Bisnis AMDK di Indonesia Dinilai Tidak Sehat

Bisnis AMDK di Indonesia Tidak Sehat 
NERACA
Jakarta - Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia dalam kategori tidak sehat. Disatu sisi, ada produsen AMDK yang menjadi market leader berupaya untuk memperkuat dominasi pasar. Akan tetapi disisi lain, juga menghambat pelaku usaha lokal yang market share nya lebih kecil. 
Upaya mempertahankan dominasi pasar dan mengeruk profit sebesar-besarnya ini dilakukan dengan cara menggerakkan kampanye media dan iklan-iklan negatif yang memojokkan produk pelaku usaha pesaing, menghambat penjualan pesaingnya yang lebih kecil, menjual galon bekas pakai yang tak bisa dijual kembali atau ditukar merek lain,  hingga kampanye hitam melawan regulasi lembaga pemerintah untuk pelabelan galon plastik keras polikarbonat. 
Tak heran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sampai turun tangan, dan pernah menjatuhkan denda miliaran rupiah kepada market leader yang merupakan investasi asing ini. “Di dalam struktur pasar ini (AMDK), ada pemain yang dominan dan sisanya adalah pemain yang mengikutinya," kata Tjahjanto Budisatrio, pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, seperti dikutip dalam keterangannya, Senin (20/2). 
"Kita tahu bahwa sebuah pasar persaingan sempurna adalah pasar yang memang diharapkan oleh semua ekonom. Kondisinya tidak ada rintangan atau halangan untuk masuk dan keluar dalam industri tersebut. Inilah yang kita harapkan," kata Budisatrio, dalam sebuah webinar yang diselenggarakan FMCG Insights Talks dengan tema, “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat”.
Menurut Budisatrio, melihat persaingan yang ada perlu dilihat apakah memang ada barriers to entry ke dalam pasar AMDK. Kalau ada, berarti pasar sudah tidak lagi perfect competition tapi imperfect competition. Artinya, persaingan menjadi kurang sehat. Itulah yang terjadi. "Kalau kita perhatikan di sini (di pasar AMDK), (ternyata) ada barriers to entry. Kalau membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, kita harus membawa pulang galon kosong itu. Kita tidak bisa menukarnya dengan merek galon B. Ini otomatis ada sebuah kontrak jangka panjang yang sadar atau tidak sadar terbuat dari sistem yang ada saat ini," kata Budisatrio. 
“Ini adalah barriers untuk masuk. Jadi, galon yang kita pegang tadi adalah investasi di awal, karena kita membeli dan kita tidak bisa menukarnya dengan gallon lain, padahal airnya dalam galon sama. Jadi, otomatis di-lock-in (pelanggan dikunci). Switching cost-nya jadi mahal. Inilah yang membuat sebuah barrier,” katanya melanjutkan.
Dalam kesempatan terpisah pada akhir tahun lalu, Budisatrio menegaskan bsnis AMDK galon di Indonesia memang sangat tidak sehat dan merugikan konsumen. Menurutnya, produsen AMDK galon guna ulang membuat sistem ketergantungan dengan menciptakan kondisi, di mana konsumen tidak diberitahu bahwa harga pertama pembelian galon yang disebut deposit itu ibarat kontrak jangka panjang. Tambahan lagi, tidak ada jaminan galon yang dibeli  dalam kondisi baru. Konsumen dikondisikan agar terpaksa hanya beli produk satu merek yang tak bisa ditukar galon merek lain untuk pembelian selanjutnya.
Disadari atau tidak, konsumen dalam hal ini tertipu dengan praktik manipulatif dan tidak transparan market leader yang meraup profit luar biasa besar dari galon bekas pakai yang terjual. Upaya market leader untuk mempertahankan dominasinya dengan cara bersaing tidak sehat, pernah pula kena sanksi denda. Pada Desember 2017, KPPU menyatakan produsen AMDK merek A, market leader dan satu distributornya, terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat. "Menyatakan kedua terlapor (perusahaan market leader dan distributornya) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," demikian putusan KPPU. 
Berdasar temuan di lapangan, market leader dan distributornya diduga bekerja sama untuk melarang sejumlah toko menjual AMDK merek LM. Menurut KPPU, tindakan tersebut menghalangi pelaku usaha lain di dunia usaha AMDK. KPPU kemudian menghukum market leader sebesar Rp 13,8 miliar dan distributornya, dihukum denda sebesar Rp 6,2 miliar, karena praktik persaingan usaha tidak sehat.
Entah kenapa, sepertinya hukuman ini tidak membuat jera. Ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan regulasi pelabelan kemasan galon bekas pakai yang mengandung Bisphenol A (BPA), terjadi perlawanan keras dengan banyak tudingan negatif. Salah satunya, dengan kampanye hitam bahwa isu BPA terkait persaingan usaha. Kampanye negatif ini bahkan sampai menjurus ke personal dan menyebar fitnah ke pribadi dan keluarga petinggi BPOM.
Faktanya, BPOM adalah lembaga pemerintah yang tak ada sangkut pautnya dengan persaingan  dunia bisnis AMDK.  “Tugas dan fungsi BPOM adalah menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria keamanan, mutu, label, dan iklan pangan,” kata Deputi Bidang Pengawasan dan Olahan BPOM Rita Endang kala itu (25/9/2022).
Menurutnya, regulasi pelabelan galon polikarbonat yang mengandung BPA, disusun demi melindungi kepentingan kesehatan dan keamanan produk yang memang sudah menjadi kewenangan BPOM. “Hal ini merupakan bagian dari fungsi dan kewajiban BPOM untuk melindungi masyarakat,” kata Rita.
BPOM menemukan adanya potensi bahaya dari migrasi BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan, pada sarana distribusi serta fasilitas produksi industri AMDK. Temuan tersebut, diperoleh melalui uji post-market air minum dalam galon guna ulang polikarbonat selama satu tahun (2021-2022).
"Berdasarkan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia, menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, dan adanya potensi bahaya migrasi BPA pada sarana distribusi dan fasilitas produksi industri AMDK," kata Rita Endang.  Rita menegaskan, potensi bahaya migrasi BPA pada galon polikarbonat sudah mencapai ambang batas yang ditentukan.
Rita menegaskan bahwa revisi aturan label pangan tidak ada kaitannya dengan kepentingan persaingan usaha. Bantahan tegas Rita ini diperkuat pernyataan KPPU yang menolak pengaitan antara aturan pelabelan kemasan galon guna ulang mengandung BPA yang merupakan milik market leader, dengan persaingan bisnis. “Ada surat resmi dari KPPU ke BPOM, bahwa tidak ada unsur persaingan usaha,” kata Rita Endang. 

