Warga Pendatang ke Jakarta Turun, Ekonomi Jadi Penyebabnya

Warga Pendatang ke Jakarta Turun, Ekonomi Jadi Penyebabnya
NERACA
Jakarta - Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menilai kondisi sosial ekonomi menjadi alasan warga memilih pindah ke luar Jakarta yang membuat turunnya angka pendatang dibanding tahun sebelumnya. Yayat menilai meskipun terjadi penurunan jumlah pendatang ke Jakarta, namun, jumlah warga Jakarta yang berpindah ke luar Jakarta juga cukup banyak.
“Tapi sebetulnya kalau kita bandingkan yang datang dengan warga yang pindah keluar Jakarta sudah cukup banyak. Penduduk Jakarta yang keluar itu hampir 321.000 tahun 2024. Artinya mereka sebetulnya sudah melihat bahwa Jakarta bagi sebagian warga mungkin sudah tidak nyaman. Dalam arti bagi mereka yang kelas menengah ke atas ya, makin padat, makin polusi, makin macet dan sebagainya,” kata Yayat di Jakarta, Senin (7/4).
Selain itu, lanjut Yayat, faktor lainnya juga karena sebagian masyarakat merasa bahwa secara sosial ekonomi mereka sudah tidak mampu. Dengan biaya hidup di Jakarta, Yayat menilai banyak masyarakat yang kemudian memilih untuk menetap di luar Jakarta. Oleh karenanya, Yayat mengimbau agar para pendatang yang ingin mencari peruntungan di Jakarta juga harus memikirkan rencana yang matang agar mampu bertahan.
Misalnya memiliki kemampuan khusus, atau merencanakan terkait tempat tinggal selama berada di Jakarta. “Bukan apa-apa, kalau misalnya mereka pendidikannya di bawah SLTA atau SLTA, mereka harus bertarung dengan hampir 300.000-400.000 pencari kerja. Artinya mereka juga harus membaca, keterampilan apa yang mereka bawa dari daerah kemari. Jadi sebetulnya kalau orang mau pindah, mau masuk kota, itu harusnya sudah mempersiapkan dirinya,” kata Yayat.
Selain itu, Yayat juga mengimbau agar para pendatang juga memiliki budaya berkota. Sehingga jangan sampai para pendatang tidak mematuhi tata tertib yang ada di Jakarta. “Kalau mau masuk Jakarta dia juga harus memahami budaya berkota. Tertib peraturan. Jangan sampai di kampung buang sampah sembarangan, di Jakarta tambah bebas (buang sampah sembarangan). Artinya dia harus bisa masuk Jakarta. Bukan sekedar pindah ke Jakarta. Tapi harus punya budaya berkota,” kata Yayat.
Disamping itu, Yayat juga meminta turunnya angka pendatang ke Jakarta bisa dimanfaatkan untuk menata ulang administrasi kependudukan (adminduk). “Justru sekarang saatnya Jakarta menata kembali administrasi kependudukannya. Karena ternyata di Jakarta ini banyak orang yang sudah pindah keluar Jakarta. Tapi KTP-nya masih  Jakarta,” kata Yayat. 
Yayat mengatakan pesan dari Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung perlu selalu diingat bahwa Jakarta memang terbuka untuk siapa saja namun perlu memenuhi syarat dan ketentuan salah satunya memiliki identitas yang jelas. Selain itu, Yayat mengatakan pendatang juga perlu memastikan tujuannya untuk datang ke Jakarta. Jangan sampai, pendatang hanya mengharapkan mendapatkan bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi Jakarta.
Lebih lanjut, Yayat juga menilai dengan adanya penertiban KTP yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, hal ini juga bisa membuat pemberian bantuan sosial (bansos) lebih tepat sasaran. “Justru Jakarta menjadi kota global dengan saingan yang demikian ketat, harus mengajarkan. Masuk Jakarta itu ada tata aturannya. Bukan suka-suka kita. Maka itu menjadi pembelajaran bagi semua pengelola kota. Bahwa penduduk itu harus taat,” kata Yayat.

