Jakarta-Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan adanya perdebatan dari negara anggota G20 terkait pasar karbon. Terjadi perdebatan sengit terkait nilai harga karbon di Indonesia dengan negara-negara eropa. Sementara itu, emisi karbon di ASEAN mencapai 342 juta ton, diantaranya Indonesia menyumbang emisi karbon dari sektor transportasi sebanyak 27 persen.
NERACA
"Karbon ini mereka tidak setuju, khususnya tentang perjanjian Paris pasal 6 tentang harga karbon," kata Bahlil di kantor Kementerian Investasi, Jakarta Pusat, awal pekan ini.
Saat ini terjadi ketimpangan harga karbon di negara-negara Eropa dengan negara-negara berkembang. Seharusnya harga karbon di semua negara bisa setara. "Di Eropa ini US$100, kita hanya US$10. Ini tidak fair ini standar ganda. Makanya saya minta pemerataan harga," ujarnya.
Negara-negara Eropa menginginkan harga karbon mereka lebih tinggi dari negara lain, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka menginginkan karbon yang dijual berasal dari hasil penanaman pohon. Sehingga melarang pohon dan hutan yang sudah ada sekarang tidak bisa dijual sebagai pasar karbon. "Kita tanpa harus menanam kembali, sebagian wilayah kita masih hutan itu dapat karbon dan mereka tidak punya hutan kan," tutur Bahlil.
Berbagai argumentasi pun disampaikan berbagai negara. Namun sampai hingga akhir konferensi tidak juga menghasilkan kesepakatan. "Berbagai argumentasi yang sangat luar biasa ini tidak menghasilkan kesepakatan utuh dan perdebatan masih berlanjut," ujarnya.
Secara terpisah, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, emisi karbon di ASEAN mencapai 342 juta ton. Dari jumlah tersebut, Indonesia menyumbang emisi karbon dari sektor transportasi sebanyak 27 persen.
"Indonesia sendiri emisi dari transportasi menyumbang 27 persen, maka dari itu perlu upaya untuk meningkatkan kualitas udara dan mengurangi jumlah konsumsi bahan bakar fosil," ujarnya dalam pembukaan diskusi yang digelar oleh Perhimpunan Ikatan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (Himpuni), di Jakarta, Selasa (25/10).
Melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016, pemerintah Indonesia menyatakan berkomitmen terhadap penurunan emisi mencapai 29 persen pada 2030. Bahkan pada 2060, Indonesia menjadi negara net zero CO2 dengah skema pembiayaan mandiri dan internasional.
"Tahun 2060 menjadi negara dengan net zero CO2 emisi melalui usaha sendiri dengan tagihan 29 persen, melalui bantuan internasional sebanyak 41 persen," ujarnya.
Sebagai bentuk upaya penurunan emisi karbon, pemerintah Indonesia juga siap mendukung setiap investasi kendaraan listrik di Indonesia, termasuk pengembangan industri hulu, khususnya industri baterai. Kendaraan listrik, ujar Budi, akan menjadi moda tumpuan Indonesia sebagai penunjang mobilitas.
Hingga saat ini, jumlah kendaraan listrik, jumlah sertifikasi uji tipe, telah terbit 31.000. Jumlah ini akan terus ditingkatkan dan secara masif pemerintah melakukan kampanye konversi bermotor berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik berbasis baterai. "Sedangkan untuk angkutan massal perkotaan target implementasi kendaraan berbasis listrik telah dikembangkan di beberapa kota akan diperluas," ujarnya.
Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon yang seharusnya berlaku pada 1 April 2022 lalu. Menurut Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan pajak karbon akan ditunda hingga tahun 2025 mendatang.
Meski begitu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan pemerintah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi karbon. Bahkan terkini, target penurunannya dinaikkan menjadi 31,9 persen dari 29 persen di tahun 2030.
"Nationally determined contribution (NDC) ini sudah kita naikkan dari 29 persen ke 31,9 persen. Komitmen pemerintah ini tetap sangat konsisten," kata Febrio dalam Konferensi Pers APBN KITA, di Jakarta, belum lama ini.
