Jakarta- Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi ketidakpastian global berpotensi terjadi secara permanen. Hal itu disebabkan rezim bilateral antar negara yang lebih dominan mempengaruhi situasi global. "Situasi hari ini dimana rezim bilateral menjadi dominan menyebabkan dunia akan terus dalam situasi bersitegang yang unfortunately kita tidak tahu kapan akan berakhir," ujarnya dalam acara Economic Update 2025 di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (18/6).
NERACA
"Makanya tadi saya sebutkan global uncertainty yang terjadi akan ada guncangan terus-menerus karena keputusan-keputusan para pemimpin atau politisi dunia yang kemudian konsiderasinya, pertimbangannya tidak global, tetapi bergantung dari situasi kepentingan dan kuasa," ujar Menkeu.
Keputusan-keputusan seperti itu menurut Sri Mulyani adalah sumber ketidakpastian global. Dia melanjutkan, dalam jangka pendek situasi yang tidak pasti ini dicoba untuk diatasi oleh kekuatan ekonomi besar dunia.
Misalnya antara pemerintah China dengan pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam konteks tarif timbal balik impor yang sebelumnya diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump. Kedua belah pihak saat ini setuju untuk melakukan beberapa tahap negosiasi. Namun, hasil akhir dari proses negosiasi tarif belum bisa dipastikan.
"Tapi dalam proses itu karena ada dua uncertainty, yaitu uncertainty about what kind of mechanism that they are going to agree (mekanisme apa yang disepakati) and what kind of objective that they are going to agree (tujuan apa yang disepakati), maka akan selesai dengan ketidakpastian dari dua ekonomi terbesar di dunia," tutur Sri Mulyani.
Lebih lanjut Menkeu menjelaskan, dalam situasi ketidakpastian itu perekonomian Indonesia akan terus terdampak. Terlebih karena perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka relatif jauh lebih kecil dibandingkan dengan berbagai kekuatan ekonomi dunia.
Sehingga, Sri Mulyani mengingatkan agar Indonesia selalu siap menghadapi ketidakpastian. "Kita akan terus terpengaruh oleh environment yang tidak pasti. Yang faktanya adalah relatively bukan jangka pendek, karena ini adalah seismic change perubahan yang relatively direction-nya berubah dan kita harus siap as an open economy," ujarnya.
Tidak hanya itu. Menkeu juga mewaspadai sejumlah dampak yang mungkin muncul akibat konflik Iran-Israel terhadap perekonomian Indonesia. Eskalasi konflik kedua negara di Timur Tengah itu, menurut dia, telah memicu lonjakan harga minyak lebih dari 8 persen, dari posisi di bawah US$ 70 per barel menjadi US4 78 per barel. Walaupun harga minyak telah terkoreksi ke level US$ 75 per hari, ketegangan Iran-Israel berdampak cukup signifikan.
“Ini adalah suatu kejadian yang bisa langsung memengaruhi kondisi perekonomian secara sangat signifikan, baik melalui harga komoditas maupun dari sisi nilai tukar, suku bunga, dan aliran modal,” ujarnya.
Seiring dengan eskalasi konflik Timur Tengah, menurut Sri Mulyani, kebijakan fiskal ekspansif Amerika Serikat (AS) juga berpotensi menyebabkan sentimen terhadap fiskal negara maju menjadi negatif. Akibatnya, imbal hasil surat utang pemerintah AS (US Treasury) berisiko naik.
Gejolak-gejolak itu menimbulkan dua risiko utama yaitu ketidakpastian harga minyak dan pelemahan ekonomi global. “Itu kombinasi yang harus kita waspadai, baik efek tekanan harga atau inflasi maupun kenaikan imbal hasil karena geopolitik dan kebijakan fiskal. Kedua hal ini menyebabkan dampak kepada seluruh dunia, termasuk Indonesia,” ujar Sri Mulyani.
Di dalam negeri, menurut dia, dampak konflik Iran-Israel juga bisa membebani APBN. Meski pendapatan negara berpotensi meningkat dari serapan sektor migas, namun belanja negara bakal tertekan karena kenaikan kebutuhan impor minyak.
Menkeu juga menyatakan realisasi harga minyak mentah hingga sejauh ini masih di bawah asumsi makro APBN 2025, yakni pada posisi US$ 62,75 per barel pada akhir Mei dengan rata-rata tahun berjalan (year-to-date/ytd) US$ 70,05 per barel. Sementara asumsi makro APBN, nilainya dipatok sebesar US$ 82 per barel.
Menurut Sri Mulyani, harga minyak ini selain dipengaruhi kondisi di dalam negeri, juga dipengaruhi oleh situasi Timur Tengah, yaitu perang Israel dan Iran. "Ini adalah situasi APBN, yang asumsinya sangat bisa dipengaruhi oleh kondisi perekonomian global dan kejadian perang di belahan bumi yang lain,” ujarnya.
Sebelumnya, Menkeu mengumumkan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) selama lima bulan awal 2025. Bendahara negara itu melaporkan hingga Mei 2025, APBN mengalami defisit Rp 21,0 triliun triliun atau 0,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sri Mulyani menyampaikan defisit tersebut masih terkendali. “APBN tahun ini menetapkan defisit total Rp 612 triliun. Jadi Rp 21 triliun masih sangat kecil,” ucapnya dalam Konferensi Pers APBN bulanan di kantor Kemenkeu, Selasa (17/6).