 

NERACA

 

Jakarta - Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia dalam kategori tidak sehat. Disatu sisi, ada produsen AMDK yang menjadi market leader berupaya untuk memperkuat dominasi pasar. Akan tetapi disisi lain, juga menghambat pelaku usaha lokal yang market share nya lebih kecil. 

Upaya mempertahankan dominasi pasar dan mengeruk profit sebesar-besarnya ini dilakukan dengan cara menggerakkan kampanye media dan iklan-iklan negatif yang memojokkan produk pelaku usaha pesaing, menghambat penjualan pesaingnya yang lebih kecil, menjual galon bekas pakai yang tak bisa dijual kembali atau ditukar merek lain,  hingga kampanye hitam melawan regulasi lembaga pemerintah untuk pelabelan galon plastik keras polikarbonat. 

Tak heran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sampai turun tangan, dan pernah menjatuhkan denda miliaran rupiah kepada market leader yang merupakan investasi asing ini. “Di dalam struktur pasar ini (AMDK), ada pemain yang dominan dan sisanya adalah pemain yang mengikutinya," kata Tjahjanto Budisatrio, pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, seperti dikutip dalam keterangannya, Senin (20/2). 

"Kita tahu bahwa sebuah pasar persaingan sempurna adalah pasar yang memang diharapkan oleh semua ekonom. Kondisinya tidak ada rintangan atau halangan untuk masuk dan keluar dalam industri tersebut. Inilah yang kita harapkan," kata Budisatrio, dalam sebuah webinar yang diselenggarakan FMCG Insights Talks dengan tema, “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat”.

Menurut Budisatrio, melihat persaingan yang ada perlu dilihat apakah memang ada barriers to entry ke dalam pasar AMDK. Kalau ada, berarti pasar sudah tidak lagi perfect competition tapi imperfect competition. Artinya, persaingan menjadi kurang sehat. Itulah yang terjadi. "Kalau kita perhatikan di sini (di pasar AMDK), (ternyata) ada barriers to entry. Kalau membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, kita harus membawa pulang galon kosong itu. Kita tidak bisa menukarnya dengan merek galon B. Ini otomatis ada sebuah kontrak jangka panjang yang sadar atau tidak sadar terbuat dari sistem yang ada saat ini," kata Budisatrio. 

“Ini adalah barriers untuk masuk. Jadi, galon yang kita pegang tadi adalah investasi di awal, karena kita membeli dan kita tidak bisa menukarnya dengan gallon lain, padahal airnya dalam galon sama. Jadi, otomatis di-lock-in (pelanggan dikunci). Switching cost-nya jadi mahal. Inilah yang membuat sebuah barrier,” katanya melanjutkan.

