KEBIJAKAN ZERO COVID DI CHINA PERLU DIWASPADAI - BI Revisi Pertumbuhan Global Menjadi 2,3%

Jakarta-Bank Indonesia merevisi ke bawah proyeksi ekonomi global tahun 2023 menjadi 2,3% dari semula 2,6%. Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, ada lima  turbulensi ekonomi global yang terlihat ada kecenderungan penurunan disebabkan banyak faktor. Sementara itu, Kebijakan zero Covid-19  di China perlu tetap diwaspadai. Jika lonjakan kasus Covid itu bisa ditangani, maka dampaknya bisa positif terhadap ekonomi.

NERACA

Perry merincikan ada 5 respon bauran kebijakan nasional, yakni koordinasi fiskal dan moneter, akselerasi transformasi sektor keuangan, akselerasi transformasi sektor riil, digitalisasi ekonomi dan keuangan dan ekonomi dan keuangan hijau.

Tentu tujuan perekonomiannya adalah ketahanan dengan terjaganya stabilitas dari dampak gejolak global, pemulihan momentum pertumbuhan dari permintaan dari permintaan domestik dan kebangkita pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan jangka menengah.

Di antaranya, pertumbuhan ekonomi global melambat, inflasi global tinggi, suku bunga fed fund rate higher for longer, dolar Amerika Serikat menguat dan cash in the king. "Memang kecenderungan ada slowing down, karena banyak faktor, seperti perang Rusia dan Ukraina tidak tahu kapan selesai nya," ujar Perry dalam acara bauran Kebijakan BI  di tengah turbulensi ekonomi global, Jakarta, Rabu (25/1).

Dia menerangkan inflasi AS masih tinggi sebesar 8% namun kemungkinan akan turun, Eropa 9% juga akan mengalami penurunan dan Inggris masih di atas 10%.  "Kenapa inflasi tinggi karena dampak dari perang Rusia dan Ukraina. Rusia mensupply 20 persen supply energ dan makanan. Karena itu sehingga harga komoditas tinggi," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Perry, sinergi dan inovasi bauran kebijakan ekonomi nasional terus diperkuat sebagai kunci untuk memeprkuat ketahana kebangkita ekonomi nasional.

Gubernur BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi RI akan terjadi perlambatan pada 2023 ini. Meskipun hingga akhir 2022 silam, perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus berlanjut, didorong oleh permintaan domestik yang semakin menguat.

"Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 diperkirakan bias ke atas dalam kisaran 4,5-5,3 persen. Didorong oleh kuatnya kinerja ekspor serta membaiknya konsumsi rumah tangga serta investasi non bangunan," kata Perry usai Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (19/1).

Perbaikan ekonomi diprediksi bakal tetap terjadi pada tahun ini. Meskipun secara angka relatif tidak berubah dibanding pertumbuhan di 2021. "Pada 2023, pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus berlanjut, meskipun sedikit melambat ke titik tengah kisaran 4,5-5,3 persen. Sejalan dengan menurunnya prospek ekonomi global," ujar Perry.

Untuk 2023, dia memproyeksikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih tinggi, sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pasca penghapusan kebijakan PPKM. "Investasi juga diperkirakan akan membaik, didorong oleh membaiknya prospek bisnis, meningkatnya aliran masuk penanaman modal asing (PMA), serta berlanjutnya penyelesaian program proyek strategis nasional (PSN)," imbuhnya.

Di sisi lain, ekspor diperkirakan tumbuh lebih rendah akibat melambatnya ekonomi global, meskipun akan termoderasi dengan permintaan dari China.

Berdasarkan lapangan usaha, Perry melanjutkan, prospek sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, informasi dan komunikasi, serta konstruksi diperkirakan tumbuh cukup kuat, didorong kenaikan permintaan domestik. "Sementara secara spasial, per wilayah, pertumbuhan ekonomi yang kuat diperkirakan terjadi di seluruh wilayah NKRI seiring dengan perbaikan permintaan domestik," ujarnya.

Kebijakan Zero Covid

 Secara terpisah, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Rahadian Zulfadin memandang kebijakan zero covid di China perlu tetap diwaspadai. Jika lonjakan kasus bisa ditangani, maka dampaknya bisa positif terhadap ekonomi. Namun jika tak bisa ditangani, maka akan berdampak negatif ke ekonomi.

"Setelah itu kasus covid melonjak tinggi termasuk kematiannya, banyak pihak memperkirakan pembukaan akan positif ke ekonomi global termasuk Indonesia, karena kita tahu ekonomi China ini besar tapi kita masih menunggu mungkin dalam 2-4 minggu ke depan seperti apa kenaikan kasus ini di China," ujarnya dalam sebuah diskusi Goes to Campus: Economic and Taxation Outlook Year 2023, Rabu (25/1).

Seperti diketahui, China tengah membuka kembali aktivitasnya seperti biasa setelah menetapkan kebijakan zero covid. Upaya ini dinilai sebagian pihak dapat menggerakkan ekonomi China, dan berdampak positif bagi ekonomi global.

Kebijakan zero covid-19 sendiri dilakukan China dengan membatasi kegiatan masyarakatnya untuk menyetop penyebaran virus. Sayangnya, setelah dibuka kembali, tingkat kasus pun ikut melonjak.

Salah satu yang ditekankan adalah soal penanganan Covid-19 di China, karena akan menentukan geliat ekonomi baik secara domestik China, maupun pengaruhnya terhadap ekonomi global. "Karena kalau kemudian sistem kesehatannya itu tidak mampu menampung kenaikan jumlah kasus yang besar, maka itu akan memiliki dampak yang negatif ke aktivitas ekonomi di China," ujarnya seperti dikuti merdeka.com.

Kendati begitu, penanganan covid-19 di global maupun di Indonesia telah menunjukkan perbaikan di awal tahun 2023 ini. Sehingga, pertumbuhan ekonomi masih bisa diprediksi dengan baik.

Meski demikian, tantangan ekonomi tak hanya berdasar pada penanganan pandemi Covid-19. Adanya perang Rusia-Ukraina, ketegangan geopolitik China dan Taiwan, terhambatnya rantai pasok global, hingga kenaikan harga komoditas pangan dan energi jadi tantangan yang perlu dihadapi. Sehingga, tak dipungkiri adanya potensi resesi di banyak negara.

"Risikonya berubah dari pandemi kemudian berubah ke situasi ekonomi global. Dampak negatif pandemi belum kita tinggalkan, scarring effect masih terjadi baik di sektor rumah tangga maupun perushaaan. Perang di Ukraina masih berlangsung dan belum ada tanda akan berakhir," ujarnya.

Sebelumnya, Director & Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Katarina Setiawan memprediksi pertumbuhan ekonomi global akan melemah dan ada risiko resesi ekonomi di kawasan negara maju. Inflasi yang berkepanjangan dan sektor tenaga kerja yang masih kiat mendorong The Fed untuk mengindikasikan bahwa pengetatan moneter belum akan dikendurkan dalam waktu dekat.

Katarina menerangkan bahwa kondisi di pasar Asian sangat berbeda dengan pasar global. Di kawasan Asia justru terjadi perbaikan sentimen. Kemudian risiko resesi negara-negara di kawasan Asia juga lebih rendah. Hal ini dikarenakan oleh relatif rendahnya kenaikan suku bunga di kawasan pada tahun lalu dan inflasi yang relatif lebih terkendali. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…