Tantangan Penerapan MSW di RI

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Dunia kemaritiman, dalam hal ini pelayaran, akan menerapkan maritime single window atau MSW di seluruh pelabuhan pada 2024 nanti. Platform ini dimaksudkan untuk pertukaran informasi pada saat kapal tiba, selama kapal berlayar, dan pada saat keberangkatan. Hal ini sesuai dengan aspirasi pelayaran internasional untuk mempercepat digitalisasi dan dekarbonisasi sektor ini. MSW merupakan hasil amandemen Konvensi FAL IMO.

Ditajuk SWiFT (Single Window for Facilitation of Trade) merupakan kolaborasi antara IMO dan negara Singapura pada 2021. Sasaran utama proyek ini adalah pelabuhan berukuran sedang agar terbangun interkonektivitas digital yang aman dengan mitranya di seluruh dunia. Peluncuran MSW dilakukan di Pelabuhan Lobito, Angola yang menjadi proyek percontohan (SWiFT) beberapa waktu lalu.

Sistem digital MSW menyediakan masukan/input elektronik dari semua informasi yang diperlukan oleh berbagai otoritas negara pelabuhan (port state) yang dengannya memungkinkan kelancaran izin kapal selama kunjungan ke pelabuhan di negara end destination.

Julian Abril, Kepala Bagian Fasilitasi IMO, mengatakan dengan proyek percontohan di Angola tersebut penerapan MSW akan lebih smooth karena ada pembelajaran dan pengalaman yang bisa diterapkan di negara lainnya.Sementara itu, Gavin Yeo, Wakil Direktur Maritime and Port Authority (MPA), menyatakan, bahwa platform MSW yang dikembangkan di bawah proyek SWiFT diambil dari pengalaman Singapura dalam penerapan MSW nasional digitalPORT@SG.

“MPA bangga dapat bermitra dengan IMO dan Pelabuhan Lobito dalam perjalanan transformasi digital ini, yang berpotensi meningkatkan efisiensi pelayaran internasional, pengoperasian pelabuhan, dan rantai pasokan global,” ujarnya.

Sekadar catatan, pada September tahun ini, Otoritas Pelabuhan Rotterdam, MPA, serta 20 mitra di koridor pelayaran ramah lingkungan & digital bermitra untuk mengurangi emisi dari pelayaran internasional pada tahun 2030.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana posisi Indonesia dalam penerapan MSW? Sebelum menguraikannya, penulis ingin membawa para pembaca kepada salah satu program IMO yang diluncurkan sekitar 2006, yaitu long-range identification and tracking of ships (LRIT). Seperti berbagai skema IMO lainnya, sistem ini diniatkan untuk menjaga keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim. Sebagai anggota organisasi yang bermarkas di London, Inggris itu, Indonesia jelas sudah menjalankannya.

Kalau tidak, ancaman terhadap kapal-kapal berbendera Indonesia yang melayari trayek luar negeri terkait LRIT jelas akan mencuat. Kapal-kapal berbendera Indonesia yang belum menerapkannya tidak diperbolehkan masuk pelabuhan di negara lain. LRIT adalah sebuah sistem untuk mengidentifikasi dan melacak posisi kapal dengan menggunakan satelit. Sistem ini merupakan bagian dari standar keselamatan pelayaran. Sistem ini berfungsi mendeteksi kapal secara dini, memonitor pergerakan kapal dan membantu dalam operasi search and rescue (SAR).

Dalam catatan saya, kapal berbendera Indonesia yang melayari samudra lepas berjumlah kurang dari 500 unit. Selain kondisi itu, antusiasme penerapan LRIT oleh pelayaran Indonesia tergolong rendah. Sejak diterapkan di Indonesia (2009), tidak jelas bagaimana situasi terkininya. Lalu, muncullah skema baru maritime single window. Jelas ada perbedaan yang cukup lebar antara LRIT dan MSW. Namun, pastilah ada bagian yang saling beririsan. Sayangnya saya tidak tahu di mananya yang beririsan itu.Bagi saya, sepertinya MSW merupakan satu program IMO yang menambah panjang daftar program yang sudah diluncurkan tetapi tidak terlalu jelas gunanya. Ia menambah beban bagi pelaku usaha.

Sekarang soal tantangan penerapan MSW di Indonesia. Program ini saya perkirakan akan terhambat karena tidak semua pelabuhan bisa dan mau bergabung ke dalamnya. Pelabuhan yang mau bergabung dapat dipastikan adalah pelabuhan yang dikelola oleh BUMN. Sementara pelabuhan swasta (baca: TUKS) dapat pula dipastikan tidak akan mau bergabung. Alasannya sederhana: dengan bergabung ke platform MSW semua pergerakan kapal di fasilitas mereka akan terpantau dan dicatat oleh pemerintah. Ini berarti akan ada sejumlah kewajiban finansial yang harus ditunaikan kepada negara dari setiap kapal yang sandar di dermaga TUKS. Cuan mereka akan mengecil dengan sendirinya.

Indikasi ini bisa dilihat dari deretan TUKS yang masih banyak yang belum menerapkan berbagai sistem yang sudah ada untuk memonitor pergerakan kapal di pelabuhan/dermaga. Entahlah.

BERITA TERKAIT

IPPP 2024 Bukti Kepercayaan bagi RI

     Oleh : Adib Prasetya Pengamat Hubungan Internasional     Sidang Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) atau forum parlemen Indonesia dengan…

Berkolaborasi Upaya Kerek PDB

  Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Benar, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu penopang…

Harga Migor Naik, Beban Ekonomi Kian Berat

  Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP Pengamat Kebijakan Publik   Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (Migor) Minyakita mengalami kenaikan…

BERITA LAINNYA DI

IPPP 2024 Bukti Kepercayaan bagi RI

     Oleh : Adib Prasetya Pengamat Hubungan Internasional     Sidang Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership (IPPP) atau forum parlemen Indonesia dengan…

Berkolaborasi Upaya Kerek PDB

  Oleh: Airlangga Hartarto Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Benar, bahwa Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu penopang…

Harga Migor Naik, Beban Ekonomi Kian Berat

  Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP Pengamat Kebijakan Publik   Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng (Migor) Minyakita mengalami kenaikan…