Pendapatan negara hingga akhir Mei mencapai Rp 995,3 triliun atau naik Rp 184,8 triliun dibandingkan dengan penerimaan pada bulan sebelumnya. Nilai tersebut 33,1 persen dari target pendapatan sepanjang 2025 sebesar Rp 3.005,1 triliun.
Penerimaan itu terdiri dari pajak Rp 683,3 triliun, pendapatan dari kepabeanan dan cukai Rp 122,9 triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mencapai Rp 188,7 triliun.
Sementara itu belanja negara sampai dengan 31 Mei 2025 telah mencapai Rp 1.016,3 triliun. Angka tersebut mencapai 28,1 persen dari target belanja negara sepanjang 2025 yang ditetapkan Rp 3.621,3 triliun.
Menurut Sri Mulyani, belanja negara mengalami kenaikan signifikan. Peningkatannya mencapai Rp 210 triliun dibanding belanja pada April 2025 yang mencapai Rp 806,2 triliun.
Belanja kementerian dan lembaga mencapai Rp 325,7 triliun. Sedangkan belanja yang non-kementerian dan lembaga, termasuk pensiun, subsidi, dan lain-lain sudah tersalurkan Rp 368,5 triliun. Sri Mulyani memaparkan belanja tertinggi adalah transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 322 triliun. Nilainya 35 persen dari total pagu yang ditetapkan Rp 919,9 triliun.
Tiga Sektor Usaha
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan terdapat tiga sektor usaha yang menyetorkan pajak bruto terbesar kepada kas negara sepanjang tahun ini hingga Mei 2025.
Anggito menyebutkan sektor usaha paling jumbo menjadi sumber pajak adalah industri pengolahan, pertambangan, dan jasa keuangan. Dari ketiga sektor ini, pajak yang disumbangkan mencapai setengah dari total penerimaan negara. “Ada beberapa sektor unggulan, industri pengolahan yang kontribusinya 27,7%, sektor ini tumbuh 4,6%,” ujarnya.
Sektor industri pengolahan tumbuh positif terutama pada subsector industri minyak kelapa sawit, pengolahan tembakau, barang kimia, industri logam dasar mulia, serta industri kendaraan bermotor roda empat.
Secara kumulatif berdasarkan perhitungan Bisnis, industri pengolahan menyumbang Rp247,82 triliun sepanjang Januari hingga Mei 2025. Sementara sektor pertambangan menyetorkan Rp97,31 triliun sepanjang tahun ini. Kemudian, sektor usaha jasa keuangan menyumbang Rp117,66 triliun untuk kas negara.
Secara khusus, sektor pertambangan nonmigas secara kumulatif bulan Maret hingga Mei 2025 yang senilai Rp41,7 triliun tumbuh baik sebesar 5% terutama pada subsektor pertambangan biji tembaga, emas, dan timah.
Di mana sektor minyak dan gas (migas) berkontribusi sebesar 7,11% atau seniali Rp22,4 triliun dari total penerimaan pajak. Namun, pada periode Maret-Mei 2025, sektor ini kontraksi sebesar 12,2% yang disebabkan penurunan harga minyak bumi.
Sementara untuk sektor keuangan memberikan kontribusi 13,1%. Penerimaan pajak sektor aktivitas keuangan pada Mei meningkat sebesar 30,1% karena pergesaran waktu pembayaran dividen luar negeri. “Ada pergesaran waktu pembayaran dividen, bulan Mei baru dibayar jadi ada konsekuensi perpajakan yang terjadi karena pembayaran dividen keluar negeri,” tutur Anggito.
Total penerimaan perpajakan, yang terdiri dari pajak dan bea cukai, mencapai Rp806,2 triliun per Mei 2025 atau setara 32,4% dari target APBN 2025 sebesar Rp2.490,9 triliun. Angka tersebut turun 7,2% dibandingkan realisasi penerimaan perpajakan per Mei 2024 sebesar Rp869,50 triliun.
Penerimaan pajak secara bruto telah mencapai Rp895,77 triliun sementara secara neto tercatat senilai Rp683,26 triliun. Penerimaan pajak tersebut dipengaruhi penurunan harga komoditas seperti nikel dan minyak bumi. Namun, terdapat beberapa esktor utama yang mencatatkan kinerja positif. bari/ibnu/fba
NERACA Jakarta - Swasembada pangan dan energi kembali mencuat sebagai isu strategis dalam pembangunan nasional. Road map program pun telah…
Jakarta-Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyatakan Presiden RI Prabowo Subianto telah telah memutuskan empat pulau yang jadi polemik antara…
NERACA Jakarta – Bank Dunia menyatakan garis kemiskinan (GK) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) lebih relevan untuk…
Jakarta- Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kondisi ketidakpastian global berpotensi terjadi secara permanen. Hal itu disebabkan rezim bilateral antar…
NERACA Jakarta - Swasembada pangan dan energi kembali mencuat sebagai isu strategis dalam pembangunan nasional. Road map program pun telah…
Jakarta-Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyatakan Presiden RI Prabowo Subianto telah telah memutuskan empat pulau yang jadi polemik antara…