 

 

NERACA

Jakarta - Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna menilai kondisi sosial ekonomi menjadi alasan warga memilih pindah ke luar Jakarta yang membuat turunnya angka pendatang dibanding tahun sebelumnya. Yayat menilai meskipun terjadi penurunan jumlah pendatang ke Jakarta, namun, jumlah warga Jakarta yang berpindah ke luar Jakarta juga cukup banyak.

“Tapi sebetulnya kalau kita bandingkan yang datang dengan warga yang pindah keluar Jakarta sudah cukup banyak. Penduduk Jakarta yang keluar itu hampir 321.000 tahun 2024. Artinya mereka sebetulnya sudah melihat bahwa Jakarta bagi sebagian warga mungkin sudah tidak nyaman. Dalam arti bagi mereka yang kelas menengah ke atas ya, makin padat, makin polusi, makin macet dan sebagainya,” kata Yayat di Jakarta, Senin (7/4).

Selain itu, lanjut Yayat, faktor lainnya juga karena sebagian masyarakat merasa bahwa secara sosial ekonomi mereka sudah tidak mampu. Dengan biaya hidup di Jakarta, Yayat menilai banyak masyarakat yang kemudian memilih untuk menetap di luar Jakarta. Oleh karenanya, Yayat mengimbau agar para pendatang yang ingin mencari peruntungan di Jakarta juga harus memikirkan rencana yang matang agar mampu bertahan.

Misalnya memiliki kemampuan khusus, atau merencanakan terkait tempat tinggal selama berada di Jakarta. “Bukan apa-apa, kalau misalnya mereka pendidikannya di bawah SLTA atau SLTA, mereka harus bertarung dengan hampir 300.000-400.000 pencari kerja. Artinya mereka juga harus membaca, keterampilan apa yang mereka bawa dari daerah kemari. Jadi sebetulnya kalau orang mau pindah, mau masuk kota, itu harusnya sudah mempersiapkan dirinya,” kata Yayat.

Selain itu, Yayat juga mengimbau agar para pendatang juga memiliki budaya berkota. Sehingga jangan sampai para pendatang tidak mematuhi tata tertib yang ada di Jakarta. “Kalau mau masuk Jakarta dia juga harus memahami budaya berkota. Tertib peraturan. Jangan sampai di kampung buang sampah sembarangan, di Jakarta tambah bebas (buang sampah sembarangan). Artinya dia harus bisa masuk Jakarta. Bukan sekedar pindah ke Jakarta. Tapi harus punya budaya berkota,” kata Yayat.

Disamping itu, Yayat juga meminta turunnya angka pendatang ke Jakarta bisa dimanfaatkan untuk menata ulang administrasi kependudukan (adminduk). “Justru sekarang saatnya Jakarta menata kembali administrasi kependudukannya. Karena ternyata di Jakarta ini banyak orang yang sudah pindah keluar Jakarta. Tapi KTP-nya masih  Jakarta,” kata Yayat. 

Yayat mengatakan pesan dari Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung perlu selalu diingat bahwa Jakarta memang terbuka untuk siapa saja namun perlu memenuhi syarat dan ketentuan salah satunya memiliki identitas yang jelas. Selain itu, Yayat mengatakan pendatang juga perlu memastikan tujuannya untuk datang ke Jakarta. Jangan sampai, pendatang hanya mengharapkan mendapatkan bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi Jakarta.

Lebih lanjut, Yayat juga menilai dengan adanya penertiban KTP yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, hal ini juga bisa membuat pemberian bantuan sosial (bansos) lebih tepat sasaran. “Justru Jakarta menjadi kota global dengan saingan yang demikian ketat, harus mengajarkan. Masuk Jakarta itu ada tata aturannya. Bukan suka-suka kita. Maka itu menjadi pembelajaran bagi semua pengelola kota. Bahwa penduduk itu harus taat,” kata Yayat.

BERITA TERKAIT

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…