Oleh: Achmad Nur Hidayat
Ekonom UPN Veteran Jakarta
Seberapa rapuhkah jalinan perekonomian global dan nasional di tengah gejolak geopolitik yang tak terduga? Pertanyaan ini menghantui kita di tengah kabar memanasnya tensi antara Israel dan Iran.
Pada 13 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh serangan udara Israel yang menewaskan para pemimpin militer Iran, diikuti oleh balasan Iran dengan rentetan drone berisi bahan peledak. Peristiwa ini sesungguhnya adalah awal dari eskalasi yang akan berkembang jauh meluas lintas area dan bisa jadi ini perang antar regional bahkan perang skala global.
Ini adalah dentuman keras yang mengguncang fondasi perekonomian global yang sudah rapuh, dan secara langsung, perekonomian nasional kita. Provokasi Israel ini sungguh sesuatu yang besar dan hasil akhirnya sangat sulit diprediksi.
Lantas, bagaimana kita merumuskan masalah ini, dan gagasan apa yang dapat Indonesia -sebagai negara dengan mandat menjaga ketertiban dunia dalam konstitusinya- tawarkan untuk menghadapinya?
Mari kita bayangkan perekonomian dunia sebagai sebuah kapal besar yang sedang berlayar di tengah samudra yang berombak. Sudah sejak lama kapal ini dihantam berbagai gelombang ketidakpastian: pandemi yang melumpuhkan, inflasi yang membayangi, dan disrupsi rantai pasok yang tak kunjung usai.
Inflasi yang sudah menjadi momok global akan diperparah, dan skenario stagflasi – inflasi tinggi diiringi pertumbuhan ekonomi yang melambat – akan menjadi kenyataan yang menakutkan, bahkan dengan potensi harga minyak menyentuh $100+ per barel, guncangan stagflasi menjadi ancaman nyata.
Proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 sudah berada di level 4,7% dan diprediksi akan mencapai 4,5% dan sulit melampaui angka ini, bahkan cenderung menurun ke level 4.0%. Angka ini, yang sejatinya sudah merupakan sebuah tantangan di tengah pemulihan pasca-pandemi dan tekanan inflasi global, kini terancam semakin tertekan oleh gejolak eksternal yang diakibatkan oleh konflik di Timur Tengah.
Bayangkan ekonomi Indonesia sebagai sebuah rumah tangga. Jika harga kebutuhan pokok melambung karena kenaikan harga minyak, daya beli keluarga akan terkikis, inflasi domestik akan melonjak, dan beban hidup masyarakat akan meningkat secara signifikan.
Jika investasi asing langsung (FDI) yang menjadi motor penggerak pertumbuhan tersendat karena ketidakpastian global yang meningkat dan investor memilih menunda ekspansi, maka lapangan kerja yang bisa tercipta akan berkurang.
Pendapatan negara dari ekspor komoditas, yang sempat menjadi penyelamat di masa krisis sebelumnya, juga akan terpengaruh jika permintaan global menurun atau rantai pasok terganggu akibat biaya logistik yang melonjak dan disrupsi pengiriman.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Kembali ke analogi kapal, ketika badai menerjang, nakhoda harus memprioritaskan keselamatan dan merancang strategi mitigasi yang efektif. Pertama, memperkuat fondasi internal.
Ini berarti memastikan stabilitas harga di dalam negeri dengan kebijakan moneter dan fiskal yang pruden, menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial yang tepat sasaran atau penyesuaian upah yang seimbang, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan memangkas birokrasi serta memberikan insentif yang menarik.
Pemerintah harus memiliki skenario darurat yang komprehensif untuk mengatasi lonjakan harga minyak dan komoditas lainnya, mungkin dengan subsidi yang terarah atau kebijakan fiskal yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar.
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Lembaga atau badan wakaf yang ada di Tanah Air jumlahnya sangat banyak, baik berbasis…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Rilis terbaru menegaskan bahwa jumlah kemiskinan di…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal Belakangan ini, berbagai ruang publik, baik media sosial maupun bermacam forum diskusi,…
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Seberapa rapuhkah jalinan perekonomian global dan nasional di tengah gejolak…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Lembaga atau badan wakaf yang ada di Tanah Air jumlahnya sangat banyak, baik berbasis…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Rilis terbaru menegaskan bahwa jumlah kemiskinan di…