Jepang Tetap Kreditur Terbesar Proyek Pemerintah

 

 

NERACA

 

Jakarta - Jepang tetap menjadi pemberi pinjaman terbesar untuk 25 proyek dari pinjaman luar negeri prioritas yang diajukan pemerintah Indonesia, seperti tercantum dalam dokumen terbaru "Green Book" 2015. Plafon pinjaman Jepang untuk pembangunan proyek-proyek prioritas pada 2015 mencapai 1,407 miliar dolar AS atau lebih tinggi 72 persen dibanding Tiongkok yang sebesar 818 juta dolar AS, berdasarkan salinan Green Book atau Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRRPLN) 2015 yang dikutip Antara di Jakarta, Selasa (20/10).

Meskipun rencana megaproyek kereta cepat dengan Jepang batal, saat diikonfirmasi, Deputi Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata membenarkan bahwa plafon pinjaman bilateral Jepang melalui JICA mendominasi plafon pinjaman prioritas 2015. "Jepang itu hampir sekitar 40 persenan. Baru di bawah Jepang ada lembaga multilateral, dan bilateral lainnya," kata Wismana di Gedung DPR, Senin.

Berdasarkan "Green Book" 2015, proyek yang akan melibatkan Jepang melalui lembaga JICA adalah tahap rekayasa "Mass Rapid Transit" jalur Barat tahap pertama dengan pinjaman 19,2 juta dolar AS, kemudian konstruksinya sebesar 752,2 juta dolar AS. Kemudian, pembangkit listrik geothermal Hululais dengan bantuan pinjaman 6,5 juta dolar AS, proyek transmisi listrik Jawa-Sumatera 629 juta dolar AS.

Wismana menuturkan, kemungkinan pencairan pinjaman Jepang dan mitra kreditur lainnya baru bisa dilakukan pada awal 2016. Namun, bukan berarti pembangunan proyek tersebut tertunda, karena pinjaman luar negeri ini hanya bersifat komplementer atau pelengkap kebutuhan dana proyek-proyek infrastruktur. Artinya, sebagian dana proyek infrastruktur ini juga dibiayai oleh pihak pelaksana, dalam hal ini pemerintah, ataupun BUMN.

Proses teknisnya, setelah Green Book diluncurkan, kementerian teknis atau penanggung jawab proyek akan mengajukan surat persetujuan pinjaman yang akan ditandatangani Menteri PPN/Kepala Bappenas dan diteruskan kepada Kementerian Keuangan. Setelah itu, pihak Kementerian Keuangan akan bernegoisasi dengan kreditur tersebut. Pinjaman yang akhirnya direalisasikan juga bisa saja tidak seperti dengan yang tercantum dalam Green Book.

Hal tersebut tergantung dengan kesiapan proyek, seperti pembebasan tanah, kelengkapan dokumen, hasil studi kelayakan dan faktor lainnya. "Namun, target kita bisa terserap semua," ujar Wismana. Green Book 2015 terdiri dari 25 proyek infrastruktur dengan total nilai pinjaman luar negeri 3,9 miliar dolar AS dan dana persiapan dari pemerintah sebesar 1,2 miliar dolar AS.

 

BERITA TERKAIT

Akuisisi LandLogic, WGSH Berencana Bangun Valley City View

  NERACA Jakarta - Menutup semester pertama tahun 2025, PT Wira Global Solusi Tbk (WGSH), juga dikenal dengan nama WGS…

Dua Instrumen Moneter Syariah Tunjukkan Perkembangan Positif

NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa dua instrumen moneter berbasis syariah yakni Sukuk Bank Indonesia (SukBI) dan Sukuk…

Pemerintah Sederhanakan Aturan Kepabeanan Barang Bawaan Penumpang

  NERACA Jakarta - Pemerintah menyederhanakan regulasi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025 yang mengubah ketentuan pengenaan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Akuisisi LandLogic, WGSH Berencana Bangun Valley City View

  NERACA Jakarta - Menutup semester pertama tahun 2025, PT Wira Global Solusi Tbk (WGSH), juga dikenal dengan nama WGS…

Dua Instrumen Moneter Syariah Tunjukkan Perkembangan Positif

NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa dua instrumen moneter berbasis syariah yakni Sukuk Bank Indonesia (SukBI) dan Sukuk…

Pemerintah Sederhanakan Aturan Kepabeanan Barang Bawaan Penumpang

  NERACA Jakarta - Pemerintah menyederhanakan regulasi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34 Tahun 2025 yang mengubah ketentuan pengenaan…