NERACA
Jakarta - Sengketa kepemilikan saham PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) kembali hangat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kali ini, PT Aryaputra Teguharta (PTAPT) mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke PN Jakarta Pusat terhadap PTBFI, Francis Lay Sioe Ho, Cornellius Henry Kho dan Yan Peter Wangkar yang tidak menghomati dan menjalankan Putusan PK No. 240/2006.
Pasalnya, PTBFI dan para terhukum lainnya berdasarkan Putusan PK No. 240/2006 dianggap beritikad buruk dan memang sengaja tidak mau mengembalikan saham-saham milik PTAPT, karenanya mereka wajib untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar lebih dari Rp 80 miliar. mAdapun jumlah uang paksa (dwangsom) tersebut dihitung sampai dengan pendaftaran gugatan, karenanya di masa yang akan mendatang kewajiban dwangsom masih bisa terakumulasi dan akan tetap dituntut oleh PTAPT sampai dikembalikannya saham-saham 32,32% oleh PTBFI dan para terhukum kepada PTAPT.
Asido M Panjaitan dari HHR Lawyers (Kuasa Hukum PTAPT) dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin menegaskan, dalam gugatan ini pihaknya akan membuktikan bahwa PTBFI (termasuk Francis Lay Sioe Ho, Cornellius Henry Kho, dan Yan Peter Wangkar) dari awal beritikad buruk dan memang tidak mau mengembalikan saham-saham kepada PTAPT, "walapun jelas mereka telah dihukum dan diperintahkan dalam Putusan PK No. 240/2006,"ucapnya.
Dalam gugatannya, PTAPT sangat menyayangkan bahwa walaupun sudah diperingatkan, ternyata PTBFI dengan arogan dan semena-mena begitu saja menolak kewajiban hukumnya yaitu dengan sengaja tidak mau melaksanakan Putusan PK No. 240/2006, bahkan secara tidak patut mengatakan dan menyebarluaskan kepada masyarakat bahwa Putusan PK No. 240/2006 adalah putusan yang tidak berkekuatan hukum tetap, yang sudah tentu hal tersebut tidak benar.
Selain itu, dalam gugatan PTAPT juga mengajukan fakta bahwa PTBFI tidak mau secara sukarela sebagai pihak yang dihukum mengembalikan saham-saham milik PTAPT, bukan karena mereka tidak mampu (atau karena mereka tidak menguasai atau tidak mempunyai kendali atau kekuasaan untuk mengembalikan saham tersebut), melainkan memang PTBFI dengan sengaja "tidak mau" mengembalikan saham-saham milik PTAPT tersebut.
Menurut ahli hukum adminstrasi negara sekaligus Rektor Universitas Dipenegoro, Semarang, Yos Johan Utama, Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) berkewajiban untuk patuh terhadap undang - undang dan asas umum pemerintahan yang baik atau good governance yag didalamnya terdapat prinsip kepastian hukum. Menurutnya, kewajiban tersebut seperti diatur dalam UU No.30/2014, UU No.5/2014, UU Aparatur Sipil Negara, dan PP No.53/2010.”Jadi, Pejabat Tata Usaha Negara wajib melaksanakan putusan MA untuk penghormatan atas kepastian hukum,"ujarnya.
Sebelumnya, PTAPT melalui suratnya tanggal 4 Juni 2018, telah mengeluarkan somasi terhadap para terhukum dalam Putusan PK No. 240/2006, termasuk disini PTBFI untuk membayar kewajiban uang paksa (dwangsom) kepada PTAPT.
NERACA Jakarta – Perkuat struktur permodalan guna mendanai ekspansi bisnisnya, PT Acset Indonusa Tbk (ACST) bakal menambah modal lewat skema…
Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, TelkomGroup kembali menyelenggarakan Digiland 2025, perhelatan tahunan yang menjadi wadah kolaborasi teknologi, olahraga, edukasi, hingga…
NERACA Jakarta – Jaga pertumbuhan harga saham di pasar, PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA) menyiapkan dana senilai maksimal Rp200 miliar…
Tekad Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan kemandirian bahan bakar minyak (BBM) dalam lima tahun yang akan datang menurut pakar Komunikasi…
NERACA Jakarta – Dorong pertumbuhan literasi pasar modal, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan dua media edukasi terbaru yang dirancang…
NERACA Jakarta — PT RMK Energy Tbk. (RMKE) mencatatkan laba bersih sebesar Rp51,5 miliar pada kuartal I/2025 atau meningkat sebesar…