Masa Depan Pajak Digital di Indonesia

 

Oleh: Melani Dewi Astuti, Analis Kebijakan Muda BKF Kemenkeu *)

 

Perkembangan teknologi internet yang sangat pesat telah menyebabkan peningkatan ekonomi digital yang signifikan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Menurut Google, Temasek, Bain & Company (2022), ekonomi digital Indonesia merupakan yang tertinggi di antara Asia Tenggara. Ekonomi digital Indonesia mencapai USD 77 miliar pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mencapai USD 220 – 360 miliar pada tahun 2030. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi ekonomi digital yang masih akan terus berkembang di masa depan.

Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital juga menimbulkan tantangan perpajakan dalam mengenakan pajak atas penghasilan dari ekonomi digital. Pasalnya, Pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri dapat memperoleh penghasilan yang signifikan dari negara lainnya tanpa harus hadir secara fisik di negara tersebut, karena seluruh transaksi dapat dilakukan melalui sistem elektronik sehingga terdapat kesulitan untuk mengenakan pajak.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, negara-negara OECD dan G20 telah bekerja sama untuk menciptakan solusi pemajakan ekonomi digital yang mencakup pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Terkait PPN, OECD telah menerbitkan pedoman pemungutan PPN atas impor produk digital pada 2017. Setelah terbitnya pedoman ini, sejumlah negara telah mengatur ketentuan pemungutan PPN atas impor produk digital yang secara umum sesuai dengan pedoman tersebut. Indonesia, juga telah mengadopsi ketentuan yang sama pada tahun 2020 dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2020 (PMK 48) dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Direktur Jenderal Nomor 12 Tahun 2020 (PER-22).

Pengenaan PPN atas perdagangan luar negeri di Indonesia telah menunjukkan hasil yang positif. Sebanyak 143 Pelaku Usaha PMSE baik dalam negeri maupun luar negeri telah ditunjuk sebagai Pemungut PPN yang menghasilkan penerimaan PPN sebesar 10,11 triliun rupiah sejak pertama kali ketentuan tersebut diterapkan pada bulan Juli 2020 sampai dengan akhir tahun 2022.

Sementara itu, pada 2022, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menkeu Nomor 68/PMK.03/2022 terkait pemajakan aset kripto dan Peraturan Menkeu Nomor 69/PMK.03/2022 tentang pemajakan atas penyelenggaraan teknologi finansial (fintech). Berdasarkan data dari DJP tahun 2022, penerapan kedua ketentuan tersebut mulai 1 Mei 2022 telah menghasilkan penerimaan pajak sebesar 246,45 milyar rupiah untuk pemajakan aset kripto dan 210,04 milyar rupiah untuk pemajakan fintech.

Terkait Pajak Penghasilan, tantangan pemajakan yang dihadapi negara pasar jauh lebih besar dibandingkan dengan PPN, karena PPh dikenakan kepada Pelaku Usaha PMSE luar negeri yang merupakan wajib pajak luar negeri (WPLN), sedangkan PPN dikenakan kepada konsumen di Indonesia yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN). Berdasarkan ketentuan saat ini yang diatur dalam Undang-Undang PPh dan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), negara pasar hanya dapat mengenakan pajak atas penghasilan Pelaku Usaha PMSE luar negeri jika terdapat kehadiran fisik dari Pelaku Usaha tersebut di negara pasar. Hal ini tentunya tidak memberikan keadilan bagi negara pasar karena akan sangat mudah bagi Pelaku Usaha luar negeri untuk mendapatkan penghasilan signifikan di negara pasar tanpa harus hadir secara fisik sehingga negara pasar cenderung tidak dapat mengenakan pajak atas penghasilan Pelaku Usaha PMSE luar negeri tersebut.

Untuk mengatasi tantangan pajak penghasilan akibat digitalisasi ekonomi, OECD dan Negara-negara G20 mengusulkan solusi dua pilar (Two-Pillar Solution to address tax challenges arising from the digitalisation of the economy) menyusul kegagalan proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action 1 terkait ekonomi digital dalam mengatasi tantangan tersebut. Pilar Satu bertujuan untuk mengatasi tantangan tersebut dengan merealokasi hak pemajakan  kepada negara pasar tanpa mendasarkan pada adanya kehadiran fisik, tetapi mendasarkan pada adanya penjualan yang signifikan di negara pasar.

Meskipun ruang lingkup Pilar Satu tidak terbatas pada Pelaku Usaha PMSE tetapi perusahaan multinasional (multinasional enterprises/MNEs) secara umum, dengan omset konsolidasi di atas 20 miliar euro dan laba lebih dari 10%, berdasarkan studi atas dampak ekonomi penerapan Pilar 1 yang dilakukan oleh OECD pada tahun 2023, mayoritas dari MNEs yang tercakup Pilar 1 adalah pengusaha digital. Berdasarkan studi tersebut, sekitar 100 MNEs termasuk dalam cakupan Pilar 1, di mana 52% adalah pelaku usaha digital. Mengingat Pilar 1 memberikan alokasi hak pemajakan kepada negara pasar tanpa mendasarkan pada adanya kehadiran fisik,  dengan demikian Pilar 1 dapat menyelesaikan sebagian tantangan yang dihadapi oleh negara pasar untuk mengenakan PPh dari penghasilan ekonomi digital.

