Pejabat Mengundurkan Diri Cerminkan Budaya Malu?

Oleh: Budi Setiawanto

Sedikitnya tiga pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Desember ini, yakni Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Sigit Pradi Pramudito, Ketua DPR RI Setya Novanto, dan Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono.

Sigit menyampaikan surat pengunduran diri kepada Menteri Keuangan Bambang Prodjonegoro pada tanggal 1 Desember 2015; Setya Novanto menyampaikan surat pengunduran diri kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang menyidangkan perkaranya pada tanggal 16 Desember 2015; dan Djoko Sasono mengundurkan diri per 26 Desember 2015 dan menyampaikan surat pengunduran diri kepada Menteri Perhubungan Ignasius Jonan pada tanggal 27 Desember 2015.

Salah satu alasan Sigit menyatakan pengunduran dirinya adalah karena merasa tidak sanggup memenuhi target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P 2015 sebesar Rp1.294 triliun.

Sigit baru dilantik sebagai Dirjen Pajak pada awal Februari 2015 setelah terpilih melalui seleksi terbuka jabatan eselon satu yang dilakukan Kementerian Keuangan. Mantan Kepala Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar ini pada awal masa jabatannya sebagai pimpinan tertinggi otoritas pajak optimistis bisa mencapai target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN.

Sigit sempat melakukan konsolidasi internal dan langkah optimalisasi lainnya, apalagi pegawai pajak telah dijanjikan sejumlah insentif apabila ada pencapaian target penerimaan yang positif. Namun, menjelang akhir 2015, penerimaan pajak diproyeksikan hanya bisa mencapai 85--87 persen sehingga Sigit mengundurkan diri lebih dini meskipun baru menjabat sekitar sembilan bulan sebagai Direktur Jenderal Pajak.

Setya Novanto untuk kedua kali berurusan dengan MKD setelah Menteri ESDM Sudirman Said mengadukan dugaan pelanggaran etika dan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam pembicaraan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia di Papua.

Pertama kali kasus Setya Novanto sampai ke MKD adalah setelah dia menemui pengusaha AS yang berminat menjadi calon Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Setya Novanto bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon serta sejumlah anggota DPR lainnya menemui dan menghadiri konferensi pers Donald Trump di Trump Tower di New York, AS, 3 September 2015 waktu setempat. Pertemuan itu dilakukan setelah mengikuti pertemuan perwakilan parlemen dari berbagai penjuru dunia di Markas Besar PBB, New York.

Pengaduan ke MKD untuk kedua kalinya itu berangkat dari pertemuan antara Setya Novanto, pengusaha minyak M. Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin di ruang pertemuan Hotel Ritz Carlton di Sudirman Centre Business District di Jakarta Selatan, 8 Juni 2015. Pembicaraan dalam pertemuan sekitar 120 menit itu direkam secara diam-diam oleh Ma'roef. Ma'roef kemudian melaporkan hasil pembicaraan itu kepada pemimpin Freeport di AS dan Menteri ESDM.

MKD pun menggelar serangkaian persidangan etika yang mendengarkan keterangan Sudirman Said sebagai pengadu, keterangan Ma'roef sebagai saksi, Setya Novanto sebagai teradu, dan Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan sebagai saksi karena namanya disebut-sebut sebanyak 66 kali dalam perbincangan yang direkam tersebut.

Saat MKD menyelenggarakan sidang pleno untuk mengeluarkan keputusan dan setelah sebagian besar anggota MKD menyampaikan pendapatnya, MKD menerima surat bermeterai dari Setya Novanto. Dalam surat yang dibacakan Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad.

"Sehubungan dengan perkembangan penanganan pengaduan dugaan pelanggaran etika yang sedang berlangsung di Mahkamah Kehormatan DPR RI, maka untuk menjaga harkat dan martabat, serta kehormatan lembaga DPR RI serta demi menciptakan ketenangan di masyarakat, dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai ketua DPR RI periode keanggotaan 2014--2019. Demikian pernyataan pengunduran diri ini saya buat dengan tulus. Semoga bermanfaat bagi kepentingan bgnsa, negara, dan rakyat Indonesia." Begitulah isi surat pengunduran diri dari politikus Partai Golkar itu. Setya Novanto menjadi Ketua DPR RI pertama yang mengundurkan diri dari jabatannya sebelum masa kerjanya, 2014--2019, berakhir. Ketua MKD Surahman Hidayat menyampaikan keputusan MKD menyatakan kasus dugaan pelanggaran etik dinyatakan ditutup sejak diterimanya surat pengunduran diri Ketua DPR Setya Novanto.

Djoko Sasono mengundurkan diri dari jabatannya karena merasa gagal mengatasi kemacetan lalu lintas parah pada tanggal 23--24 Desember 2015 di ruas tol dalam kota Jakarta hingga ke tol Cikampek, tol Cipularang, dan tol Cipali.

Djoko mengatakan bahwa pengunduran diri tersebut sebagai tanggung jawab yang harus dilakukan atas kemacetan di beberapa ruas, terutama di tol yang terjadi menjelang Natal 2015. "Saya harus bertanggung jawab karena banyak spekulasi di tengah masyarakat. Ini adalah kesalahan Dirjen Perhubungan Darat," katanya.

Kredibilitas dan Akuntabilitas

Djoko mengaku merasa bersalah karena belum bisa melakukan upaya-upaya yang lebih baik. Dia juga mengaku tidak ada tekanan dari siapa pun terkait dengan pengunduran dirinya. Djoko sebelumnya juga mendapat gempuran opini terkait dengan penegakan undang-undang soal larangan ojek serta taksi "online".

