Oleh: Joko Tri Haryanto, Peneliti BKF Kemenkeu *)
Dalam beberapa dekade terakhir, pembahasan mengenai isu carbon trading terus berkembang secara masif. Mekanisme tersebut dianggap menjadi salah satu potensi terbesar menjawab trade off antara kepentingan konservasi dengan argumentasi mendorong pertumbuhan ekonomi semata. William J. Stanton di tahun 1987 pernah memberikan definisi carbon trading sebagai kumpulan atau keinginan pada emisi gas rumah kaca dalam satuan setara ton CO2. Stanton juga mengingatkan perlunya dibedakan pemahaman carbon market dengan carbon trading sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang berbeda. Tahun 2008 sendiri, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 tahun 2008 memberikan makna carbon trading adalah kegiatan jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Pakar lainnya, Field di tahun 1997 mendefinisikan carbon trading sebagai suatu upaya pembentukan harga karbon (atau jenis emisi GRK lainnya) dengan cara membentuk hak milik emisi berupa hak/izin emisi (selanjutnya disebut allowance) yang dapat diperdagangkan melalui mekanisme pasar. Karena muncul kewajiban membagi alokasi kuota emisi berdasarkan besaran target maksimal (cap) oleh pemerintah, maka sistem ini disebut skema cap and trade. Di periode awal, pembagian alokasi kuota emisi oleh pemerintah ini dapat dijalankan secara lumpsum (gratis) atau dilakukan melalui mekanisme lelang kuota emisi (emission auction scheme). Pilihan ini dapat dikaitkan dengan tujuan dari pemerintah apakah ingin mendorong berjalannya cap and trade di tahap awal semata atau juga berkeinginan mendapatkan tambahan penerimaan negara dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Perusahaan yang mendapat ijin alokasi emisi akan memiliki Sertifikat Ijin Emisi (SIE) untuk kemudian berganti menjadi Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) ketika realisasi kinerja mereka betul-betul sudah diverifikasi.
Potensi di Dalam Negeri
Menurut jenis dasar pembentukan, carbon trading dapat dibedakan menjadi pasar sukarela (voluntary) dan pasar wajib (mandatory). Pasar sukarela dibentuk dengan misi mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) semata dan bukan karena adanya kewajiban tertentu. Mekanisme pasar voluntary ini seringkali terjadi ketika penyedia karbon bertemu dengan pihak yang membutuhkan karbon secara langsung (over the counter). Namun demikian, demi membesarkan volume maka para pihak yang memiliki keinginan karbon akan bergabung terlebih dahulu menjadi sebuah komitmen kolektif sehingga mereka juga menjadi menarik di matas investor, perantara dan layanan bursa. Selama para pihak mampu mempertahankan aspek kolektivitas ini, maka perkembangan pasar karbon sukarela cenderung naik dengan stabil.
Sebaliknya, jika ada program yang mewajibkan pengurangan dan pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) maka jenis pasar yang terbentuk adalah pasar wajib (mandatory). Pasar wajib ini diwujudkan sebagai bentuk pelaksanaan program dan kebijakan sebuah negara akibat ratifikasi sebuah komitmen seperti Kyoto Protocol atau Perjanjian Paris. Terlebih ketika merujuk dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang menyebutkan target penurunan emisi GRK 29% dengan pendanaan biasa dan 41% dengan bantuan internasional, terlihat jelas pentingnya peran pendanaan non-pemerintah dimana salah satunya melalui carbon trading ini. Agak berbeda dengan skema voluntary, pengaturan pasar wajib jelas membutuhkan pranata dan infrastruktur yang lebih terutama dikaitkan dengan pengaturan hak atas karbon, monitoring dan evaluasi serta pencatatan kinerja realisasi penurunan emisi yang diperjanjikan.
