JIKA HARGA MINYAK DUNIA TURUN SIGNIFIKAN: - Harga Pertalite Kemungkinan Bisa Ikut Turun

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan, kemungkinan harga Pertalite juga bisa ikut turun jika harga minyak dunia mengalami penurunan yang signifikan. Namun, berbeda dengan Pertamax, menurut dia, Pertalite tidak bisa serta merta turun harga mengikuti mekanisme pasar.

NERACA

Alasannya, Pertalite masuk dalam kategori Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Dengan kata lain, ada peran subsidi pemerintah dalam penentuan harganya. "Pertalite kan JBKP, artinya nurunkan subsidi kalau JBU (Jenis BBM Umum/Pertamax) kan itu perusahaan itu sendiri, (sama seperti) swasta karena berhubungan langsung dengan harga minyak dunia," ujarnya saat ditemui di Hotel Borobudur, Selasa (4/20).

Menurut dia, harga Pertalite saat ini berada di bawah harga keekonomian. Sama halnya dengan harga yang berlaku untuk Solar. Diketahui, Pertalite dibanderol Rp10.000 per liter, dan Solar dipatok Rp6.800 per liter. "Kalau Pertalite itu kan harganya memang subsidi, dan di bawah harga keekonomian, masih jauh dari harga keekonomiannya," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.

Jika harga minyak dunia terus mengalami penurunan, ada kemungkinan harga BBM Subsidi pun ikut turun. Kendati, dia tidak mengungkap patokan harga minyak dunia yang bisa mempengaruhi penurunan harga Pertalite ataupun Solar subsidi. "Kalau harga minyak (dunia) turun banget bisa saja (BBM Subsidi turun)," ujarnya.

Sebelumnya, PT Pertamina (Persero) telah menurunkan harga jual Pertamax dari Rp14.500 per liter menjadi Rp13.900 per liter. Penurunan ini terjadi karena minyak dunia termasuk murah dalam beberapa waktu belakangan ini.

PT Pertamina Patra Niaga sebagai anak usaha Pertamina di sektor hilir menurunkan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi jenis Pertamax. Penurunan harga BBM Pertamax sebesar menjadi Rp 13.900 per liter dari sebelumnya Rp14.500 per liter dan berlaku efektif mulai 1 Oktober 2022.

Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menjelaskan, harga BBM non-subsidi seperti Pertamax akan terus disesuaikan mengikuti tren harga rata-rata publikasi minyak yakni Mean of Platts Singapore (MOPS) atau Argus.

"Evaluasi dan penyesuaian harga untuk BBM non subsidi akan terus kami lakukan secara berkala setiap bulannya. Berdasarkan perhitungan, pada periode September lalu untuk produk Gasoline (bensin) yakni Pertamax Series mengalami penyesuaian turun harga," kata Irto dalam keterangannya, Sabtu (1/10/).

Untuk diketahui, harga Pertamax ini berlaku untuk provinsi dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen seperti di wilayah DKI Jakarta. Sementara wilayah lainnya akan mengalami penyesuaian harga yang berbeda-beda.

Sedangkan produk BBM jenis Dexlite dan Perta Dex justru mengalami kenaikan harga. Untuk Dexlite naik menjadi Rp 17.800 dan Perta Dex harganya naik menjadi Rp 18.100 per liternya.

Harga ini juga berlaku untuk provinsi dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar 5 persen seperti di wilayah DKI Jakarta. "Seluruh harga baru ini sudah sesuai dengan penetapan harga yang diatur dalam Kepmen ESDM No. 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga JBU atau BBM non subsidi. Pertamina juga terus berkomitmen untuk menyediakan produk dengan kualitas yang terjamin dengan harga yang kompetitif diseluruh wilayah Indonesia," tutur Irto.

Sementara itu, wacana pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite masih menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Namun dalam prosesnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan kenaikan harga BBM subsidi membuat pembahasan pembatasan konsumsi Pertalite terganggu.

