Oleh : Hartono, Penyuluh KPP Perusahaan Masuk Bursa *)
Polusi udara menyebabkan penurunan kadar oksigen dan menjadi ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan. Akibatnya masyarakat mengidap berbagai penyakit seperti iritasi pada mata atau tenggorokan, pusing, sakit kepala dan yang lebih parah pneumonia dan bronchitis. Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan energi hijau dan bila perlu segera memberlakukan pajak karbon.
Aktivitas pembangunan infrastruktur, kegiatan industri, moda transportasi dan sebagainya menghasilkan polusi udara atau pencemaran udara. Adanya polusi menimbulkan beban bagi negara untuk mengatasinya.
Udara tercemar karena masuknya bahan pencemar yang mengandung zat Sulfur Oksida (SOx), Karbon Monoksida (CO), Karbon Dioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), dan Hidrokarbon yang melewati batas normal.
Beberapa kota di Indonesia memiliki kualitas udara yang buruk. Situs IQAir (sebuah perusahaan teknologi kualitas udara Swiss), pada hari Rabu (13/9) melaporkan Indeks kualitas udara kota Depok mencapai 164 dengan konsentrasi PM 2.5. Kondisi ini menunjukan kota Depok tingkat polusinya 16 kali nilai panduan kualitas udara tahunan WHO dengan nilai konsentrasi 80µg/m³ (mikrogram per meter kubik).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, polutan utama PM 2.5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 mikrometer. Angka PM 2.5 termasuk termasuk debu, jelaga, kotoran, asap, dan tetesan cair yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.
Berdasarkan kajian Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK sektor transportasi adalah penyumbang emisi terbanyak di Indonesia. Mobilitas kendaraan bermotor menyumbang emisi 44% dan kawasan industri 31%.
Emisi merupakan zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
Penerapan Pajak Karbon
Pemerintah akan mengenakan pajak karbon terhadap emisi karbon yang dihasilkan baik dari kegiatan produksi maupun konsumsi. Hal ini telah diatur dalam UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penggunaan bahan bakar fosil dan semua yang menghasilkan emisi karbon berdampak negatif bagi lingkungan hidup akan dikenakan pajak karbon. Penerimaan dari pajak karbon akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan dan/atau peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon memuat strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan dan/atau keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya. Kebijakan peta jalan pajak karbon ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR.
Subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Sedangkan objek pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Saat terutang Pajak Karbon pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tahun kalendar dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu, atau saat lain yang diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Apabila harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp 30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Penetapan dan perubahan tarif pajak karbon dan dasar pengenaan pajak diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
Cara melihat dan menghitung CO2 dengan menggunakan batasan emisi dari bahan bakar fosil. Setiap pengguna bahan bakar fosil diberikan batasan emisi yang diperbolehkan atau dikenal dengan istilah Cap. Apabila pengguna menghasilkan emisi karbon yang lebih besar dibanding batasan yang diperbolehkan, maka harus membayar pajak atas selisih lebih tersebut.
Dalam skema cap and trade, pengguna bahan bakar fosil dengan emisi melebihi batas bisa membeli Persetujuan Teknis Emisi (PTE) dari perusahaan yang emisi masih dibawah batas. Sehingga batas emisi perusahaan tersebut bisa bertambah. Pihak yang melebihi batas PTE akan dikenakan pajak. Sedangkan perusahaan yang membeli PTE atau Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) akan menjadi pengurang kewajiban pajak karbon pencemar. Pajak karbon sebagai sanksi atas pencemaran lingkungan.
Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain dapat diberi pengurangan pajak karbon dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.
Tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon dan tata cara pengurangan pajak karbon dan/atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pajak karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca sebagai upaya mengatasi pemanasan global. Pengenaan pajak karbon dibeberapa negara menunjukkan dampak positif dan mengurangi jumlah emisi di negara-negara tersebut.
Selain itu, penerapan pajak karbon dipercaya dapat membantu mengendalikan perubahan iklim serta meningkatkan pendapatan pajak pemerintah dan meningkatkan efisiensi energi bagi konsumen dan bisnis. Pajak karbon diharapkan dapat mengubah perilaku masyarakat dan industri untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah emisi karbon.
Pajak karbon bermanfaat untuk mendukung upaya mitigasi, adaptasi terhadap perubahan iklim dan mengurangi polusi. Pendapatan pajak karbon bisa dimanfaatkan untuk mengurangi dampak adanya polusi kepada kelompok ekonomi yang rentan.
Masa berlaku
Ketentuan pajak karbon seharusnya berlaku mulai 1 April 2022. Namun karena mempertimbangkan situasi perekonomian global dan domestik, Pemerintah akhirnya menunda penerapan pajak karbon hingga 2025.
Kementerian Keuangan menyatakan ada (dua) alasan penundaan tersebut. Pertama, Indonesia sedang dalam masa pemulihan ekonomi dan masih rentan sehingga memerlukan jeda waktu atau relaksasi. Kedua, situasi politik dunia saat ini adanya perang Rusia yang menginvasi Ukraina yang berpengaruh terhadap lonjakan harga energi yang tajam.
Dalam penerapan pajak ini pemerintah harus mempertimbangkan segala aspek dan jangan terburu-buru. Kesiapan sektor terkait, kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala perlu dipertimbangkan. Hal ini mengingat kondisi perekonomian dalam negeri yang belum pulih pasca covid 19 dan terlebih lagi risiko dari dampak ekonomi dunia. *) Artikel ini merupakan pendapat pribadi
Oleh : Andi Mahesa, Peneliti di IISIP Jakarta Dalam dinamika global yang terus berkembang, tantangan keamanan lintas…
Oleh: Aurelia Sutradjat, Mahasiswa PTS di Bandung Keberhasilan Desk Pemberantasan Narkoba dalam menggagalkan penyelundupan sabu seberat sekitar 2…
Oleh: Rivka Mayangsari, Pengamat Media Digital Di era digital yang berkembang cepat, teknologi telah menjadi bagian tidak terpisahkan…
Oleh : Andi Mahesa, Peneliti di IISIP Jakarta Dalam dinamika global yang terus berkembang, tantangan keamanan lintas…
Oleh: Aurelia Sutradjat, Mahasiswa PTS di Bandung Keberhasilan Desk Pemberantasan Narkoba dalam menggagalkan penyelundupan sabu seberat sekitar 2…
Oleh: Rivka Mayangsari, Pengamat Media Digital Di era digital yang berkembang cepat, teknologi telah menjadi bagian tidak terpisahkan…