diprioritaskan.

"Program APBN harus benar-benar dipilih yang memiliki potensi pertumbuhan tertinggi. Contohnya dalam Asta Cita adalah makan bergizi gratis, swasembada energi dan pangan, pembangunan rumah, air bersih, sanitasi, transportasi dan telekomunikasi.,” ujarnya.

Di bidang pendidikan, belanja tidak dibatasi hanya pada sarana dan prasarana pengajaran saja. Tapi untuk pembangunan jalan dan jembatan yang memudahkan anak didik di desa terpencil bersekolah.

“Penyediaan pasar melalui APBN bagi generasi milenial dan Generasi Z di bidang teknologi informatika, pelatihan vokasional untuk manufaktur dan jasa, peningkatan produktifitas pekerja melalui standarisasi,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Dradjad juga menjelaskan dari mana sumber dananya. Menurut dia, berasal dari pendapatan negara yang bersifat adhoc. “Sudah dicoba waktu saya memimpin unit di BIN (Badan Intelijen Negara) dan sudah menghasilkan. Adhoc itu yang jangka pendek. Jangka menengahnya, digitalisasi pajak dan cukai. Mulai dari PPN (pajak pertambahan nilai). Nanti di kesempatan lain akan saya uraikan lebih rinci,” tutur dia. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MASALAH PENURUNAN DAYA BELI MASYARAKAT: - Menkeu: Terjadi Pergeseran Kelas Sosial

Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespon daya beli masyarakat Indonesia yang dinilai mengalami pelemahan. Menurut dia. saat ini terjadi pergeseran…

Sukuk Berperan Penting Biayai Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta-Indonesia diakui menjadi pelopor penerbitan Green Sukuk di dunia, yang mendukung proyek infrastruktur berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut, Direktur dan Perwakilan…

PENGUSAHA MULAI KHAWATIR TERHADAP DEFLASI - OJK Investigasi Dugaan Manipulasi Saham BREN

Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginvestigasi dugaan manipulasi saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MASALAH PENURUNAN DAYA BELI MASYARAKAT: - Menkeu: Terjadi Pergeseran Kelas Sosial

Jakarta-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespon daya beli masyarakat Indonesia yang dinilai mengalami pelemahan. Menurut dia. saat ini terjadi pergeseran…

Sukuk Berperan Penting Biayai Pembangunan Infrastruktur

NERACA Jakarta-Indonesia diakui menjadi pelopor penerbitan Green Sukuk di dunia, yang mendukung proyek infrastruktur berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut, Direktur dan Perwakilan…

PENGUSAHA MULAI KHAWATIR TERHADAP DEFLASI - OJK Investigasi Dugaan Manipulasi Saham BREN

Jakarta-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menginvestigasi dugaan manipulasi saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk…