Program 3 (tiga) juta rumah yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran memang memiliki tujuan mulia: menyediakan hunian layak bagi rakyat, mengentaskan backlog perumahan yang mencapai angka 12,7 juta unit, sekaligus menciptakan stimulus bagi sektor properti dan tenaga kerja.
Namun, di balik ambisi besar itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa program ini tengah menghadapi jalan terjal, bukan hanya dari sisi teknis dan pembiayaan, melainkan juga dari kegagalan membaca konteks sosial-ekonomi masyarakat saat ini.
Pernyataan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah bahwa Indonesia berhasil mendapatkan komitmen pinjaman lunak senilai Rp50 triliun dari lembaga multilateral seperti World Bank, ADB, dan AIIB, tentu merupakan angin segar secara fiskal. Namun apakah solusi pendanaan otomatis menjawab seluruh tantangan dalam eksekusi program ini? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Menurut Achmad Nur Hidayat, ekonom UPN Veteran Jakarta, program perumahan rakyat akan gagal total jika calon penghuninya sendiri tidak memiliki kapasitas ekonomi untuk mencicil rumah, bahkan rumah bersubsidi sekalipun.
Apalagi dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), terutama di sektor manufaktur dan tekstil. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan atau mengalami pemangkasan jam kerja dan penghasilan. Sementara itu, inflasi harga pangan dan energi terus menekan daya beli rumah tangga menengah ke bawah.
Ketika masyarakat sibuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar seperti makan dan transportasi, memiliki rumah menjadi prioritas kesekian. Bahkan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi pun tetap tidak terjangkau jika pendapatan tetap tidak mencukupi untuk membayar uang muka dan cicilan bulanan.
Maka, keliru besar bila pemerintah hanya berfokus pada aspek pembangunan fisik rumah tanpa melihat kesiapan sosial ekonomi masyarakat penerima manfaat. Di sinilah letak kritik utama terhadap program 3 juta rumah.
Alih-alih memaksakan target ambisius, semestinya pemerintah terlebih dahulu memulihkan sektor ketenagakerjaan dan meningkatkan produktivitas nasional. Pembangunan perumahan harus sinkron dengan pertumbuhan ekonomi riil di level rumah tangga. Ini artinya, rumah tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan.
Di manapun di dunia, model pembangunan perumahan yang berhasil selalu melekat pada zona produktif: kawasan industri, pusat perdagangan, atau sentra ekonomi lokal. Fokus kebijakan PKP seharusnya bergeser dari sekadar pembangunan kuantitatif ke arah pengembangan permukiman berbasis pekerjaan dan konektivitas. Ini berarti perlu sinergi lintas sektor antara kementerian ketenagakerjaan, perindustrian, perhubungan, dan perencanaan wilayah.
Dalam konteks fiskal Indonesia yang defisit anggarannya sudah mepet dengan batas aman, tambahan utang meski lunak sekalipun menambah beban jangka panjang. Belum lagi jika proyek yang dibiayai tidak menghasilkan manfaat ekonomi yang langsung terasa. Bahkan lebih berbahaya lagi, jika pendanaan luar negeri dipakai untuk proyek yang tidak matang secara kelembagaan dan regulasi.
Ada baiknya pemerintah perlu menghindari jebakan menjadikan program perumahan sebagai panggung pencitraan politik semata. Karena hunian adalah hak dasar warga negara yang semestinya dipenuhi melalui tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Menyulap kawasan kumuh menjadi apartemen vertikal bukan sekadar urusan estetika kota, tapi menyangkut relokasi sosial, akses terhadap fasilitas umum, dan keberlanjutan komunitas. Dalam sejarah pembangunan perumahan, banyak proyek vertical housing gagal karena tidak menyediakan kehidupan berkelanjutan di dalamnya: tidak ada sekolah, tempat kerja, taman bermain, atau akses transportasi.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengambil langkah strategis dengan melibatkan unsur pengusaha dan serikat pekerja dalam pembentukan Dewan…
Perekonomian Indonesia kembali menunjukkan performa yang solid pada kuartal I-2025, dengan mencatat pertumbuhan sebesar 4,87 persen (yoy). Capaian ini…
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas utama dalam Delapan Cita (Asta Cita) pembangunan nasional yang digagas oleh…
Program 3 (tiga) juta rumah yang digagas pemerintahan Prabowo-Gibran memang memiliki tujuan mulia: menyediakan hunian layak bagi rakyat, mengentaskan…
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan mengambil langkah strategis dengan melibatkan unsur pengusaha dan serikat pekerja dalam pembentukan Dewan…
Perekonomian Indonesia kembali menunjukkan performa yang solid pada kuartal I-2025, dengan mencatat pertumbuhan sebesar 4,87 persen (yoy). Capaian ini…