Menurut Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, sebenarnya pembahasan ini sudah selesai di Kementerian ESDM. Prosesnya pun sudah berpindah ke pihak lain untuk selanjutnya diusulkan ke Presiden Jokowi.

"Terus terang saja kita kemarin kan sampaikan, artinya sudah pernah dibahas revisi itu, kemudian diputuskan kenaikan harga," kata Tutuka di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/9).

Dalam revisi Perpres 191/2014, Kementerian ESDM mengusulkan Pertalite masuk dalam kategori Jenis Bahan Bakar Khusus Penugasan (JBKP). Hanya saja, kenaikan harga BBM yang dilakukan pada 3 September lalu membuat proses revisi Perpres menghadapi situasi yang kompleks. "Prosesnya pastinya lebih kompleks karena sudah dinaikan harganya, bukan di kami lagi," ujarnya.

Tutuka menjelaskan pembatasan Pertalite yang diusulkan sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pembatasan Solar subsidi. Artinya pembatasan Pertalite dilakukan berdasarkan berhak atau tidaknya pihak tersebut atas BBM subsidi.

Kementerian ESDM mengusulkan perlu ada kerja sama antara aparat penegak hukum dengan kementerian lain agar bensin bersubsidi ini tidak bocor ke industri besar. "Terutama adalah industri yang tidak berhak," imbuhnya.

Beda hal, kata Tutuka dengan masyarakat yang mengelola perkebunan dan pertanian rakyat. Mereka, masih berhak mendapatkan subsidi dari pemerintah lewat BBM subsidi. "Kalau masyarakat perkebunan dan pertanian rakyat kan boleh. Kalau industri enggak boleh, itu yang harus kita lakukan bersama-sama dengan instansi lain," ujarnya.

Sehingga dia belum bisa memastikan nasib usulan pembatasan Pertalite. Mengingat berbagai pertimbangan telah disampaikan. "Kita sampaikan tugas kita sudah, disampaikan bahwa itu (pembatasan Pertalite) adalah penting kita lakukan," kata dia.

Pesimis Target Bauran EBT

Pada bagian lain, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pesimis target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 25 persen tercapai pada 2025 mendatang. Hal ini merespon masih rendahnya realisasi bauran energi bersih di Indonesia. "Untuk target bauran EBT 25 persen, pemerintah terlalu halusinasi ya," ujarnya di Jakarta, Selasa (4/10).

Saat ini, bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batubara mencapai 60,5 persen. Sementara pembangkit listrik EBT baru mencapai 12,3 persen.

Selain itu, pemerintah juga dinilai masih belum serius untuk mendorong pengembangan EBT di Indonesia. Melalui, Peraturan Presiden Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik pemerintah masih mengizinkan operasional PLTU batubara hingga 2050 mendatang.

Padahal, batubara bersama minyak bumi digolongkan sebagai kelompok energi fosil, sehingga, harus dikurangi pemanfaatannya secara serius oleh pemerintah. "Tapi, arah kebijakan masih sangat mempertimbangkan nilai ekonomis dari PLTU dibandingkan dampak lingkungan," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MESKI TERJADI KETEGANGAN IRAN-ISRAEL: - Dirjen Migas: Harga BBM Tak Berubah Hingga Juni

Jakarta-Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji mengungkapkan harga bahan bakar minyak (BBM)…

PREDIKSI THE FED: - Tahan Suku Bunga Imbas Serangan Iran

NERACA Jakarta - Ketegangan konflik antara Iran dengan Israel memberikan dampak terhadap gejolak ekonomi global dan termasuk Indonesia. Kondisi ini…

PEMERINTAH ATUR TUGAS KEDINASAN ASN: - Penerapan Kombinasi WFO dan WFH

Jakarta-Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pengombinasian tugas kedinasan dari kantor (work from office-WFO) dan tugas kedinasan dari rumah (work from home-WFH)…