Ekonomi Syariah vs 'Trickle Down Effect'

Oleh: Agus Yuliawan

Pemerhati Ekonomi Syariah

Istilah 'trickle down effect' (efek menetes ke bawah) sejauh ini dikenal dalam rangka mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan. Di semua negara berkembang dalam politik pembangunan selalu mencari solusi bagaimana agar kemakmuran dan kesejahteraan itu bisa tercapai dengan tersendirinya. Melalui  trickle down effect, diharapkan agar praktik ekonomi yang berjalan memiliki efek terhadap kegiatan ekonomi yang memiliki lingkup yang lebih kecil. Tapi dalam kenyataanya, teori ekonomi  yang bagus tersebut sulit untuk diwujudkan keperpihakan dari pemerintah  terhadap pelaku ekonomi kecil dan lebih memilih kepada para konglomerasi.

Hal tersebut tak lepas dari kebijakan politik transaksional yang menjadikan orientasi pembangunan kesejahteraan terjebak pada retorika saja. Problema itulah yang kini menjadikan  kesenjangan sosial atau gini ratio yang selalu bertambah ditiap tahunnya. Apalagi fakta yang  berlaku adalah trickle up effect memperlihatkann yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi miskin.  Problem ekonomi tersebut yang sejauh ini dikritik dari ekonomi syariah dan jauh dari rasa keadilan.

Dalam ekonomi syariah selalu mendorong agar pemberdayaan ekonomi keumatan untuk  bisa tumbuh di  level bawah. Dengan demikian ada rasa keadilan ekonomi yang dibangun sehingga antara sikaya dan miskin bisa saling sinergi. Maka dari itu dalam rangka menumbuhkan ekonomi keumatan,  diperlukan kebijakan ekonomi dari pemerintah yang   sungguh–sungguh berpihak kepada masyarakat.

Untuk mengoptimalisasi tumbuhnya ekonomi trickle down effect  sejauh ini di ekonomi syariah diwujudkan dalam  memberikan kontribusi mendorong orang miskin untuk memiliki kemampuan ekonomi. Melalui dana – dana zakat, Infaq, Shodaqoh yang dihimpun oleh lembaga amil, para muzakki memperoleh motivasi dan soft skill dalam ekonomi sebagai  empowerment untuk tumbuh menjadi pelaku usaha. Bahkan modal usaha juga bisa diperoleh dengan cara bergulir dan tanggung renteng berbasis komunitas diantara mereka. Untuk mempercepat akselerasi tersebut, wakaf mikro bisa digunakan sebagai salah satu instrumennya untuk mempercepat.  Sehingga dengan pola – pola yang demikian ada rasa kedermawanan dari sebuah sepiritual yang dibangun untuk melakukan perubahan sosial.

Semua konsepsi tersebut akan lebih sempurna lagi, apabila  diintegrasikannya  melalui lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). Itulah praktik ekonomi syariah yang terjadi saat ini. Dengan demikian dalam perspektif ekonomi syariah tak akan mungkin membangun keadilan ekonomi atau kesejahteraan sosial apabila dalam lapisan masyarakat masih ada kemiskinan dan kesenjangan. Maka sangat  wajar apabila corak dari ekonomi syariah atau keuangan syariah itu berbasis sektor riil dan  Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor perioritas untuk diberikan pembiayaan. Hal itu tak lepas dari peran keberadaan  UMKM yang mampu memberikan sumbangsih  besar bagi penyerapan tenaga kerja. Jadi, semakin bertambahnya  jumlah pengembangan ekonomi syariah maka berbanding lurus kepada peningkatan kesejahteraaan. Untuk itu peran fungsi ekonomi syariah harus dimasifkan karena berorientasi kepada trickle down effect sekaligus mengurangi adanya ketimpangan.

Mengutip pendapat Prof. Mudrajad Kuncoro di EB News: Trickle Down Effect dan Unbalanced Growth yang mengatakan,  terdapat dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian, yaitu ketimpangan distribusi pendapatan dan ketimpangan antar daerah. Ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan diukur dengan indeks Gini dan berapa kue nasional yang dinikmati 40% golongan pendapatan terendah. Ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin lebar tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011) dan berada pada angka 0,41 (BPS, 2015).

Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk golongan terendah justru diikuti kenaikan kue nasional yang dinikmati 20% kelompok terkaya, dari 42,2% (2002) menjadi 48,42% (2011) dan bahkan 48,27% (2014). Sementara kelompok 40% penduduk golongan menengah mengalami penurunan kue nasional dari 36,9% (2002) menjadi 34,7% (2011) dan 34,6% (2014). Fenomena ini harus diubah dengan pendekatan ekonomi syariah jika pemerintah ingin serius dalam membangun kesejahteraan nasional sebagai mana cita–cita amanat konstitusi.

BERITA TERKAIT

Menagih Janji Ekonomi Syariah

Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…

Industrialisasi Rokok

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 setiap…

Wujudkan Kedaulatan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan   Pemerintah menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun…

BERITA LAINNYA DI

Menagih Janji Ekonomi Syariah

Oleh : Agus Yuliwan Pemerhati Ekonomi Syariah Sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 hingga sekarang, masyarakat Indonesia menanti kepada pemerintah…

Industrialisasi Rokok

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) 2025 setiap…

Wujudkan Kedaulatan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan   Pemerintah menyampaikan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) Tahun…