Bisnis Pelabuhan & Etho

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Terbilang irit berbicara seputar bisnis pelabuhan, bahkan yang digeluti oleh perusahaan pelat merah sekalipun, Menteri BUMN Erick Thohir akhirnya mengumbar banyak pernyataan terkait sektor yang satu ini. Ia bicara di hadapan ratusan pegawai BUMN Pelabuhan beberapa waktu lalu. Lantas, apa yang disampaikan Erick Thohir, yang akrab disapa Etho itu, terkait bisnis pelabuhan?

Menurut dia, posisi BUMN Pelabuhan berada di urutan 8 dunia saat ini. Dia berharap perusahaan pelat merah pelabuhan dapat masuk ke dalam ranking 5 besar dunia ke depannya. Untuk itu model bisnisnya harus disesuaikan. Badan usaha milik negara pelabuhan jangan hanya berkutat di bisnis pelabuhan saja, pintanya. Perusahaan mesti mampu mengintegrasikan ekosistem belakang (hinterland) dengan pelabuhan. Harus ada pula supply chain, ada kawasan industri dan pelabuhan. Ini berarti bicara soal aspek logistik. Ekosistem dimaksud harus dibangun melalui kerja sama antara BUMN lainnya, swasta dan UMKM. Sehingga jadilah ekosistem yang lebih besar yang mencakup tidak hanya pelabuhan tetapi termasuk industrial estate, logistic center dan transportasi.

Erick menginginkan BUMN Pelabuhan menjadi global player dan aktif dalam perdagangan selatan-selatan (dengan kawasan Afrika); tidak lagi semata-mata dengan Eropa dan Amerika. Kenapa? Karena Indonesia punya expert dan punya kesempatan besar untuk itu. Dan, jika logistik dari dan di Afrika dapat dipegang, maka akan mudah mencapai sasaran yang diinginkan tadi. Ditambahkannya, terdapat tiga hal yang harus dilakukan perusahaan pelat merah pelabuhan ke depan supaya menjadi global player dan ranking 5 dunia.

Calon ketua umum PSSI itu meminta BUMN Pelabuhan agar tidak berpuas diri dengan hasil penurunan durasi singgah kapal yang mencapai 40%. Ia harus dibarengi dengan digitalisasi dan standarisasi operasi di wilayah timur dan barat yang harus setara. Dicontohkannya, bila dari Dubai ke Amerika sistemnya bisa transparan, maka operator Pelabuhan pelat merah harus bisa dan mampu pula menyamainya di dalam negeri. Etho juga mendorong penuntasan praktik penyelundupan dan pungli di pelabuhan agar dikencangkan upayanya. Last but not least, manajemen harus membenahi dana pensiun pegawai untuk menjamin masa depan pegawai mereka saat pensiun kelak.

Sampai di situ, apa yang disampaikan oleh Erick Thohir dalam layak diapresiasi. Hanya saja, tetap ada catatan yang bisa diberikan untuk dia. Pertama, gagasannya untuk menyatukan atau menyinergikan pelabuhan dan ekosistemnya bisa menghadapi kendala yang cukup pelik. Pasalnya, tidak seluruh elemen ekosistem bisa dan mau diintegrasikan dengan pelabuhan.

Ambil contoh program Ekosistem Logistik Nasional atau NLE (National Logistics Ecosystem). Program ini diinisiasi oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Pelabuhan menjadi salah satu bagian atau ekosistemnya. Orkestrasi bukan di tangan operator pelabuhan tetapi sektor ini adalah core of the core logistik itu sendiri. Idealnya BUMN Pelabuhanlah yang menjadi konduktor atau dirigennya.

Hal lainnya. Regulator aspek teknis kepelabuhanan adalah Kementerian Perhubungan. Sayangnya, instansi ini sering pula ikut cawe-cawe aspek bisnis. Mengacu kepada UU No 17/2008 tentang Pelayaran, aspek bisnis di pelabuhan menjadi kewenangan Otoritas Pelabuhan (didirikan di pelabuhan utama) dan Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan di pelabuhan selain pelabuhan utama. Sementara aspek teknis pelabuhan/pelayaran berada di tangan syahbandar.

Contoh klasik untuk hal itu adalah kebijakan membatasi penumpukan peti kemas di lini 1 hanya untuk dua hari. Langkah ini diambil setelah Presiden Jokowi geram melihat tingginya dwelling time di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Dia mau lama peti kemas mengendon di pelabuhan hanya dua hari. Oleh Kemenhub diberlakukanlah pembatasan waktu penumpukan merespon keinginan Jokowi. Setelah dua hari, peti kemas harus keluar dari lini 1, selesai atau belum selesai dokumennya. Kata Kemenhub, pelabuhan bukan tempat menumpuk peti kemas. Inilah yang dimaksud ikut cawe-cawe aspek bisnis. Hingga kini kebijakan ini masih berlaku.

Kedua, keinginan Erick mendorong operator pelabuhan milik negara “keluar kandang” hampir bersamaan momentumnya dengan ekspansi operator pelabuhan kelas dunia. Sehingga, perusahaan pelat merah ini akan bersaing dengan mereka. Pertanyaannya, siapkah mereka bersaing dengan pemain-pemain raksasa itu? Di atas kertas hampir dapat dipastikan BUMN Pelabuhan akan sulit berkompetisi dengan mereka karena selama ini, misalnya, ia lebih menjadi landlord ketimbang sebagai operator.

Padahal, jika seandainya mampu go global, aspek teknis tadi amat sangat diperlukan. Terkait dengan ini adalah kemampuan menggandeng perusahaan pelayaran internasional bersandar di terminal yang dikelola kelak di luar sana. Jujur, kemampuan inilah yang membuat saya agak pesimistis perusahaan pelabuhan pelat merah bisa bersaing dengan operator kelas dunia. Apakah Etho memahami kompleksitas ini? Saya tidak tahu.

BERITA TERKAIT

April 2025, Neraca Perdagangan Surplus

Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan   Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar.  Surplus April 2025…

Menagih Janji Ekonomi Syariah

Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…

Industrialisasi Rokok

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 setiap…

BERITA LAINNYA DI

April 2025, Neraca Perdagangan Surplus

Oleh: Budi Santoso Menteri Perdagangan   Neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 mencatatkan surplus sebesar USD0,16 miliar.  Surplus April 2025…

Menagih Janji Ekonomi Syariah

Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…

Industrialisasi Rokok

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 setiap…