Oleh: Lamia Firdaus Jarot, Staf di KPP Perusahaan Masuk Bursa, Ditjen Pajak *)
Sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), penghasilan berupa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan terkait dengan pekerjaan dan/atau pemberian jasa merupakan objek pajak penghasilan (PPh) bagi penerima dan dapat dibebankan secara fiskal bagi pemberi.
Aturan turunan yang mengatur terkait natura dan/atau kenikmatan yaitu Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Perpajakan. Pasal 32 ayat 2 menyatakan bahwa natura dan/atau kenikmatan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) .
Pengaturan kembali terhadap natura dan/atau kenikmatan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meminimalisasi penggerusan basis pajak. Hal ini berangkat dari adanya praktik perusahaan memberikan fasilitas kepada pegawai berupa kenikmatan yang menambah nilai ekonomis. Namun, fasilitas tersebut diberikan bukan dalam bentuk uang.
Penerapan PPh atas Penggantian atau Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk Natura dan/atau Kenikmatan juga bukan jenis pajak baru. Melainkan bagian dalam Pajak Penghasilan (PPh) yang sudah ada.
Untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66 Tahun 2023) tentang Perlakuan PPh atas penggantian atau Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan pada 27 Juni 2023 dan berlaku sejak 1 Juli 2023.
Mengenal Lebih Jauh Natura
Natura merupakan imbalan berupa barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima, contohnya pemberian mobil bekas dinas. Sedangkan kenikmatan merupakan imbalan berupa fasilitas/pelayanan yang bersumber dari aktiva pemberi dan/atau pihak ketiga yang disewa pemberi, contohnya fasilitas penjemputan karyawan.
Dalam dunia internasional, natura dan/atau kenikmatan dikenal dengan istilah fringe benefit. Definisi terkait fringe benefit berbeda-beda untuk tiap negara. Australian Government Office (ATO) mendeskripsikan fringe benefit merupakan pembayaran yang diterima pegawai selain dari penghasilan/upah. Sedangkan Amerika Serikat mendefisinikan fringe benefit sebagai salah satu komponen dalam pendapatan kotor pegawai.
Fringe benefit lumrah dikenakan pajak oleh negara-negara di dunia. Di Selandia Baru, Fringe Benefit Tax (FBT) dikenakan atas kenikmatan yang diterima pegawai dari hasil kerjanya seperti penggunaan kendaraan untuk kepentingan pribadi, pemberian subsidi, diskon, dan pinjaman dengan bunga rendah. Namun ada pula pengecualian pengenaan FBT, misalnya natura yang berkaitan dengan tujuan amal.
Begitu pula di Indonesia, tidak semua natura dan/atau menjadi objek PPh. Natura dan/atau yang dikecualikan dari objek PPh antara lain makanan/minuman, natura dan/atau di daerah tertentu, natura dan/atau yang harus disediakan pemberi kerja, natura dan/atau yang bersumber dari APBN/APBD, natura dan/atau dengan jenis dan/atau batasan tertentu.
Dalam PMK 66 Tahun 2023 mengatur lebih detil terkait jenis dan/atau batasan terkait dengan natura dan/atau yang dikecualikan dari objek PPh. Pemberian fasilitas yang sifatnya umum diberikan untuk mendukung pekerjaan seperti makanan/minuman, peralatan kantor, sarana transportasi, penginapan yang sifatnya komunal (mess/asrama) dapat dikecualikan dari objek PPh tanpa batasan nilai.
Sedangkan natura dan/kenikmatan yang dinikmati oleh pegawai dengan level atas berupa fasilitas olahraga mewah (golf, pacuan kuda, balap perahu bermotor, terbang layang dan/atau olahraga otomotif), fasilitas penginapan non komunal (sewa apartemen), fasilitas mobil dinas merupakan objek PPh yang harus dilaporkan dalam laporan SPT Tahunan.
Penegakan Prinsip
Pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan sudah sejalan dengan prinsip taxable-deductible (dapat dipajaki-dapat dikurangkan) nontaxable-nondeductible (tidak dapat dipajaki-tidak dapat dikurangkan).
Prinsip taxable-deductible berarti penghasilan yang menjadi objek pajak bagi penerima penghasilan dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto oleh pemberi kerja. Sebaliknya, prinsip nontaxable-nondeductible berarti penghasilan yang tidak menjadi objek pajak bagi penerima penghasilan tidak dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto oleh pemberi kerja.
Sebelum adanya peraturan baru, natura dan/atau kenikmatan dikenai PPh final sehingga menjadi objek PPh bagi penerima (taxable). Sayangnya, bagi pemberi kerja, biaya tersebut tidak dapat dikurangkan (non-deductible). Dengan aturan terbaru, natura dan/atau kenikmatan menjadi objek PPh (taxable) bagi penerima dan menjadi pengurang (deductible) penghasilan bruto bagi pemberi kerja.
Pengaturan terkait batasan nilai pengenaan pajak natura dan/atau kenikmatan dalam PMK-66 Tahun 2023 merupakan wujud keberpihakan pemerintah kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dan upaya mengurangi ketimpangan penghasilan. Menurut Tri Wibowo (2016), mengurangi ketimpangan tidak dapat diterjemahkan dengan pengendalian pengeluaran kelompok kaya. Namun dilakukan dengan meningkatkan kesetaraan dalam kesempatan serta memperbaiki distribusi pendapatan agar menjadi lebih merata.
Pengusaha/pemberi kerja didorong memberikan berbagai fasilitas pendukung untuk meningkatkan kesejahterahan kepada pegawainya. Dengan begitu, ketimpangan penghasilan antara pegawai kelas atas dengan pegawai kelas menengah bawah semakin menyempit sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Pengaturan pajak untuk natura dan/atau memberikan kesetaraan perlakuan sehingga pengenaan PPh atas suatu jenis penghasilan tidak memandang bentuk dari penghasilan tersebut baik dalam uang atau selain uang. Dengan demikian pemajakan atas natura dan/atau diharapkan mampu mengurangi ketimpangan penghasilan dan meratakan kesejahteraan pegawai. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Indef, Rektor Universitas Paramadina Kehidupan, perbuatan, kegiatan manusia pada dasarnya berpegang…
Oleh : Astrid Widia, Pemerhati Sosial Politik Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana komitmen kuat terhadap perlindungan bagi…
Oleh: Ratna Sari Dewi, Pengamat Kebijakan Publik Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan kekayaan negara dengan diluncurkannya…
Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Indef, Rektor Universitas Paramadina Kehidupan, perbuatan, kegiatan manusia pada dasarnya berpegang…
Oleh : Astrid Widia, Pemerhati Sosial Politik Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana komitmen kuat terhadap perlindungan bagi…
Oleh: Ratna Sari Dewi, Pengamat Kebijakan Publik Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan kekayaan negara dengan diluncurkannya…