Pemerintah Paksakan Soal Rencana Kenaikan PPn 12%

Pemerintah Ngotot Soal Rencana Kenaikan PPn 12% 
NERACA
Jakarta - Meski banyak penolakan baik dikalangan dunia usaha maupun masyarakat, pemerintah tetap akan melanjutkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada tahun depan. Dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Jakarta, Jumat (16/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah menyadari kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tersebut. “Sudah disampaikan di dalam kabinet, presiden terpilih maupun presiden sekarang sangat menyadari mengenai UU HPP itu,” kata Sri Mulyani.
Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Kendati demikian, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen.
Pemerintah menargetkan untuk meningkatkan pendapatan negara sebesar 6,4 persen pada tahun depan, yakni menjadi Rp2.996,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp2.490,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak. “Nanti akan kita lihat potensi ekonomi, rasio pajak, ekstensifikasi, dan lain-lain,” ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Menkeu juga menyoroti bahwa Pemerintah telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Bendahara Negara menyebut insentif ini dinikmati pada kelompok kelas menengah hingga atas. “UU HPP sangat menjelaskan bahwa barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi itu tidak kena PPN,” tambah Menkeu.
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut, dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 turut memperhitungkan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Namun dia mengatakan penerapan PPN 12 persen masih sekadar rencana yang perlu dibahas lebih lanjut.
Susiwijono mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU HPP. Tetapi implementasinya bakal menyesuaikan kondisi perekonomian ke depan. Selain itu, kenaikan PPN 12 persen tetap akan menjadi wewenang pemerintahan berikutnya. 
Sebelumnya, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengusulkan dua rekomendasi yang bisa diterapkan pemerintah terkait kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pasalnya, situasi perekonomian saat ini menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat, salah satunya tercermin pada persentase kelas menengah yang turun dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,44 persen pada 2023 sebagaimana yang ditunjukkan oleh data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri.
Bila kondisi ini masih dibebani tekanan kebijakan fiskal, dia khawatir akan berpengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. “Jalan tengahnya, pemerintah bisa melakukan dua kebijakan,” ujar Ajib Hamdani. Usulan pertama yaitu mengenai batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar 54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan 4,5 juta per bulan. Ajib menilai pemerintah bisa menaikkan batas PTKP guna tetap menjaga daya beli masyarakat.
“Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” jelas dia.
Rekomendasi kedua yaitu mengenai pajak. Pemerintah disebut bisa mengalokasikan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, seperti sektor properti atau sektor pertanian, perikanan dan peternakan yang dapat mendorong hilirisasi.
Namun, lanjut dia, perlu diperhatikan bahwa kebijakan pajak tersebut harus tetap memberikan dorongan kepada sektor swasta untuk bisa tetap berjalan dengan baik. Di sisi lain, penerimaan negara juga perlu terus terjaga agar fiskal tetap terkelola dengan bijak. “Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” tutup dia.

 

 

NERACA

Jakarta - Meski banyak penolakan baik dikalangan dunia usaha maupun masyarakat, pemerintah tetap akan melanjutkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada tahun depan. Dalam Konferensi Pers RAPBN 2025 di Jakarta, Jumat (16/8), Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan Presiden terpilih Prabowo Subianto sudah menyadari kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tersebut. “Sudah disampaikan di dalam kabinet, presiden terpilih maupun presiden sekarang sangat menyadari mengenai UU HPP itu,” kata Sri Mulyani.

Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 lalu, dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Kendati demikian, UU HPP juga memberikan ruang untuk mengubah PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen.

Pemerintah menargetkan untuk meningkatkan pendapatan negara sebesar 6,4 persen pada tahun depan, yakni menjadi Rp2.996,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp2.490,9 triliun di antaranya berasal dari penerimaan pajak. “Nanti akan kita lihat potensi ekonomi, rasio pajak, ekstensifikasi, dan lain-lain,” ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Menkeu juga menyoroti bahwa Pemerintah telah memberikan kebijakan pembebasan PPN pada sejumlah kelompok, seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Bendahara Negara menyebut insentif ini dinikmati pada kelompok kelas menengah hingga atas. “UU HPP sangat menjelaskan bahwa barang kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, dan transportasi itu tidak kena PPN,” tambah Menkeu.

Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menyebut, dalam penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 turut memperhitungkan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen. Namun dia mengatakan penerapan PPN 12 persen masih sekadar rencana yang perlu dibahas lebih lanjut.

Susiwijono mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN 12 persen sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU HPP. Tetapi implementasinya bakal menyesuaikan kondisi perekonomian ke depan. Selain itu, kenaikan PPN 12 persen tetap akan menjadi wewenang pemerintahan berikutnya. 

Sebelumnya, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengusulkan dua rekomendasi yang bisa diterapkan pemerintah terkait kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Pasalnya, situasi perekonomian saat ini menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat, salah satunya tercermin pada persentase kelas menengah yang turun dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,44 persen pada 2023 sebagaimana yang ditunjukkan oleh data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri.

Bila kondisi ini masih dibebani tekanan kebijakan fiskal, dia khawatir akan berpengaruh terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi nasional. “Jalan tengahnya, pemerintah bisa melakukan dua kebijakan,” ujar Ajib Hamdani. Usulan pertama yaitu mengenai batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar 54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan 4,5 juta per bulan. Ajib menilai pemerintah bisa menaikkan batas PTKP guna tetap menjaga daya beli masyarakat.

“Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” jelas dia.

Rekomendasi kedua yaitu mengenai pajak. Pemerintah disebut bisa mengalokasikan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, seperti sektor properti atau sektor pertanian, perikanan dan peternakan yang dapat mendorong hilirisasi.

Namun, lanjut dia, perlu diperhatikan bahwa kebijakan pajak tersebut harus tetap memberikan dorongan kepada sektor swasta untuk bisa tetap berjalan dengan baik. Di sisi lain, penerimaan negara juga perlu terus terjaga agar fiskal tetap terkelola dengan bijak. “Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan,” tutup dia.

BERITA TERKAIT

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…