Namun demikian, implementasi Pilar Satu membutuhkan konvensi multilateral (multilateral convention/MLC) untuk ditandatangani dan diratifikasi oleh negara-negara yang paling terdampak oleh Pilar 1 sampai dengan akhir tahun 2023. Negara yang terdampak tersebut tentunya termasuk negara yang perusahaan multinasionalnya paling banyak tercakup Pilar 1, yaitu Amerika Serikat (AS). Sebagai konsekuensi, jika AS tidak menandatangani MLC, Pilar 1 tidak akan dapat diterapkan.

Pada 10 Februari 2023, Ketua Komite Ways and Means, Jason Smith, mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal OECD yang menyatakan keberatannya atas solusi dua pilar karena sangat merugikan perusahaan AS yang juga akan berdampak negatif pada penciptaan lapangan kerja dan penerimaan pajak AS. Dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa AS akan secara agresif melakukan aksi retaliasi melalui ketentuan di bidang perdagangan dan perpajakan kepada negara-negara yang menerapkan pajak digital dalam rangka melindungi tenaga kerja, kedaulatan, dan penerimaan pajak AS. Mengacu pada surat tersebut, dapat diasumsikan bahwa AS tidak akan menandatangani MLC atas proposal Pilar 1 saat ini.

Tidak dapat diimplementasikannya Pilar 1 dapat memicu penerapan langkah sepihak (unilateral measures) negara-negara di dunia untuk mengenakan pajak digital. Sejumlah negara telah mengadopsi pajak digital dalam bentuk digital services tax (DGT) dalam beberapa tahun terakhir, termasuk Prancis, Turkiye, India, Inggris, Malaysia, dan beberapa negara lainnya. Namun, sejak Oktober 2021, saat 137 negara mendukung adanya kesepakatan global atas dua pilar pemajakan perusahaan multinasional, beberapa negara yang telah menerapkan DST, menangguhkan penagihan DST hingga akhir 2023.

Indonesia, dalam hal ini telah mengatur Pajak Transaksi Elektronik (PTE) dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. PTE akan berlaku untuk Pelaku Usaha PMSE luar negeri yang memenuhi kriteria kehadiran ekonomi signifikan. Peraturan pelaksanaan PTE belum diterbitkan karena Indonesia berkomitmen untuk mendukung proposal Pilar 1 sesuai pernyataan bersama negara-negara yang tergabung dalam Inclusive Framework (IF) on BEPS pada Oktober 2021, sehingga PTE belum diimplementasikan secara efektif di Indonesia.

Status Pandemi

 Namun, pada 2020, uji materi telah diajukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, dan Mahkamah Agung memutuskan bahwa Undang-Undang tersebut tidak dapat diberlakukan lagi setelah status pandemi dicabut. Akibatnya, substansi Undang-Undang tersebut, termasuk PTE, tidak akan memiliki kekuatan hukum.

Jika Pilar 1 gagal diterapkan, negara pasar tidak akan memiliki landasan hukum untuk mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan Pelaku Usaha PMSE luar negeri jika tidak terdapat kehadiran fisik. Akibatnya, Indonesia juga tidak dapat memperoleh penerimaan pajak dari ekonomi digital kecuali Indonesia memperkenalkan DST atau pajak digital lainnya yang sejenis.

Oleh karena PTE berpotensi tidak akan dapat diberlakukan jika status pandemi dicabut, Indonesia harus mempertimbangkan untuk memperkenalkan pajak digital baru jika Pilar 1 tidak dapat diterapkan untuk mengamankan basis pajak Indonesia mengingat Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk ekonomi digital. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

BERITA TERKAIT

Refleksi Hari Buruh

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Indef, Rektor Universitas Paramadina   Kehidupan, perbuatan, kegiatan manusia pada dasarnya berpegang…

Prabowo Hadiri May Day, Bukti Keseriusan Pemerintah Jamin Hak Pekerja

    Oleh : Astrid Widia, Pemerhati Sosial Politik    Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana komitmen kuat terhadap perlindungan bagi…

Danantara Pilar Baru Pengelolaan Aset Negara yang Strategis

     Oleh: Ratna Sari Dewi, Pengamat Kebijakan Publik   Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan kekayaan negara dengan diluncurkannya…

BERITA LAINNYA DI Opini

Refleksi Hari Buruh

    Oleh: Didik J Rachbini Ph.D., Ekonom Indef, Rektor Universitas Paramadina   Kehidupan, perbuatan, kegiatan manusia pada dasarnya berpegang…

Prabowo Hadiri May Day, Bukti Keseriusan Pemerintah Jamin Hak Pekerja

    Oleh : Astrid Widia, Pemerhati Sosial Politik    Presiden Prabowo Subianto menunjukkan bagaimana komitmen kuat terhadap perlindungan bagi…

Danantara Pilar Baru Pengelolaan Aset Negara yang Strategis

     Oleh: Ratna Sari Dewi, Pengamat Kebijakan Publik   Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan kekayaan negara dengan diluncurkannya…