NERACA
Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia tak mencerminkan kondisi riil di Indonesia. Menurutnya, ada kekeliruan interpretasi terhadap data yang tertuang dalam laporan “Macro Poverty Outlook” tersebut.
“Disebut bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia hidup dengan pengeluaran di bawah 6,85 dolar AS per hari, atau sekitar Rp108 ribu. Tapi penting dipahami: angka ini bukan mengacu pada kemiskinan absolut, melainkan pada standar garis pengeluaran untuk negara berpendapatan menengah atas, seperti China,” kata Doddy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (15/5).
Bank Dunia memiliki tiga lapis pengukuran kemiskinan global, 2,15 dolar AS untuk kemiskinan ekstrem, 3,65 dolar AS untuk negara berpendapatan menengah bawah, dan 6,85 dolar AS untuk negara berpendapatan menengah atas. Meski Indonesia tergolong dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC), namun pendapatan nasional bruto (GNI) per kapita Indonesia berada di dekat batas bawah kelompok tersebut.
“Indonesia sendiri baru naik kelas sebagai negara berpendapatan menengah pada 2023. Namun, secara fungsional dan sosial, standar 3,65 dolar AS masih relevan digunakan untuk mengukur kemiskinan di Indonesia saat ini,” ujar Doddy. Jika memakai standar tersebut, tingkat kemiskinan Indonesia pada 2024 hanya 15,6 persen, atau sekitar 44 juta jiwa. Perhitungan ini lebih dekat dengan hasil temuan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 24,06 juta jiwa per September 2024.
Sedangkan hasil temuan Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan global mencapai 60,3 persen penduduk atau sekitar 171,8 juta jiwa. “Mendefinisikan kemiskinan itu nggak semata soal angka pengeluaran harian. Akses terhadap kebutuhan dasar juga penting,” katanya lagi.
Dia menyebut pendapatan yang tinggi akan menjadi tak efisien bila pasokan kebutuhan tidak terpenuhi. Pemerintah Indonesia terus menjalankan berbagai program strategis untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, seperti program bantuan sosial, penciptaan lapangan kerja, perluasan akses pendidikan dan layanan kesehatan, hingga program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolah.
Doddy meyakini langkah-langkah tersebut berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat, khususnya di kelompok bawah dan rentan. “Kesimpulannya, klaim bahwa 6 dari 10 orang Indonesia tersebut tidak tepat karena menggambarkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia belum mencapai standar konsumsi negara maju, bukan bahwa mereka miskin dalam pengertian umum,” katanya lagi.
Sebelumnya, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan perhitungan garis kemiskinan Bank Dunia menggunakan pendekatan berbasis paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) dolar AS, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara.
Terkait standar 6,85 dolar AS untuk negara berpendapatan menengah atas, angka itu diperoleh dari median garis kemiskinan 37 negara, bukan spesifik pada kebutuhan masyarakat Indonesia. “Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi,” kata Amalia pula.
Sementara BPS menghitung garis kemiskinan menggunakan pendekatan cost of basic needs (CBN) yang mempertimbangkan pengeluaran minimum penduduk untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
Selain itu, garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat.
Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS juga dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Karena itu, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia.
NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…
NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…
NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia terus mengintensifkan kolaborasi internasional sebagai strategi menghadapi tekanan ekonomi global yang semakin menantang. Kunjungan…
NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…
NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…
NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…