Kredibilitas dan Akuntabilitas Kenyataan tiga pejabat publik yang mengundurkan diri dari jabatannya dalam kurun bulan yang sama itu merupakan peristiwa bersejarah dalam nilai-nilai kredibilitas dan akuntabilitas pejabat publik di negeri ini. Selain itu, merupakan rekor terbaru bahwa dalam kurun kurang dari sebulan, terdapat tiga pejabat negara mengundurkan diri.

Meskipun masih tergolong langka pejabat publik mengundurkan diri dari jabatannya, kenyataan itu memperpanjang deretan pejabat negara yang sebelumnya juga telah mengundurkan diri.

Sebut saja Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto yang pada tahun ini juga mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Abraham Samad mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulselbar atas dugaan pemalsuan surat atau tindak pidana administrasi kependudukan atas nama Feriyani Lim pada tahun 2007. Lim memalsukan dokumen dan masuk dalam kartu keluarga Abraham Samad dengan alamat di Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Makassar.

Sementara itu, Bambang Widjojanto yang sempat ditangkap di Depok pada Jumat pagi, 23 Januari 2015, atas dugaan rekayasa keterangan palsu saat menjadi pengacara dalam perkara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kotawaringin Barat 2010 dan ditahan di Bareskrim Polri juga mengundurkan diri dari jabatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka. Bambang Widjojanto disangka Polri menyuruh sejumlah saksi memberikan keterangan palsu di depan sidang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010. Bambang ketika itu pengacara pasangan calon bupati dan wakil bupati, Ujang Iskandar dan Bambang Purwanto.

Handoyo Sudrajad mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 29 April 2015 karena merasa gagal dalam memimpin program kerja di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dia menjabat Dirjen Pemasyarakatan sejak November 2013.

Pengamat budaya politik dari UI Dr. Yon Machmudi berpendapat saat ini sulit menemukan figur yang dapat memberikan keteladanan dalam kepemimpinan, termasuk dalam penegakan etika.

Yon yang juga Wakil Direktur Institute of Leadership Development Universitas Indonesia (Ilead UI) mengatakan bahwa pengunduran diri itu menyangkut kehormatan sebuah lembaga negara dan akan memberikan harapan kepada publik serta sekaligus sebagai pendidikan politik yang sangat berharga bahwa etika masih dihormati di Indonesia.

"Mengakui kesalahan adalah sikap gentle dan menunjukkan kualitas kepemimpinan seseorang," ujarnya.

Dalam kasus Setya Novanto, misalnya, Yon mengatakan bahwa muruah DPR dapat ditegakkan dan dapat dikembangkan lebih jauh lagi, tidak hanya fokus pada Setya Novanto, tetapi menyentuh pihak-pihak lain yang terlibat dalam skandal itu. Pengorbanan Novanto mengundurkan diri akan diingat oleh publik secara positif karena telah menjadi pintu dalam membongkar kasus-kasus yang lebih besar di sekitar Freeport.

Budaya malu perlu dikedepankan sebab seberapa besar tingkat kesalahan seseorang akan memengaruhi kinerja suatu organisasi. Jika yang bersangkutan salah, lantas mundur dan melepas jabatannya, hal itu merupakan sikap terpuji sebelum ke depannya merugikan banyak orang, kata Imam Muhtadi, seorang yang bergiat pada pelatihan kepemimpinan, saat memberikan pelatihan kepemimpinan dan pembinaan mental kepada ratusan pegawai negeri sipil Kementerian Agama, beberapa waktu lalu.

Hal itu bisa dilihat dari budaya malu di Jepang. Orang setingkat menteri saja mundur karena berbuat salah. Tanpa diminta. Bahkan, ada yang melakukan harakiri atau bunuh diri karena budaya malu demikian kuat. Di negeri itu juga orang menghormati orang tua, di kantor maupun di rumah.

"Dalam Islam, mengejar jabatan sangat dijauhkan. Karena jabatan yang diemban itu melekat tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya. Amanah itu harus dipertanggungjawabkan," katanya.

Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta Bob Widyahartono, M.A. pernah menulis untuk Antaranews bahwa budaya malu (shame culture) sejatinya merupakan sikap dan sifat bangsa Timur/Asia, termasuk Indonesia. Intinya merupakan wujud hati nurani yang benar, bukan hanya di permukaan saja atau cari-cari publisitas. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Fenomena "Gig Economy" dan Side Hustle: - Realita Baru Dunia Kerja Anak Muda

      Oleh: Diana Triwardhani, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta   Di era digital seperti sekarang ini, cara orang…

Aksi Indonesia Gelap Rawan Ditunggangi Kepentingan Politik

    Oleh : Aditya Anggara, Pemerhati Sosial Politik    Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial dan ruang publik diramaikan…

Strategi Melawan Pelemahan Ekonomi Lewat Kolaborasi dan Teknologi

    Oleh : Dian Susilawati, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam menghadapi tantangan pelemahan ekonomi global…

BERITA LAINNYA DI Opini

Fenomena "Gig Economy" dan Side Hustle: - Realita Baru Dunia Kerja Anak Muda

      Oleh: Diana Triwardhani, Dosen FEB UPN Veteran Jakarta   Di era digital seperti sekarang ini, cara orang…

Aksi Indonesia Gelap Rawan Ditunggangi Kepentingan Politik

    Oleh : Aditya Anggara, Pemerhati Sosial Politik    Dalam beberapa waktu terakhir, media sosial dan ruang publik diramaikan…

Strategi Melawan Pelemahan Ekonomi Lewat Kolaborasi dan Teknologi

    Oleh : Dian Susilawati, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam menghadapi tantangan pelemahan ekonomi global…