NERACA
Jakarta – Setelah pandemi Covid-19 mereda, dunia dihadapkan dengan adanya infasi perang antara Rusia ke Ukraina. Adanya perang sudah jadi barang tentu mengganggu geopolitik dan ekonomi global tidak terkecuali Indonesa. Dan yang patut di waspadai adanya perang ini adalah krisis pangan dan energi.
Budi Hikmat, Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management, mengatakan Rusia memegang peran penting di sektor pangan dan energi . Makanya adanya perang ini sangat sangat berpengaruh pada kondisi global, tidak terkecuali Indonesia. Terutama untuk kebutuhan pangan dan energi. “Gejolak yang paling dirasakan oleh dunia adanya perang ini adalah adanya kenaikan harga pangan dan energi. Ini yang patut diwaspadai oleh Indonesia,” ujarnya saat menjadi pembicara pada dalam seminar yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), yang mengangkat tema “Krisis Geopolitikal dan Dampaknya Bagi Perekonomian dan Jasa Keuangan Indonesia”, Via Zoom pada, Selasa (31/5).
Dan, gejolok itu pun udah kita rasakan sekarang, dimana harga minyak dunia naik, mengakibatkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi merangkak naik, dan anggaran untuk subsidi BBM, listrik, hingga gas elpiji mulai teraganggu. “Dampaknya sudah sangat terasa sekarang, dimana postur APBN sangat terganggu akan adanya kenaikan harga minya dunia ini,” ujarnya lagi.
Di sisi lain, kenaikan yang sangat terasa saat ini adalah harga-harga kebutuhan pokok dan barang yang otomatis akan menggerus daya beli masyarakat sekarang. Sudah barang tentu ini menganggu tingkat pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang akan kembali jatuh. “Kita masih akan merasakan dan menikmati badai inflasi imbas dari kenaiakan harga barang yang diikuti menurunnya daya beli masyarakat,” tutur dia.
Meski, masih menurut Hikmat, adanya perang ini ada pemasukan dari hasil komoditi karena kenaikan harga global seperti CPO. Yang memperbaiki defisit neraja berjalan, menjadi surplus. Hanya saja tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga lain yang dirasakan oleh masyarakat. “Drama kenaikan minyak goreng saat ini masih berlanjut imbas dari kenaikan harga global. Jadi memang meski ada positifnya, hanya saja secara keseluruhan masih banyak dampak negatifnya,” paparnya.
Senada, Chief Economist Bank Negara Indonesia (BNI), Yohan Setio mengatakan dampak negatif dari perang Rusia – Ukraina mengakibatkan tingginya harga energi dan komoditas pangan yang memicu pada kenaikan inflasi. Dan dari sisi keuangan resiko kenaikan biaya dana karena kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi. “Yang paling terasa diharga energi dan pangan. Dan sangat berimbas pada kenaikan inflasi,” tegas dia.
Kendati demikan, dari sisi perbankan, kenaikan inflasi secara global diperkirakan tidak akan berdampak pada risiko kredit perbankan (Non Performing Loan/NPL) atau kredit bermasalah. Dirinya menyebut dampaknya bahkan sangat rendah dan tidak terlihat.
Data perbandingan antara inflasi dan NPL selama 2006 hingga 2019 menunjukkan terdapat tiga kali momentum kenaikan inflasi, namun hal tersebut tidak diikuti oleh kenaikan NPL. Oleh karena itu, Yohan optimis kenaikan tingkat inflasi Indonesia saat ini tidak akan terlalu berpengaruh pada kualitas kredit yang tercermin dari NPL.
“Data historis menunjukkan korelasi antara inflasi dan NPL di perbankan itu sangat rendah dan bahkan tidak terlihat. Jadi kalau tahun ini inflasi Indonesia bakal naik, bahkan di kisaran 4% – 6%, saya tidak khawatir kualitas aset di perbankan akan terpengaruh secara signifikan, apalagi didukung dengan kuatnya harga komoditas,” ujarnya.
Yohan mengungkapkan, kenaikan tingkat NPL lebih dipengaruhi oleh harga komoditas Indonesia. Dia menunjukkan, peningkatan NPL mulai terlihat ketika harga komoditas batu bara dan kelapa sawit (CPO) turun di 2012 hingga 2015.
Kondisi ini tidak relevan dengan situasi Indonesia yang saat ini mengalami commodity boom, atau lonjakan harga komoditas yang dipengaruhi konflik Rusia Ukraina. Jika menilik data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), profil risiko lembaga jasa keuangan pada April 2022 masih relatif terjaga.
Penambahan Anggaran
Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, meminta persetujuan DPR untuk menambah anggaran subsidi dan kompensasi bbm, listrik, LPG sebanyak Rp520 triliun. Penambahan anggaran subsidi energi dan kompensasi tersebut kata Sri Mulyani , dilakukan sebagai akibat dari harga jual energi di dalam negeri yang tak sepenuhnya naik, meski harga energi global tengah melonjak. "Karena itu tahun ini kami meminta persetujuan kepada DPR untuk menambah anggaran subsidi dan kompensasi yang nilainya diperkirakan untuk subsidi dan kompensasi senilai Rp520 triliun," ujarnya.
Dimana hingga saat ini, pemerintah dinilai berhasil meredam transmisi tingginya harga komoditas global, dengan konsekuensi biaya subsidi dan kompensasi yang melambung. Guna mempertahankan harga jual BBM, LPG dan listrik di dalam negeri agar tidak naik sepenuhnya akibat kenaikan harga-harga di dunia.
Pemerintah juga telah melakukan berbagai kebijakan untuk melindungi masyarakat, salah satunya melalui skema subsidi dan bantuan sosial guna menjaga daya beli melalui pengendalian inflasi. agus
Jakarta-Hasil survei konsumen Mei 2025 Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, keyakinan masyarakat soal ketersediaan lapangan kerja saat ini menuju zona…
NERACA Jakarta - Ketua Mahkamah Agung Sunarto meminta kepada 1.451 hakim yang hari ini dikukuhkan untuk memulihkan turunnya kepercayaan publik…
NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran dan pengalihan belanja pemerintah terhadap…
Jakarta-Hasil survei konsumen Mei 2025 Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, keyakinan masyarakat soal ketersediaan lapangan kerja saat ini menuju zona…
NERACA Jakarta - Ketua Mahkamah Agung Sunarto meminta kepada 1.451 hakim yang hari ini dikukuhkan untuk memulihkan turunnya kepercayaan publik…
NERACA Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyoroti dampak kebijakan efisiensi anggaran dan pengalihan belanja pemerintah terhadap…