Dalam kesempatan terpisah pada akhir tahun lalu, Budisatrio menegaskan bsnis AMDK galon di Indonesia memang sangat tidak sehat dan merugikan konsumen. Menurutnya, produsen AMDK galon guna ulang membuat sistem ketergantungan dengan menciptakan kondisi, di mana konsumen tidak diberitahu bahwa harga pertama pembelian galon yang disebut deposit itu ibarat kontrak jangka panjang. Tambahan lagi, tidak ada jaminan galon yang dibeli  dalam kondisi baru. Konsumen dikondisikan agar terpaksa hanya beli produk satu merek yang tak bisa ditukar galon merek lain untuk pembelian selanjutnya.

Disadari atau tidak, konsumen dalam hal ini tertipu dengan praktik manipulatif dan tidak transparan market leader yang meraup profit luar biasa besar dari galon bekas pakai yang terjual. Upaya market leader untuk mempertahankan dominasinya dengan cara bersaing tidak sehat, pernah pula kena sanksi denda. Pada Desember 2017, KPPU menyatakan produsen AMDK merek A, market leader dan satu distributornya, terbukti melakukan persaingan usaha tidak sehat. "Menyatakan kedua terlapor (perusahaan market leader dan distributornya) terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," demikian putusan KPPU. 

Berdasar temuan di lapangan, market leader dan distributornya diduga bekerja sama untuk melarang sejumlah toko menjual AMDK merek LM. Menurut KPPU, tindakan tersebut menghalangi pelaku usaha lain di dunia usaha AMDK. KPPU kemudian menghukum market leader sebesar Rp 13,8 miliar dan distributornya, dihukum denda sebesar Rp 6,2 miliar, karena praktik persaingan usaha tidak sehat.

Entah kenapa, sepertinya hukuman ini tidak membuat jera. Ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan regulasi pelabelan kemasan galon bekas pakai yang mengandung Bisphenol A (BPA), terjadi perlawanan keras dengan banyak tudingan negatif. Salah satunya, dengan kampanye hitam bahwa isu BPA terkait persaingan usaha. Kampanye negatif ini bahkan sampai menjurus ke personal dan menyebar fitnah ke pribadi dan keluarga petinggi BPOM.

Faktanya, BPOM adalah lembaga pemerintah yang tak ada sangkut pautnya dengan persaingan  dunia bisnis AMDK.  “Tugas dan fungsi BPOM adalah menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria keamanan, mutu, label, dan iklan pangan,” kata Deputi Bidang Pengawasan dan Olahan BPOM Rita Endang kala itu (25/9/2022).

Menurutnya, regulasi pelabelan galon polikarbonat yang mengandung BPA, disusun demi melindungi kepentingan kesehatan dan keamanan produk yang memang sudah menjadi kewenangan BPOM. “Hal ini merupakan bagian dari fungsi dan kewajiban BPOM untuk melindungi masyarakat,” kata Rita.

BPOM menemukan adanya potensi bahaya dari migrasi BPA dari kemasan pangan ke dalam pangan, pada sarana distribusi serta fasilitas produksi industri AMDK. Temuan tersebut, diperoleh melalui uji post-market air minum dalam galon guna ulang polikarbonat selama satu tahun (2021-2022).

"Berdasarkan sampel yang diperoleh dari seluruh Indonesia, menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, dan adanya potensi bahaya migrasi BPA pada sarana distribusi dan fasilitas produksi industri AMDK," kata Rita Endang.  Rita menegaskan, potensi bahaya migrasi BPA pada galon polikarbonat sudah mencapai ambang batas yang ditentukan.

Rita menegaskan bahwa revisi aturan label pangan tidak ada kaitannya dengan kepentingan persaingan usaha. Bantahan tegas Rita ini diperkuat pernyataan KPPU yang menolak pengaitan antara aturan pelabelan kemasan galon guna ulang mengandung BPA yang merupakan milik market leader, dengan persaingan bisnis. “Ada surat resmi dari KPPU ke BPOM, bahwa tidak ada unsur persaingan usaha,” kata Rita Endang. 

BERITA TERKAIT

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Standar Kemiskinan Bank Dunia Dinilai Tak Cerminkan Kondisi Indonesia

  NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi dan perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan standar kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia…

LPEI Tawarkan Rute Baru ke Eropa Lewat Rotterdam - Sikapi Perang Dagang

NERACA Jakarta - Indonesia Eximbank/Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Den Haag - Kerajaan Belanda…

Meski Naik, Utang Indonesia Diklaim Masih Terjaga

  NERACA Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan I 2025 terjaga dengan posisi tercatat…