Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
Akhir tahun 2024 ini ditandai sukses pelaksanaan pilkada serentak, meski di tahun 2025 akan ada pertanyaan terkait ancaman OTT sejumlah kepala daerah hasil pilkada kemarin terutama dampak dari tuntutan secepatnya balik modal karena ongkos demokrasi mahal. Hajatan nasional pilkada serentak telah sukses dilaksanakan Rabu 27 November dan hal ini menjadi peluang juga tantangan bagi siapapun pemenangnya untuk membawa proses perubahan yang lebih baik di daerah masing-masing.
Meski demikian, di setiap tahapan pilkada pasti memberikan konsekuensi 2 aspek yaitu kemenangan dan kekalahan. Oleh karena itu beralasan jika kemudian ada nasehat politik klasik agar sang pemenang tidak jumawa sementara yang kalah tidak harus marah. Artinya, kalah atau menang di pilkada adalah konsekuensi yang harus diterima sesuai dengan pertarungan yang dilakukan. Hal ini memang mudah diucapkan terutama bagi sang pemenang tetapi bagi yang kalah pasti sangat sulit menerima kekalahannya.
Argumen yang mendasari karena semua petarung di pilkada pastinya telah mengeluarkan semua energi yang tidak kecil baik dalam bentuk material maupun nonmaterial terutama uang dalam jumlah yang cukup besar. Terkait ini maka wacana pilkada dua putaran atau satu putaran, terutama jika petarungnya lebih dari 2 menjadi semakin seru, termasuk juga kasus di pilkada Jakarta misalnya.
Fakta pengeluaran itu tidak hanya dalam pembentukan alat peraga kampanye (APK) tapi juga semua kegiatan termasuk juga berbagai akomodasi lainnya. Belum lagi kepentingan pra kampanye terutama saat mendapatkan kendaraan politik untuk maju bertarung dalam pilkada. Tidak bisa dipungkiri untuk mendapatkan restu dari ketum parpol juga bukanlah hal yang mudah karena para kandidat yang sukses maju bertarung dalam pilkada terlebih dahulu harus bersaing di internal parpol untuk mendapatkan restu dari ketum parpol.
Hal lain yang tidak bisa dipungkiri adalah kebutuhan pendanaan untuk politik uang dan tentu serangan fajar. Seolah menjadi pemanis dan juga pelengkap dalam ritual tahunan pilkada bahwa kebutuhan terhadap politik uang dan serangan fajar menjadi menu wajib. Realitas ini tidak hanya untuk mendukung kemenangan dan pemenangan sang kandidat tapi juga untuk mendulang suara dari publik, terutama yang termasuk pemilih mengambang.
Fakta dibalik politik uang dan serangan fajar seolah membenarkan peredaran bansos di pilpres kemarin. Bahkan kegiatan ini kemudian disinyalir menjadi bagian pelanggaran di hajatan pesta demokrasi, meski kemudian kasus ini juga tidak dianggap pelanggaran. Di satu sisi pembenaran dibalik politik uang, serangan fajar dan bansos menjadi cibiran dari strategi cawe-cawe meski di sisi lain tidak bisa dipungkiri semua penguasa juga pastilah akan melakukan hal yang sama untuk mendapatkan kemenangan dan pemenangan dalam pesta demokrasi, termasuk pilkada.
Oleh karena itu, politik uang, serangan fajar dan juga bansos seolah menjadi hal wajib dalam hajatan pesta demokrasi dan sepertinya publik di berbagai daerah juga mengharapkan adanya politik uang, serangan fajar dan bansos. Hal lain yang juga menjadi riskan dari kegiatan itu adalah ancaman terjadinya korupsi serta peredaran uang palsu. Jadi, logis jika pada pilkada pada khususnya dan pesta demokrasi pada umumnya terjadi kecenderungan kejahatan peredaran uang palsu semakin marak.
Kalkulasi terhadap semua akomodasi dalam pilkada maka pengeluaran untuk pilkada di tahun 2024 cenderung kian besar. Pilkada serentak tahun 2024 diikuti 1.553 pasangan calon (paslon) dengan daerah yang melaksanakannya yaitu 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Yang juga menarik dicermati ternyata ada juga sejumlah daerah yang justru bertanding dengan kotak kosong. Fakta kotak kosong yang menang juga menjadi kajian menarik terutama dikaitkan dengan legitimasi sukses pilkada. Padahal, pilkada menjadi salah satu agenda suksesi dan regenerasi kepemimpinan di daerah.
Artinya kotak kosong yang menang bisa diasumsikan bahwa kandidat petarung yang lain tidak mendapatkan kepercayaan dalam proses kepemimpinan pasca pilkada. Di satu sisi, realita ini tentunya dilematis meski di sisi lain juga harus diakui bahwa hal itu adalah salah satu wujud dari kejamnya demokrasi.
Jadi apapun hasil dari pilkada memang harus diterima legowo. Hal lain yang juga harus dikaji adalah ancaman korupsi dari tuntutan secepatnya balik modal pasca menang pilkada karena jerat OTT KPK masih terus mengintai karena KPK masih bertaring dan bernyali.
Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat Ekonomi Digital Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran terus menunjukkan komitmen kuatnya…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Program pembangunan 3 juta rumah gratis yang dirancang pemerintah dengan…
Oleh: Arika Putri, Pengamat Sosial Budaya Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat untuk…
Oleh : Dirandra Falguni, Pengamat Ekonomi Digital Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo-Gibran terus menunjukkan komitmen kuatnya…
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom UPN Veteran Jakarta Program pembangunan 3 juta rumah gratis yang dirancang pemerintah dengan…
Oleh: Arika Putri, Pengamat Sosial Budaya Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmen kuat untuk…