Perang Dagang Disebut Memperparah Ketidakpastian Global

NERACA

Jakarta – Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat terus terjadi dalam beberapa hari belakangan. Rupiah menguat hingga di bawah Rp 15.000. Hal ini terjadi karena adanya kepastian ekonomi yang tumbuh akibat transaksi valas dan bergesernya sentimen global terhadap Indonesia.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Azami Ilman mengatakan, Bank Indonesia yang beberapa waktu lalu baru menerbitkan produk derivatif NDF (Non-Deliverables Forward) yang berdampak positif. Penerbitan produk derivatif NDF mendorong kepastian transaksi mata uang valas dengan kontrak jangka tertentu dan nilai tukar yang ditentukan di awal sehingga mendorong tumbuhnya kepastian ekonomi di tengah ketidakpastian perekonomian global.

Ilman menambahkan, dari sisi eksternal, rencana dilakukannya perundingan perdagangan antara Amerika Serikat dan China berhasil menumbuhkan sentimen positif pada investor untuk kembali melakukan penanaman modal di negara-negara mitra dagang China. Adanya perang dagang yang cukup tegang pada beberapa bulan yang lalu mendorong investor untuk melakukan pertimbangan untuk menanamkan modalnya di China dan juga negara mitra dagangnya.

“Hal ini, selain didukung oleh peningkatan bunga Bank Sentral Amerika Serikat, juga karena estimasi analisis dampak yang akan dirasakan China dari pengenaan tarif dagang oleh pemerintah Amerika Serikat yang dikhawatirkan akan berpengaruh ke negara mitra dagangnya,” urainya.

Pemerintah dapat menjaga momen ini dengan terus mempertahankan performa positif di pasar NDF dan juga menjaga kondisi dalam negeri yang kondusif baik dari segi ekonomi maupun politik. Pemerintah harus bisa memastikan kondisi ekonomi dan politik dalam negeri dalam terus stabil sehingga tidak memunculkan keraguan bagi investor untuk menanamkan modalnya.

Dampak langsung dari perang dagang kepada Indonesia lebih banyak dirasakan di awal. Hal ini berdampak pada penurunan ekspor bahan input ke China karena menurunnya kemampuan perusahaan di China untuk mengekspor ke Amerika Serikat. Namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan klau China sudah menemukan pasar alternatif pengganti Amerika Serikat, seperti Uni Eropa dan Asia Tenggara.

“Selain itu, adanya perang dagang memperparah ketidakpastian ekonomi, sehingga berimbas pada menurunnya ketertarikan investor dalam menanamkan modal di negara-negara dengan risiko lebih tinggi, seperti di negara emerging countries - dimana Indonesia termasuk di dalamnya,” tandasnya.

Indonesia tidak menginginkan ada perang dagang dengan China sehingga diharapkan kedua negara sama-sama adil dalam memberlakukan komoditas yang akan masuk. "Kalau kedua negara tidak mau menyelesaikan pengenaan bea masuk yang bisa menghambat dan akan terus berkepanjangan, apa bedanya dengan perang dagang AS dan China. Itu yang tidak saya kehendaki dengan China," kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada pers di Shanghai, Rabu (6/11).

Dikatakannya, Indonesia dan China terus melakukan perundingan antar pejabat tinggi yang pada intinya ingin menyelesaikan hambatan secara bertahap. Salah satu permintaan Indonesia kepada China, kata Enggar, sebagaimana disalin dari Antara, adalah China terus meningkatkan impor nonmigas dari Indonesia sehingga defisit bisa lebih kecil.

Dikatakannya, permintaan itu pun sudah dipenuhi China dengan meningkatkan impor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sehingga defisit perdagangan cenderung berkurang tiap tahun. "Hal ini juga sesuai dengan janji Presiden Xi Jinping kepada Presiden Jokowi yang bersedia mengurangi defisit perdagangan Indonesia," katanya.

Dalam kunjungan ke Shanghai kali ini, Mendag Enggartiasto juga sudah bertemu dengan Menteri Perdagangan China, yang antara lain membahas agar China impor lebih banyak dari Indonesia.

Enggartiasto Lukita mengingatkan pengusaha Indonesia untuk tidak ketinggalan ekspor ke China, mengingat negara itu membuka impor seluas-luasnya. "Dengan surplus yang begitu besar, Pemerintah China membuka diri terhadap produk impor. Ini peluang bagi Indonesia untuk terus promosi ke negara itu," kata Mendag.

Mendag mengatakan China sudah menjadi tujuan utama ekspor nonmigas namun bukan berarti Indonesia mengendurkan promosi ke negara tersebut, mengingat sejumlah negara juga ingin menjual produknya ke China. Untuk itu keikutsertaan Indonesia dalam CIIE yang pertama ini, memberikan arti penting dan strategis bagi berkelanjutan ekspor Indonesia. "Memang bukan berarti tidak ada hambatan dan persaingan," kata Enggar.

BERITA TERKAIT

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…

BERITA LAINNYA DI Perdagangan

Pelaku Transhipment Dari Kapal Asing Ditangkap - CEGAH ILLEGAL FISHING

NERACA Tual – Kapal Pengawas Orca 06 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berhasil mengamankan Kapal Pengangkut Ikan asal Indonesia yang…

Puluhan Ton Tuna Loin Beku Rutin Di Ekspor ke Vietnam

NERACA Morotai – Karantina Maluku Utara kembali memfasilitasi ekspor tuna loin beku sebanyak 25 ton tujuan Vietnam melalui Satuan Pelayanan…

Libur Lebaran Dorong Industri Parekraf dan UMKM

NERACA Jakarta – Tingginya pergerakan masyarakat saat momen mudik dan libur lebaran tahun ini memberikan dampak yang besar terhadap industri…