Impor Produk Tekstil Dikenakan Bea Masuk Hingga 67%

NERACA

Jakarta-Pemerintah melalui SK Kementerian Keuangan PMK 162/PMK.010/2019 menetapkan kebijakan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) untuk tekstil dan produk tekstil yang diimpor mulai dari Rp 1.318 per meter hingga Rp 9.521 per meter serta tarif ad valorem berkisar 36,30% hingga 67,70%.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan PMK 163/PMK.010/2019 yang mengenakan BMTPS terhadap produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya yang diimpor sebesar Rp 41.083 per Kg.

Selain itu, Kementerian Keuangan melalui melalui PMK 161/PMK.010/2019 juga menetapkan BMTPS terhadap produk benang (selain benang jahit) dari serta stapel sintetik dan artifisial yang diimpor mulai dari Rp 1.405 per Kg.

Ketiga aturan baru tersebut dikeluarkan sebagai bentuk keseriusan pemerintah untuk mengamankan industri dalam negeri serta mendorong penggunaan produk dari pasar domestik.

Menurut Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Kemenkeu, Syarif Hidayat, BMTPS tersebut diterapkan terhadap beberapa pos tarif dalam buku tarif kepabeanan Indonesia (BTKI). "BMTPS diberlakukan terhadap impor produk benang (selain benang jahit) dari serat stapel sintetik dan artifisial sebanyak 6 pos tarif, produk kain sebanyak 107 pos tarif, serta produk tirai (termasuk gorden), kerai dalam, kelambu tempat tidur, dan barang perabot lainnya sebanyak 8 pos tarif dengan besaran tarifnya tercantum dalam PMK tersebut," ujarnya seperti dikutip merdeka.com.

Syarif menambahkan bahwa ketiga aturan ini akan mulai diimplementasikan pada 9 November 2019, dan akan berlaku selama dua ratus hari. "Kami berharap pengguna jasa dapat mencermati isi aturan tersebut. Pengguna jasa dapat mengaksesnya melalui sjdih.depkeu.go.id atau fiskal.kemenkeu.go.id," ujarnya.

Sementara itu, untuk memastikan implementasi aturan ini berjalan lancar tanpa mengabaikan pengawasan terhadap barang impor, Kementerian Keuangan melalui Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sesuai dengan PMK 225/PMK.04/2015 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Aryo Andrianto mengapresiasi keputusan Kementerian Keuangan yang tidak melakukan perubahan beban cukai pada Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL). Keputusan tersebut dinilai bijaksana dan dapat membantu industri produk tembakau alternatif yang baru mulai ini untuk beradaptasi.

"Kami berterima kasih pada pemerintah yang memperhatikan kelangsungan industri baru ini dengan tidak menaikkan beban cukai atau HJE minimum HPTL. Keputusan ini sangat bijaksana dan membantu industri kami, yang baru diatur kurang lebih satu tahun ini, untuk beradaptasi pada ketentuan-ketentuan baru yang dijalankan. Hal ini juga memotivasi kami untuk melakukan evaluasi dan mengembangkan industri baru ini lebih baik lagi," ujarnya di Jakarta.

Pada Oktober lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 152/PMK.010.2019 untuk menaikkan cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok, namun pada beleid tersebut tidak terjadi perubahan ketentuan untuk HPTL.

Aryo melanjutkan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan beban cukai HPTL sudah tepat. Hal ini karena industri produk tembakau alternatif masih baru mulai dan belum berkembang.

"Ada beberapa faktor, salah satunya karena peraturan ini baru diperkenalkan jadi masih ada pelaku usaha HPTL, yang 90% adalah UMKM, belum mendaftarkan usahanya untuk bayar cukai. Kami terus berusaha melakukan sosialisasi kepada teman-teman mengenai kebijakan yang dikeluarkan Ditjen Bea dan Cukai ini," jelasnya.

Dia berharap pemerintah menjaga kelangsungan industri baru ini dengan tidak mengeluarkan peraturan yang memberatkan. Sebab, pengenaan tarif cukai maksimal sebesar 57% sudah membebani industri.

"Kami mohon pada pemerintah untuk memberikan dukungan dengan tidak melakukan perubahan kebijakan cukai atau menaikkan beban cukai yang harus dibayarkan. Apalagi, menaikkan HJE minimum. Kami minta status quo untuk beberapa tahun ke depan, setidaknya sampai industri ini sudah stabil dan informasi terkait industri dapat dikaji secara komprehensif. Industri ini akan semakin terpuruk jika beban cukainya naik lagi," ujarnya.

Belum berkembangnya industri ini juga ditunjukkan dengan tidak bertumbuhnya jumlah pengguna produk HPTL di Indonesia yang masih stagnan di sekitar satu juta pengguna. Aryo menjelaskan stagnansi ini lantaran masyarakat tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang potensi dari produk tembakau alternatif. Selain itu, banyaknya berita negatif terkait penyalahgunaan narkoba pada rokok elektrik juga memiliki andil dalam hal tersebut. mohar

BERITA TERKAIT

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

MENAKER IDA FAUZIYAH: - Kaji Regulasi Perlindungan Ojol dan Kurir

Jakarta-Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan mengkaji regulasi tentang perlindungan bagi ojek online (ojol) hingga kurir paket, termasuk mencakup pemberian tunjangan…

TRANSISI EBT: - Sejumlah Negara di Asteng Alami Kemunduran

Jakarta-Inflasi hijau (greenflation) menyebabkan sejumlah negara di Asia Tenggara (Asteng), termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam mengalami kemunduran dalam transisi energi…

RENCANA KENAIKAN PPN 12 PERSEN PADA 2025: - Presiden Jokowi akan Pertimbangkan Kembali

Jakarta-Presiden Jokowi disebut-sebut akan mempertimbangkan kembali rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Sebelumnya, Ketua Umum…