Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
Indonesia tahun ini kembali mencalonkan salah satu putranya untuk menduduki kursi panel hakim International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS). Terakhir kali kita mencalonkan kandidat untuk lembaga yang berafiliasi dengan PBB itu pada periode 2017-2026. Dilaporkan oleh media massa beberapa waktu lalu, melalui Kementerian Luar Negeri, Indonesia mencalonkan Eddy Pratomo untuk posisi dimaksud. Apakah dia akan berhasil mendudukinya? Mari melihat beberapa hal berikut sebelum menjawab pertanyaan ini.
Dalam ketentuan Pasal 20-22 Konvensi Hukum Laut PBB atau UNCLOS 1982, disebutkan bahwa ITLOS terbuka bagi negara pihak konvensi atau negara lain yang mengakui jurisdiksi ITLOS. Adapun jurisdiksi ITLOS juga meliputi segala macam perselisihan yang berkaitan dengan interpretasi atau penerapan dari Konvensi Hukum Laut. Jadi Indonesia sepenuhnya berhak mencalonkan hakim di lembaga tersebut karena negeri ini adalah salah satu penandatangan konvensi. Mahkamah Hukum Laut Internasional adalah lembaga peradilan internasional yang didirikan seiring dengan berlakunya UNCLOS di mana statutanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari UNCLOS.
Posisi hakim ITLOS pada dasarnya terbuka untuk mereka yang memenuhi syarat yang diadakan setiap 3 tahun sekali dalam satu periode tertentu. Kuota yang disiapkan setiap putaran sebanyak sepertiga (7 kursi) dari 21 hakim anggota mahkamah. Menurut aturan ITLOS, panel hakim dipilih untuk masa kerja selama 9 tahun. Agar bisa bekerja penuh selama kurun waktu itu, mereka harus mampu memenangkan pemilihan setiap tahun tadi. Besar kemungkinannya Eddy Pratomo akan mengisi posisi hakim yang kosong pada periode 2017-2026. Dan, jika berhasil, ia harus memenangkan pemilihan setiap tiga tahun hingga masuk periode berikutnya, 2026-2034. Eddy nantinya, sekali lagi bila terpilih, akan mewakili zona Asia yang saat ini diduduki oleh hakim asal Korea Selatan, India, Thailand dan Jepang.
Aturan main ITLOS membagi rata, paling sedikit tiga hakim setiap kawasan benua, dari 21 anggota panel hakim. Asas keterwakilan ini betul-betul diperhatikan saat menyidang perkara. Misalnya, jika majelis hakim yang menyidang sebuah perkara tidak ada yang berasal dari negara penggugat, maka akan disediakan hakim ad hoc yang bisa dipilih negara penggugat untuk membantu mereka memperjuangkan maksud dan tujuannya berperkara di ITLOS.
Sedikit kilas sejarah pencalonan kandidat Indonesia untuk hakim ITLOS. Pada periode 2017-2026, Indonesia mencalonkan salah seorang diplomat senior, yaitu, Arif Havas Oegroseno. Sayang dia gagal mendapatkan dukungan dari pemilih; dikalahkan oleh kandidat asal Thailand, Kriangsak Kittichaisaree. Hakim asal Negeri Gajah Putih ini berhasil menyapu suara yang sekian lama diraup saat pemilihan oleh Josep Akl, asal Libanon, yang juga mengikuti pemilihan kala itu. Akl adalah ‘orang lama’ yang menduduki posisi hakim sejak panel hakim ITLOS terbentuk pada 1996.
Apakah Eddy Pratomo akan berhasil menduduki kursi hakim ITLOS yang dikontestasikan dalam periode ini? Namun, melihat apa yang dijalankan sejauh ini terkait pencalonannya, peluangnya tipis jika tidak hendak disebut tidak ada sama sekali. Dan, ini sepenuhnya campuran antara diplomasi, politik, dll; bukan kapasitas sang calon. Melihat jejak rekamnya, Eddy merupakan sosok yang tepat untuk menduduki posisi hakim ITLOS.
Dalam hal pencalonan Eddy Pratomo, saya mencatat media massa nasional lumayan banyak yang memberitakannya; tidak demikian halnya dengan media massa internasional, paling tidak media sekawasan. Bisa jadi saya luput. Di sisi lain, untuk memenangkan pemilihan pemberitaan seputar kandidat bukan syarat satu-satunya. Ada aspek lainnya. Pada titik inilah kemampuan diplomasi Indonesia diuji. Kementerian Luar Negeri harus bisa ‘mempolitisasi’ dan ‘weaponized’ pencalonan Eddy dengan berbagai isu. Dari sisi geografis, kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga peluang menang jelas kuat. Indonesia juga dikaruniai keistimewaan berada di antara dua dari lima samudra dunia, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra India.
Dua kualitas tadi bisa dijadikan modal bargaining kita dengan negara-negara pemilik suara saat pencalonan kandidat hakim. Tinggal bagaimana membangun narasi yang bernas agar modal geografis yang kita miliki tersebut bisa bermanfaat bagi negara yang juga setipe dengan Indonesia khususnya dan negara lain yang menitipkan pilihannya kepada kita umumnya. Inilah yang dimaksud dengan kemampuan diplomasi itu. Penulis paham bahwa ITLOS dalam kacamata Pejambon (Kemlu) terhitung medium bobotnya. Tidak seperti organisasi internasional lainnya, umpamanya PBB. Sehingga, karena bobotnya sedang, maka upaya politisasi dan weaponized pencalonan Eddy Pratomo bisa jadi akan sedang-sedang juga.
Mudah-mudahan penulis salah dalam membaca situasi batin Pejambon tadi. Tetapi manakala pada akhirnya kandidat yang diusung Indonesia gagal lagi, setidaknya kita menjadi tahu apa yang menjadi penyebabnya. Doa saya, semoga Eddy Pratomo berjaya.
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Pelaku wirausaha menjadi subjek penting dalam pembangunan. Oleh…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sudah hampir dua pekan perang Timur Tengah antara Iran–Israel menjadikan sorotan dunia dan keperhatinan…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Perdebatan tentang jumlah kemiskinan di republik ini…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Pelaku wirausaha menjadi subjek penting dalam pembangunan. Oleh…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Indonesia tahun ini kembali mencalonkan salah satu putranya untuk…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sudah hampir dua pekan perang Timur Tengah antara Iran–Israel menjadikan sorotan dunia dan keperhatinan…