Oleh: Achmad Nur Hidayat
Ekonom UPN Veteran Jakarta
Ketika IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 masing-masing menjadi 4,7% dan 4,8%, maka muncul pertanyaan krusial: bagaimana nasib penerimaan negara yang sangat bergantung pada geliat ekonomi domestik dan global?
Dalam konteks ini, optimalisasi penerimaan negara bukan sekadar wacana teknokratik fiskal, tetapi syarat mutlak keberlanjutan pembangunan nasional, khususnya untuk mewujudkan visi ambisius “Indonesia Emas 2045”.
Tren jangka panjang menunjukkan bahwa meskipun nominal pendapatan negara mengalami peningkatan, rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) justru mengalami penurunan. Data Bank Dunia (MPO April 2025) mengungkapkan rasio pendapatan negara hanya mencapai 13,5% dari PDB pada 2022, turun menjadi 13,3% ( 2023), dan diperkirakan kembali menyusut ke kisaran 12,7–12,8% di 2024.
Artinya, mesin fiskal kita berjalan tetapi belum mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi, apalagi menopang ambisi besar ke depan. Jika dibandingkan rasio penerimaan negara Indonesia dengan negara-negara tetangga ASEAN, posisi negeri ini berada di titik nadir.
Rasio penerimaan Indonesia yang hanya sekitar 12,8% PDB jauh tertinggal dari negara seperti Filipina, Malaysia, atau Thailand yang berada di kisaran 16%–21%. Ini bukan sekadar anomali statistik, melainkan manifestasi dari berbagai masalah struktural mendalam: basis pajak yang sempit, kepatuhan yang rendah, tarif efektif yang lemah, serta dominasi ekonomi bayangan yang mencakup 25%–30% dari PDB nasional.
Bank Dunia bahkan memperkirakan terdapat potensi penerimaan pajak tambahan sebesar 6,4% dari PDB yang belum tergarap. Potensi ini bisa menjadi penyelamat fiskal nasional jika dikelola secara serius dan sistematis. Namun, tantangan besarnya adalah mengubah potensi menjadi realisasi, dan itu menuntut reformasi fiskal yang menyentuh jantung permasalahan: kelemahan institusional dan pengawasan.
Di satu sisi, ekonomi global menghadapi tekanan akibat perang dagang, inflasi tinggi, dan konflik geopolitik yang belum mereda. Bank Dunia memperkirakan harga komoditas global turun hingga 12%, mengancam porsi besar dari PNBP Indonesia yang masih bertumpu pada ekspor komoditas mentah.
Di sisi lain, realisasi pendapatan negara awal 2025 menunjukkan sinyal waspada: hingga Februari, pendapatan negara baru mencapai Rp316,9 triliun atau hanya 10,5% dari target tahunan. Penerimaan pajak hanya mencapai Rp240,4 triliun, atau turun hampir 25% dari tahun sebelumnya.
Dalam kondisi ini, penyesuaian asumsi makro APBN 2025 yang terlalu optimistis (5,2% pertumbuhan) perlu ditinjau ulang secara realistis untuk menghindari jebakan shortfall fiskal yang berkepanjangan.
Pemerintah memang telah mengantisipasi ketidakpastian global dengan menyiapkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp478,9 triliun, serta mendorong hilirisasi sumber daya alam. Sektor nikel telah menunjukkan hasil: penerimaan pajak dari hilirisasi nikel melonjak menjadi Rp17,96 triliun pada 2022, atau naik hampir sebelas kali lipat dibanding 2016.
Namun, strategi hilirisasi perlu dicermati dalam konteks risiko jangka menengah. Karena ketergantungan pada satu atau dua komoditas hilir tetap menyimpan risiko jika tidak diikuti oleh diversifikasi sektor dan peningkatan nilai tambah dalam negeri yang berkelanjutan. Selain itu, perisai fiskal seperti SAL bersifat sementara, dan tidak bisa menjadi substitusi permanen terhadap penerimaan struktural yang sehat.
Salah satu langkah paling menjanjikan dalam memperkuat penerimaan negara adalah strategi ekstensifikasi pajak, yaitu perluasan basis tanpa menaikkan tarif. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak menargetkan penguatan administrasi melalui sistem Core Tax Administration System (CTAS) yang lebih terintegrasi dan berbasis data risiko.
Bagaimanapun, fokus pada sektor digital, e-commerce, serta high wealth individuals sangat tepat, mengingat selama ini sektor-sektor tersebut belum tergarap optimal. Jika berhasil, langkah ini bukan hanya akan mempersempit ruang gerak ekonomi bayangan, tetapi juga meningkatkan legitimasi sistem pajak itu sendiri. Namun implementasi harus disertai transparansi, pengawasan publik, serta perlindungan terhadap pelaku usaha kecil agar tidak ikut terdampak secara tidak proporsional.
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo Keberagaman kekayaan alam – budaya yang dimiliki…
Oleh: Achmad Nur Hidayat Ekonom UPN Veteran Jakarta Ketika IMF dan Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia…
Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…
Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang…