Produsen Sebut Sertifikat RSPO Tak Tingkatkan Pasar Minyak Sawit - Komoditas

NERACA

Jakarta – Produsen minyak sawit di tanah air menyatakan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan sesuai standar RSPO (Rountable Sustainble Palm Oil) yang dituntut oleh negara-negara konsumen ternyata tidak mampu meningkatkan pasar komoditas perkebunan tersebut. Seharusnya sertifikasi tersebut memberikan nilai tambah bagi pesertanya tetapi faktanya sangatlah berbeda.

Demikian disampaikan pengamat Perkelapasawitan Maruli Gultom dalam Diskusi “Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global” di Jakarta. "Setiap tahun penjualan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global di bawah 50 persen yang berakibat oversuplai dan tidak adanya premium price bagi konsumen, Walaupun, produsen sudah memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa," katanya, disalin dari laman kantor berita Antara.

Sebaliknya, menurut dia, masih saja terjadi penolakan terhadap minyak sawit di Eropa dengan menggunakan isu-isu lingkungan atau kesejahteraan tenaga kerja. Menurut dia, penolakan sawit di Eropa bukanlah persoalan merusak lingkungan tetapi persaingan energi dengan produk minyak nabati yang diproduksi Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari.

Maruli Gultom menyatakan RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani padahal mereka dituntut menjadi anggota yang dibebani juga membayar iuran. "Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya,” katanya.

Dia menengarai sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan bisnis negara-negara produsen minyak nabati non sawit. "Tidak semua konsumen di Eropa mau membayar premium price bagi produk minyak sawit berkelanjutan. Siapa yang bertanggungjawab ketika premium price tidak ada (bagi produsen dan petani sawit)," ujarnya.

Sementara itu Menteri Pertanian periode 2000-2004 Bungaran Saragih, menyatakan konsumen minyak sawit dunia yang selama ini menuntut sustainability ternyata inkonsisten. Penyerapan pasar CPO bersertifikat sustainability, tambahnya, baru sekitar 60 persen dari produksi CPO bersertifikat sustainability.

Diakuinya bahwa banyak pihak berpandangan bahwa sertifikasi sustainability minyak sawit dinilai diskriminatif karena hanya menuntut sertifikasi pada komoditas sawit dan belum diberlakukan di seluruh komoditi maupun produk diperdagangkan secara internasional. Padahal kewajiban sustainability ini bersifat menyeluruh baik dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia maupun platform SDG’s yang telah diratifikasi di Indonesia.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengakui terjadi ketidakadilan bagi petani peserta RSPO. "Petani dikejar-kejar mengikuti sertifikasi RSPO. Setelah dapat (sertifikat), harga sawit yang diterimanya tetap sama. Mereka (petani) dijanjikan harga bagus. Tapi tidak ada," katanya.

Dia mengatakan, permintaan minyak sawit bersertifikat lebih rendah dari produksi, selain itu pembeli yang ingin minyak sawit bersertifikat jumlahnya juga sedikit. "Artinya, tuntutan sertifikat bagian politik dagang negara pembeli seperti Eropa. Kita dituduh merusak hutan dan lingkungan. Padahal, yang menuduh belum tentu paham dan mengerti sawit,” katanya.

Upaya diplomasi perlu terus dilakukan secara strategis untuk mengkampanyekan kelapa sawit Indonesia yang menunjang pembangunan berkelanjutan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di luar negeri, termasuk mahasiswa, profesional, dan diaspora Indonesia, antara lain di Belanda.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kementerian Luar Negeri Dindin Wahyudin, dalam Dialogue on Sustainable Palm Oil yang diselenggarakan di KBRI Den Haag, Belanda, Kamis (21/11).

Menurut Dindin, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu, berbagai pihak Uni Eropa terus meluncurkan kampanye hitam dan informasi yang menyesatkan mengenai industri kelapa sawit Indonesia, termasuk di dalam berbagai forum PBB dan multilateral lainnya.

Padahal pemerintah Indonesia bersama dengan kalangan swasta dan para petani telah mengambil langkah-langkah agar industri sawit Indonesia menjadi lebih berkelanjutan melalui berbagai cara, antara lain memenuhi sertifikasi RSPO dan ISPO. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan moratorium pembukaan lahan bagi perkebunan kelapa sawit.

 

BERITA TERKAIT

AKSI 2025 Perkuat Ekonomi Kreatif Berbasis UKM

NERACA Jakarta – Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) sepakat bekerja sama mengembangkan UMKM dan…

Indonesia-China Perkuat Kerja Sama

NERACA Jakarta – Hubungan bilateral antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kembali mencatatkan langkah strategis dalam kerja sama ekonomi…

Pertemuan Bilateral Indonesia-Singapura Bahas Penguatan Hubungan Dagang

NERACA Kuala  Lumpur – Menteri Perdagangan RI Budi Santoso bertemu dengan Deput iPerdana Menteri sekaligus Menteri Perdagangan dan Perindustrian Singapura…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

AKSI 2025 Perkuat Ekonomi Kreatif Berbasis UKM

NERACA Jakarta – Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) sepakat bekerja sama mengembangkan UMKM dan…

Indonesia-China Perkuat Kerja Sama

NERACA Jakarta – Hubungan bilateral antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kembali mencatatkan langkah strategis dalam kerja sama ekonomi…

Pertemuan Bilateral Indonesia-Singapura Bahas Penguatan Hubungan Dagang

NERACA Kuala  Lumpur – Menteri Perdagangan RI Budi Santoso bertemu dengan Deput iPerdana Menteri sekaligus Menteri Perdagangan dan Perindustrian Singapura…