Realisasi Belanja Negara Hingga Oktober Capai 73,1%

 

 

NERACA

 

Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa realisasi belanja negara sejak Januari hingga Oktober 2019 mencapai Rp1.798 triliun atau 73,1 persen dari target APBN yaitu Rp2.461,1 triliun. Sri Mulyani menuturkan belanja negara tersebut hanya tumbuh 4,5 persen dibandingkan periode yang sama pada 2018 sebesar Rp1.720,8 triliun yang tumbuh 11,9 persen dari realisasi Oktober 2017 yakni Rp1.537,4 triliun.

“Belanja negara masih menunjukkan kinerja yang on track dan berperan dalam memberikan stimulus terhadap perekonomian,” katanya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (18/11). Realisasi belanja negara tersebut terdiri atas realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.121,1 triliun atau tumbuh 4,3 persen dari periode sama 2018 yakni Rp1.074,4 triliun dan telah mencapai 68,6 persen dari target APBN.

Kemudian, transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp676,87 triliun atau tumbuh 4,7 persen dibandingkan periode yang sama 2018 yaitu Rp646,4 triliun dan telah mencapai 81,9 persen dari pagu APBN. Belanja pemerintah pusat sendiri terdiri dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) mencapai Rp633,5 triliun atau tumbuh 8 persen dibandingkan Oktober 2018 yang secara rinci terdiri atas belanja pegawai Rp204,4 triliun, belanja barang Rp236,5 triliun, belanja modal Rp100,8 trliun, dan bantuan sosial Rp91,7 triliun.

Menkeu menuturkan realisasi belanja pemerintah pusat yang mengalami peningkatan tersebut diakibatkan oleh realisasi belanja bantuan sosial yang telah mencapai 94,5 persen dari pagu APBN sebab pihaknya berusaha untuk menjaga daya beli masyarakat miskin. Belanja pemerintah pusat juga ditunjang oleh belanja non K/L mencapai Rp487,6 triliun atau stagnan dari periode sama tahun lalu yang terdiri dari pembayaran bunga piutang Rp220,6 triliun, subsidi energi Rp98,5 triliun, subsidi non energi Rp47,7 triliun, belanja hibah Rp23 triliun, dan belanja lain-lain Rp23 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan pada realisasi subsidi energi sampai Oktober 2019 tersebut lebih rendah dari periode sama 2018 yaitu Rp117,4 triliun karena dipengaruhi oleh rendahnya ICP dan adanya pelunasan bayar subsidi BBM dan LPG Rp10 triliun. “Kalau realisasi subsidi non energi itu ada pelunasan kurang bayar subsidi pupuk Rp9,8 triliun,” katanya. Sementara itu untuk realisasi TKDD sebesar Rp676,87 triliun secara rinci terdiri dari realisasi transfer ke daerah mencapai Rp624,9 triliun atau tumbuh 3,8 persen dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp602 triliun dan dana desa yang mencapai Rp52 triliun atau tumbuh 17 persen dari periode sama tahun lalu yakni Rp44,4 triliun.

 

Sementara dari sisi penerimaan, Kementerian Keuangan mengumumkan realisasi penerimaan perpajakan selama Januari-Oktober 2019 adalah Rp 1.173,9 triliun. Jumlah ini baru 65,7% dibandingkan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 yang sebesar Rp 1.786,4 triliun. Berdasarkan jenis pajak, kontribusi terbesar adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri. Sepanjang Januari-Oktober 2019, jumlah penerimaan PPN DN adalah Rp 234,8 triliun atau 23,1% dari total penerimaan pajak.

 

Pada Januari-Oktober 2018, penerimaan PPN DN mampu tumbuh 8,9%. Namun tahun ini, yang ada malah terkontraksi atau turun 2,4% year-on-year (YoY). Kontributor terbesar kedua adalah Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Hingga Oktober, realisasi penerimaan PPh Badan adalah Rp 192,6 triliun, 18,9% dari total penerimaan pajak.

Namun dibandingkan dengan Januari-Oktober 2018, penerimaan PPh Badan turun 0,7%. Padahal pada Januari-Oktober 2018, penerimaan PPh Badan melonjak 25,2% YoY. Kemudian penyumbang ketiga terbesar adalah PPh 21, yang pada Januari-Oktober tercatat Rp 121,27 triliun (11,9%). PPh 21 masih tumbuh 9,8% YoY, tetapi melambat karena pada Januari-Oktober 2018 membukukan kenaikan 17% YoY.

 

Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa penerimaan pajak tertekan karena sektor migas. Sampai Oktober, PPh dari migas turun 9,3% YoY. Padahal pada 2018 bisa tumbuh 17%. "Ini karena penurunan harga minyak di pasar internasional," ujarnya. Sementara PPh Non-Migas, demikian Suryo, masih mencatat pertumbuhan meski hanya 3,3% YoY. Jauh melambat ketimbang Januari-Oktober 2018 yang sebesar 17%. "Jadi koreksinya lumayan. Namun demikian, PPh Non-Migas masih tumbuh," ujar Suryo.

BERITA TERKAIT

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…

RKP 2025 Dinilai Sangat Strategis untuk Transisi Kepemimpinan

RKP 2025 Dinilai Sangat Strategis untuk Transisi Kepemimpinan NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (PPN/Bappenas) Suharso…

BUMN Diminta Gerak Cepat Antisipasi Dampak Geopolitik

BUMN Diminta Gerak Cepat Antisipasi Dampak Geopolitik  NERACA Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meminta perusahaan-perusahaan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia

Moody's Pertahankan Peringkat Kredit Indonesia  NERACA Jakarta - Lembaga pemeringkat Moody's kembali mempertahankan peringkat kredit atau Sovereign Credit Rating Republik…

RKP 2025 Dinilai Sangat Strategis untuk Transisi Kepemimpinan

RKP 2025 Dinilai Sangat Strategis untuk Transisi Kepemimpinan NERACA Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (PPN/Bappenas) Suharso…

BUMN Diminta Gerak Cepat Antisipasi Dampak Geopolitik

BUMN Diminta Gerak Cepat Antisipasi Dampak Geopolitik  NERACA Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meminta perusahaan-perusahaan…