Fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar AS belakangan ini mengundang keprihatinan ekonom dari Singapura, Lee Boon Keng, yang sangat menyakitkan kita. Meski demikian, analisis dia terhadap kemerosotan nilai rupiah tidak perlu kita telan mentah-mentah, namun juga jangan dipandang enteng.
Lee Boon Keng, alumnus doktor ekonomi dari New York University dan pengajar di Singapore Management University, pernah mengatakan dalam sebuah seminar bahwa level nilai tukar yang dipatok dalam stress test hendaknya dinaikkan hingga Rp 25.000. Karena, level stress test dengan kurs rupiah Rp 15.000 tidak cukup menggambarkan kesiapan sistem keuangan Indonesia dalam menghadapi krisis. “Jangan berfikir bahwa segalanya baik-baik saja. Kurs rupiah sekarang sudah lewat 13.000 per dolar. Dari angka itu ke Rp 25.000 tidaklah jauh,” kata Boon Keng.
Pandangan tersebut memang terdengar ekstrem. Sangat menyakitkan. Hampir semua pengamat dan bankir kita menolak sinyalemen tersebut, apalagi Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mereka menilai pernyataan Boon Keng untuk menguji coba kemampuan perbankan kita bila kurs rupiah terus merosot hingga Rp 25.000 per US$1 sebagai saran yang berlebihan.
Boon Keng bahkan dicurigai membawa misi yang menguntungkan Singapura. Sebab, bila terjadi keguncangan disini, para pemilik uang akan merasa lebih aman menyimpan dana di negara pulau itu. Bilai kurs rupiah terus merosot di atas Rp 15.000, akan terjadi kepanikan yang sangat mempengaruhi kondisi perbankan kita, yang bisa menyeret situasi ke arah krisis. Kurs rupiah terendah pernah mencapai Rp 17.000 (1998) yang telah memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Bila Boon Keng menyarankan dilakukan stress test hingga Rp 25.000, sangat mungkin ia telah melihat gelagat yang tidak beres.
Namun beberapa bankir percaya asumsi Boon Keng tidak akan terjadi. Presdir Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiatmadja berkeyakinan rupiah tidak akan melemah hingga level 25.000. Dia pun menilai daya tahan ekonomi dan perbankan Indonesia saat ini cukup baik. Jahja menilai stress test yang telah dilakukan OJK dan BI hingga level Rp 15.000 per dolar, cukup menggambarkan daya tahan perekonomian dan stabilitas keuangan kita saat ini.
Mungkin pendapat itu benar. Maka, kita meminta pemerintah dan BI tetap percaya diri mampu mengendalikan gejolak kurs dan stabilitas moneter sehingga bisa meredam kecemasan masyarakat. Ini salah satu kunci yang harus diperhatikan. Sebab, sekali pemerintah dan BI terlihat grogi, hal tersebut menjadi sinyal yang menyeret sentimen pasar ke arah negatif pula.
Namun demikian, kepercayaan diri kita tidak boleh membabi buta. Tak salah kita menyimak pandangan Gundy Cahyadi, Vice President Economic & Currency Research The Development Bank of Singapore Limited (DBS). Ia menilai betapa rentan posisi kita terutama bila dilihat dari besarnya cadangan devisa dibandingkan jumlah utang luar negeri. Rasio cadangan devisa terlalu kecil. Cadangan kita hanya US$100,8 miliar, sedangkan utang luar negeri mencapai US$300 miliar.
“Ini suatu angka yang relatif rendah dibandingkan negara lain. Indonesia bisa dibilang tiga terburuk di antara negara-negara yang hampir sama kondisinya,” katanya. Dia mengatakan, selama cadangan devisa mampu menutupi utang, terutama yang berjangka pendek, tidak ada risiko. Tapi kita tidak. Jumlah utang jangka pendek sekarang sekitar US$ 43 miliar, yang bisa sewaktu-waktu menyedot devisa, padahal kita juga membutuhkannya untuk pengamanan impor.
Situasi kita sekarang tidak mudah. Kita menyaksikan BI kewalahan mengendalikan kurs, meski berkali-kali mengintervensi pasar menggunakan cadangan devisa yang ada. Tindakan intervensi pasar itu bahkan layaknya “menggarami laut”, tak ada bekasnya. Situasi kita juga diperburuk oleh defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit) yang kronis dan tak pernah kunjung membaik. Waspadalah!
Indonesia kembali membuktikan posisinya sebagai aktor penting dalam kancah diplomasi global dengan sukses menjadi tuan rumah Sidang Parliamentary Union of…
Kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, dengan penerapan tarif impor yang tinggi, menjadi tantangan tersendiri bagi…
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut didukung sebagai wujud nyata komitmen negara dalam menjamin hak-hak…
Indonesia kembali membuktikan posisinya sebagai aktor penting dalam kancah diplomasi global dengan sukses menjadi tuan rumah Sidang Parliamentary Union of…
Kebijakan proteksionis Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump, dengan penerapan tarif impor yang tinggi, menjadi tantangan tersendiri bagi…
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menghapus sistem outsourcing patut didukung sebagai wujud nyata komitmen negara dalam menjamin hak-hak…