Alarm Refleksi Indeks Integritas Pendidikan

 

Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *) 

 

 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional melalui rilis Indeks Integritas Pendidikan tahun 2024. Angka capaian nasional sebesar 69,5 (turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 73,7) membunyikan alarm refleksi yang patut didengar oleh semua pemangku kepentingan.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari bagaimana nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan etika dijalankan atau justru diabaikan dalam proses pendidikan kita. Indeks ini merekam praktik integritas di dunia pendidikan melalui tiga dimensi, yaitu: karakter peserta didik, ekosistem pendidikan, dan tata kelola.

Ketiga dimensi ini membentuk gambaran utuh bagaimana nilai-nilai integritas tumbuh (atau gagal tumbuh) dalam lingkungan satuan pendidikan. Tahun ini, dimensi karakter mencatat skor tertinggi sebesar 78,01, disusul ekosistem pendidikan 71,35, dan tata kelola yang justru terendah, hanya 58,68.

Dari sinilah kita melihat betapa tantangan terbesar sesungguhnya bukan hanya pada peserta didik, tetapi pada sistem dan struktur yang mendukungnya.

Hasil pemetaan menunjukkan karakter peserta didik mulai menunjukkan internalisasi nilai-nilai integritas. Namun, keberhasilan ini belum menyeluruh dan masih inkonsisten. Ini menjadi sinyal bahwa proses penanaman nilai belum meresap ke seluruh aspek dan jenjang pendidikan.

Perlu diingat, nilai integritas tidak bisa hanya diajarkan, ia harus dicontohkan dan dilatih dalam praktik sehari-hari. Tanpa keteladanan, pendidikan integritas akan kehilangan makna dan sulit membentuk karakter yang kokoh pada peserta didik.

Guru, orang tua, dan pemimpin pendidikan memiliki peran sentral. Mereka sebagai role model yang menunjukkan bahwa integritas bukan sekadar konsep, melainkan laku hidup. Praktik sehari-hari seperti berkata jujur, menghargai waktu, dan bertanggung jawab harus menjadi bagian dari budaya sekolah dan keluarga untuk menumbuhkan integritas secara konsisten.

Ekosistem pendidikan pun menunjukkan geliat perbaikan. Kesadaran akan pentingnya integritas mulai tumbuh di kalangan tenaga pendidik, pimpinan sekolah, dan wali murid. Kolaborasi mulai terbangun, namun tanpa strategi yang terarah dan komitmen berkelanjutan, upaya tersebut belum akan berdampak luas. Program penguatan integritas telah berjalan, tetapi efektivitasnya belum optimal. Banyak satuan pendidikan masih berkutat pada level formalitas tanpa sentuhan nilai yang mendalam.

Pekerjaan rumah paling berat tampak jelas pada dimensi tata kelola, skor yang masuk kategori rentan. Ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan kita masih menyimpan ruang gelap untuk praktik yang tidak berintegritas. Mekanisme pengawasan, evaluasi kebijakan, dan implementasi transparansi belum dilakukan secara konsisten. Padahal, tanpa tata kelola yang bersih dan akuntabel, upaya penguatan karakter dan perbaikan ekosistem akan selalu tersandera.

Jika tahun lalu dunia pendidikan berada di tingkat integritas adaptif (yang mencerminkan stabilitas dan kolaborasi yang mulai terarah) maka penurunan tahun ini ke tingkat korektif menunjukkan bahwa ada kemunduran dalam konsistensi pelaksanaan nilai-nilai integritas. Pendidikan seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun fondasi bangsa yang berkarakter.

Oleh karena itu, setiap penurunan skor harus dimaknai sebagai sinyal peringatan. Ada yang perlu segera diperbaiki, bukan hanya dalam kebijakan, tetapi juga dalam komitmen moral. Penurunan skor ini mengingatkan kembali komitmen bersama seluruh pemangku kepentingan dalam menanamkan nilai antikorupsi sejak dini dalam setiap jenjang pembelajaran.

Pembelajaran antikorupsi tidak bisa berhenti pada retorika dan program simbolik semata. Sekolah dan perguruan tinggi harus menjadi ekosistem dalam membentuk budaya integritas, bukan sekadar tempat transfer ilmu, melainkan ruang pembiasaan karakter antikorupsi.

Kolaborasi antara pemerintah, pendidik, peserta didik, dan masyarakat luas mutlak diperlukan untuk memperkuat ekosistem dan perbaikan tata kelola pendidikan yang bersih dari praktik korupsi.

Sudah saatnya dunia pendidikan tidak hanya mengajarkan integritas, tetapi benar-benar hidup dalam prinsip tersebut. Jika pendidikan gagal melahirkan generasi berintegritas, kita bukan hanya menghadapi krisis nilai, tetapi juga krisis masa depan. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Bila integritas rapuh, maka masa depan bangsa pun ikut terguncang. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

BERITA TERKAIT

Jaga Stabilitas Sosial Masyarakat, Waspada Narasi Hoaks dalam Aksi Buruh

  Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…

Masyarakat Menerima Hasil PSU, Bentuk Kedewasaan Berpolitik

    Oleh: Ratna Dwi Putranti,  Peneliti di Urban Catalyst Management     Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…

Sekolah Rakyat sebagai Solusi Atasi Kesenjangan Sosial

  Oleh : Gavin Asadit,  Peneliti Pendidikan Dasar   Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Alarm Refleksi Indeks Integritas Pendidikan

  Oleh: Johana Lanjar W, Penyuluh Antikorupsi Utama Kemenkeu *)     Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti wajah pendidikan nasional…

Jaga Stabilitas Sosial Masyarakat, Waspada Narasi Hoaks dalam Aksi Buruh

  Oleh: Anggi Kusumawardhani, Pengamat Masalah Perburuhan Peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 harus dimaknai sebagai momentum memperkuat…

Masyarakat Menerima Hasil PSU, Bentuk Kedewasaan Berpolitik

    Oleh: Ratna Dwi Putranti,  Peneliti di Urban Catalyst Management     Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, Pemungutan Suara Ulang…