Gerbang Pembayaran Nasional untuk Siapa?

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

 

 

Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, otoritas moneter mengeluarkan aturan soal Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau National Payment Gateway. Inti dari aturan tersebut adalah proses pembayaran menjadi lebih efisien, dan efektif serta seakan pro kepentingan nasional. Semangat untuk hijrah dari transaksi tunai ke non tunai pun tercermin dari aturan Bank Indonesia tersebut.

Namun aturan yang dirilis Bank Indonesia masih terdapat beberapa kelemahan yang harus segera dikoreksi. Pertama, Pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim bahwa integrasi sistem melalui GPN mampu menyelamatkan Rp3 triliun uang yang selama ini kabur ke luar negeri. Perhitungan versi Kementerian BUMN jelas terlalu overestimate alias berlebihan. Faktanya bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri melainkan hanya sekedar pencatatan data, itu pun sifatnya sekedar otorisasi.

            Kedua, seakan-akan aturan GPN adalah peraturan yang nasionalis. Faktanya GPN versi Bank Indonesia justru menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan usaha yang tidak sehat tercermin dari aturan batasan modal yang tidak konsisten. Dalam PBI No.19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%.

Aturan 80:20 ini tidak berdasar dan rentan menabrak aturan lainnya di jasa keuangan seperti perbankan dan asuransi. Jadi kalau BI ingin membuat aturan yang konsisten seharusnya batasan bank asing dan asuransi asing  yang wajib dikuasai pemodal domestik sebesar 80% juga. Jangan ada diskriminasi dalam persaingan jasa keuangan yang membuat pemain jasa keuangan menjadi terbatas.

            Masalah berikutnya adalah interkonektivitas dan imperobilitas alias proses integrasi sistem antar penyedia jasa pembayaran. Biaya investasi yang dibutuhkan dalam jasa switching tidaklah murah. Bagi perusahaan switching dengan modal cekak tentu akan kesulitan dalam menjalankan GPN. Belum lagi ada perubahan konsep, perusahaan switching yang terintegrasi bukan sekedar jasa ATM melainkan pembayaran online. Perubahan dari ATM ke online ini butuh suntikan modal besar.

            Problem berikutnya berkaitan dengan masalah fee yang dibebankan ke konsumen. Kasus penolakan masyarakat terhadap pungutan top up e-money justru membuka diskursus permasalahan aturan GPN ke tingkat yang lebih jauh. Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah nilai e-money sampai Juli 2017 baru 1,14% dibanding transaksi tunai. Bahkan dibandingkan Negara Asia lainnya, rasio penggunaan uang elektronik di Indonesia salah satu yang paling rendah dibandingkan Malaysia, Singapura dan Thailand. Keputusan untuk menerapkan fee top-up karena bank merasa merugi terhadap mahalnya biaya investasi infrastruktur e-money jelas cukup aneh. Jadi pada siapa seharusnya BI berpihak, pada konsumen atau pada industri perbankan?

 

BERITA TERKAIT

Berat, Namun Triwulan I-2025 APBN Masih Terjaga Aman

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Situasi perekonomian global sedang mengalami tekanan yang berat, terutama dipicu oleh kebijakan…

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…

BERITA LAINNYA DI

Berat, Namun Triwulan I-2025 APBN Masih Terjaga Aman

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Situasi perekonomian global sedang mengalami tekanan yang berat, terutama dipicu oleh kebijakan…

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…