Belum lagi jika nantinya dikaitkan dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) yang akan terlibat di dalam skema carbon trading apakah sebagai perantara, verifikator dan juga pihak yang menetapkan besaran cap atas emisi masing-masing sektor. Posisi pemerintah juga harus jelas apakah sebagai operator atau justru hanya menjadi regulator yang mengawasi berjalannya skema carbon trading. Belajar dari kasus pasar voluntary, carbon trading bukan menjadi hal yang begitu sulit untuk dijalankan. Asal didukung dengan komitmen tinggi serta masing-masing pihak memiliki kepercayaan atas apa yang menjadi tugas dan pekerjaan pihak lainnya. Namun demikian ketika sudah terkait dengan mandatory, maka isu juga bergerak ke arah level kompleksitas pembahasan: apakah perlu dibentuk sebuah bursa carbon tersendiri atau justru dibiarkan saja bertemu di sebuah pasar secara langsung?
Pembentukan bursa carbon di sisi lain juga bukan hal yang mudah untuk dapat dikerjakan. Dalam kasus di Indonesia, pilihan yang memungkinkan apakah bursa carbon akan dibentuk di bawah kelembagan Bursa Efek Indonesia (IDX) atau justru berada di bawah bursa komoditi berjangka? Jika diputuskan akan berada di bawah kelembagaan BEI, maka carbon akan diperlakukan mirip dengan efek dan surat berharga bukan sebagai sebuah dokumen perjanjian perikatan realisasi kinerja. Kemiripan dan kewajaran peran carbon sebagai surat berharga wajib dianalisis dengan mendasarkan kepada regulasi pasar modal berlaku saat ini.
Jika sudah layak dibentuk di bawah IDX, bursa carbon juga wajib dihitung kapasitas pasar yang mampu dibentuk sekaligus menghasilkan berbagai benefit dengan tetap mempertimbangkan asas biaya yang dihasilkan. Tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah untuk dapat menjawba semua kebutuhan ini. Namun memang perlu segera dimulai segala aktivitas dan kebutuhan program yang harus dijalankan. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka cita-cita Indonesia memiliki sebuah skema bursa carbon mandiri tidak akan pernah dapat diwujudkan secara nyata. Namun, jika memang dari hitungan benefit cost analysis ternyata biaya membentuk bursa carbon lebih mahal, maka perlu dipikirkan sinergi awal dengan beberapa pengelola bursa carbon yang sudah terbentuk misalnya Bursa Carbon Singapore.
Hal terakhir yang urgent untuk disepakati adalah mitigasi potensi kebocoran emisi dari hasil carbon trading yang dilakukan. Ingat bahwa Indonesia memiliki target pemenuhan NDC sebesar 29% dan 41% di tahun 2030. Munculnya kebocoran emisi akan membuat upaya pemerintah menjadi lebih sulit dan mahal untuk dapat diwujudkan. Kewajiban melaporkan kepada Sistem Registrasi Nasional (SRN) sepertinya akan menjadi piranti pemerintah dalam mengantisipasi terjadinya potensi kebocoran emisi. Mudah mudahan dengan segala penyiapan yang dilakukan, skema carbon trading akan membawa banyak manfaat dan keuntungan bagi seluruh pihak yang terlibat di dalam kegiatan konservasi secara nyata di segala penjuru tanah air tercinta. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh : Andi Mahesa, Peneliti di IISIP Jakarta Dalam dinamika global yang terus berkembang, tantangan keamanan lintas…
Oleh: Aurelia Sutradjat, Mahasiswa PTS di Bandung Keberhasilan Desk Pemberantasan Narkoba dalam menggagalkan penyelundupan sabu seberat sekitar 2…
Oleh: Rivka Mayangsari, Pengamat Media Digital Di era digital yang berkembang cepat, teknologi telah menjadi bagian tidak terpisahkan…
Oleh : Andi Mahesa, Peneliti di IISIP Jakarta Dalam dinamika global yang terus berkembang, tantangan keamanan lintas…
Oleh: Aurelia Sutradjat, Mahasiswa PTS di Bandung Keberhasilan Desk Pemberantasan Narkoba dalam menggagalkan penyelundupan sabu seberat sekitar 2…
Oleh: Rivka Mayangsari, Pengamat Media Digital Di era digital yang berkembang cepat, teknologi telah menjadi bagian tidak terpisahkan…