Febrio menjelaskan, untuk penerapan pajak karbon harus memperhatikan berbagai aspek. Baik kondisi ekonomi dalam negeri maupun global agar dampak penerapannya bisa diminimalisir. "Kita tunggu timing yang pas untuk dampaknya seminimal mungkin dan kesiapannya seefektif mungkin," ungkapnya.
Mengingat saat ini ketidakpastian global terus meningkat. "Kita perhatikan ketidakpastian yang sangat tinggi baik di global atau ekonomi kita," imbuhnya.
Sambil menunggu penerapannya, Febrio mengaku pemerintah masih terus mempersiapkan berbagai kebijakan yang dibutuhkan untuk menarik pajak karbon. Termasuk menyiapkan pasar karbon yang menjadi bagian penting dalam program ini. "Ini tetap kita siapkan dalam pasar karbon yang kita kombinasikan dengan efektif dengan pajak karbon," ujarnya.
Transisi Menuju NZE
Pemerintah memang terus kerja keras dalam mewujudkan misi net zero emission. Untuk menjalankan hal ini, kebijakan terus diterapkan, salah satunya transisi energi ramah lingkungan. Menuju net zero emission (NZE) membuat pemerintah dan seluruh stakeholder di sektor energi bersiap di institusinya masing-masing.
"Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah menyusun peta jalan (roadmap) menuju NZE supaya pada 2060 emisi gas rumah kaca bisa diturunkan menjadi net zero," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Ida Nuryatin Finahari dikutip di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dalam roadmap, Kementerian ESDM menargetkan menurunkan emisi sekitar 232,2 juta ton karbondioksida atau CO2 pada 2025. Untuk tahap ini, Kementerian di antaranya melakukan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya, dan pembangkit listrik tenaga biomassa berskala kecil. Penerapan pembangkit listrik ini diteruskan hingga 2030 sehingga dapat menurunkan emisi sekitar 327,9 juta ton CO2.
Pemerintah daerah tidak hanya menjadi penonton dalam persiapan menuju net zero emission pada 2060. Sebanyak 22 provinsi telah menetapkan Peraturan Daerah Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang akan menjadi acuan dalam melakukan transisi energi di daerah.
Provinsi yang bergerak cepat ini adalah Jawa Tengah, Bali, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Utara, Jawa Timur, Lampung, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur. Kemudian Kalimantan Timur, Jambi, Aceh, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Yogyakarta, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Barat. Adapun 12 provinsi lainnya masih dalam proses penyusunan RUED.
Salah satu provinsi yang giat mendorong penggunaan energi baru terbarukan adalah Bali. Menurut Gubernur Bali I Wayan Koster, energi bersih merupakan salah satu unsur dari visi pembangunan di daerah yang dikenal sebagai destinasi wisata. Dia mengatakan Bali memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan. "Potensi yang dapat dikembangkan , di antarannya dari tenaga surya, angin, air, gelombang, biotermal, dan biomassa. Potensinya sekitar 12.000 megawatt," ujarnya. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta – Meski dihantui sentimen negatif perang dagang Amerika Serikat dan China, rupanya tren kinerja pasar modal dalam negeri…
Jakarta-Meski belum diumumkan resmi oleh Kemenkeu (APBN Kita), total utang pemerintah Indonesia hingga April 2025 hampir mencapai Rp 9.000…
Jakarta:Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pemborosan pembelian pupuk subsidi oleh pemerintah sebesar Rp 2,92 triliun pada periode…
NERACA Jakarta – Meski dihantui sentimen negatif perang dagang Amerika Serikat dan China, rupanya tren kinerja pasar modal dalam negeri…
Jakarta-Meski belum diumumkan resmi oleh Kemenkeu (APBN Kita), total utang pemerintah Indonesia hingga April 2025 hampir mencapai Rp 9.000…
Jakarta:Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya pemborosan pembelian pupuk subsidi oleh pemerintah sebesar Rp 2,92 triliun pada periode…