Oleh: Gregorius Dimas HP, Center for Event and Tourism Studies Universitas Prasetiya Mulya
Langkah nyata pemerintah melalui peran Kementerian Pariwisata dalam membuatkan kanal – kanal aliran wisatawan di Indonesia kian nyata. Progres terbaru telah sampai pada penyelenggaraan Workshop Pertama Indeks Daya Saing 10 Destinasi Prioritas Pariwisata (Bali Baru) di Tanjung Lesung, Banten. Fokus utamanya adalah menyusun rencana kerja peningkatan indeks daya saing, hingga mampu menemukan portofolio produk wisata yang dapat dipasarkan.
Sekedar mengingatkan, Kesepuluh Destinasi utama itu meliputi Danau Toba (Sumut), Bangka Belitung (Babel), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu, dan Kota Tua (DKI Jakarta). Lainnya adalah Candi Borobudur (Jateng), Bromo-Tengger-Semeru (Jatim), Mandalika Lombok (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara). Kesepuluh daerah tersebut akan digawangi tiga pintu masuk utama dalam konsep Greater Bali, Greater Jakarta, dan Greater Batam.
Layaknya sebuah produk wisata yang laris terjual dengan daya saing tertinggi, Bali memiliki pesona tersendiri. Jika ditilik dari infrastruktur alami yang Tuhan berikan, Bali juga memiliki banyak kemiripan topografi dengan sebagian besar wilayah di Indonesia. Kombinasi tanah vulkanik nan subur dengan beragam kontur pegunungan dengan pantai berkerikil dan berpasir hitam di wilayah, hingga gugusan pasir putih di sebagian besar wilayah yang menghadap selatan selatan. Keindahan itu disempurnakan dengan keragaman hayati ditepi garis imajiner Wallacea.
Seperti yang kita ketahui, Keindahan alam hingga flora dan fauna Indonesia sudah sangat melegenda di seluruh Dunia. Iklan diberbagai media eletronik dan cetak kerap menonjolkan unsur tersebut. Lantas apakah yang membedakan antara Bali dengan daerah lain di Indonesia? Benarkah sejuta kecantikan alam itulah yang kokoh menopang keindahan Bali saat ini?
Mengupas Ruh Bali
Betul dikatakan, bahwa unsur demikian pun turut menunjang Bali hingga saat ini, namun sejatinya daya magis kecantikan Bali terletak pada manusia – manusianya yang mampu berharmoni dengan sumber daya pendukung lainnya. Hal itu menjadikan Bali sangat unik dan kontras berbeda dengan daerah lain di Nusantara. Tercermin dalam pribadi mereka yang dikupas dalam esai Soesandireja (2012) berjudul Mengenal Budaya Bali Lebih Dekat; Manusia, Alam, dan Dewa.
Budaya masyarakat Bali telah terbangun semenjak Bangsa Majapahit berpindah ke Tanah Bali sekarang pada abad 15 lalu. Ekodus ini diikuti berbagai kelompok masyarakat, mulai dari bangsawan, cendekiawan, rohaniawan, seniman, hingga masyarakat biasa. Mereka adalah sebagian rumpun masyarakat yang masih tetap setia dalam menjalankan tuntunan hidup ala Hindu – Jawa yang telah banyak ditinggalkan di tempat asalnya.
Citra paduan harmoni unsur Lahiriah, dan Rohani sangat nyata dalam kesehariannya, bisa terlihat dari ribuan Pura yang tetap berdiri kokoh sebagai wadah keintiman manusia dan Sang Penciptanya. Di sisi lain setiap jengkal wilayah masih tetap dipenuhi sesajen sebagai penghormatan terhadap Alam sang penyaji kehidupan, dan darasan ucapan doa dan syukur kepada sesama, arwah leluhur dan nenek moyang selalu terdengar sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada orang tua yang senantiasa menaungi dan mengiringi langkah hidup anak – anaknya, sekaligus mengingatkan akan pentingnya sebuah permulaan . Unsur Rohani kian mesra terjalin dalam balutan religiusitas Agama Hindu.
Dari relasi itulah lahir beragam bentuk mahakarya sakral yang sangat indah menawan dengan pesona magisnya bagi siapapun, yang sengaja atau tidak untuk melihat dan menikmatinya. Mahakarya yang lahir dari hati yang paling dalam sebagai ungkapan syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa dan terindahkan dalam setiap hasta karya sakral berupa seni tari, musik, patung, rangkaian sesajen, sampai ritual upacara yang tetap dilaksanakan setiap harinya. Citra keselarasan kosmos yang membentuk Bali dengan sejuta keunikannya hingga saat ini.
Tidak sampai disitu, koherensi hubungan antar manusia yang terwujud dalam tatanan masyarakat Bali juga dibahas oleh Picard (2006) dalam bukunya yang berjudul Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya. Ia menjelaskan sebuah tatanan komunitas kecil yang dibentuk masyarakat Bali dan disebut sebagai Banjar. Ia adalah bentuk kesatuan sosial berdasar tempat tinggal, dengan wewenangnya yang sangat kuat dalam hal hukum, kontrol sosial, ketertiban umum, pajak, dan ritual keagamaan. Pembahasan segala permasalahan berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat pun terwadah disan. Dinaungi musyawarah dibawah pimpinan seorang Ketua, yang dipilih dan diberhentikan oleh anggotanya.
Beradaptasi dengan dunia modern yang bertumpu pada nilai ekonomi dan finansial, penyerahan diri masyarakat Bali pada Tuhan, Alam, dan Leluhur juga jelas tercermin dari pola pengeluaran mereka. BPS (Badan Pusat Statistik) menggolongkannya menjadi dua konsumsi pokok yaitu Makanan dan Non Makanan. Dalam sebuah artikel Tirto.id disebutkan 59,7% atau senilai Rp 623 ribu dari total Rp 1.045 jt/kapita/bulan (BPS Bali, 2015) ada pada konsumsi Non Makanan, dimana pengeluaran Masyarakat Bali terkait keperluan Upacara & Pesta berada pada peringkat 4 terbesar.
Merinci lebih dalam lagi, proporsi pengeluaran Non – Makanan terbesar sampai terkecil meliputi Perumahan 40,3%, Aneka Barang dan Jasa 31,31%, Barang Tahan Lama 13,61%, Upacara dan Pesta 7,49% diikuti Pajak dan Asuransi 4,31%, dan kebutuhan sandang 2,99%. Dan yang unik adalah, dari data BPS Bali (2015) menunjukkan Semakin rendah kemampuan pengeluaran per kapita, berbanding terbalik dengan proporsi pengeluaran Upacara yang semakin kecil. Pada rentang kelompok pengeluaran terendah bisa mencapai 11,59%, sedangkan hanya 7,40% untuk kelompk tertinggi. Disisilain, pola konsumsi ini dianggap sebagai salah satu penyumbang kemiskinan terbesar ke-2 untuk komoditi non makanan.
Hal yang saling beradu sisi ini sangat menarik untuk dipahami lebih jauh. Sebab, dengan modal sekitar Rp 73 ribu/kapita/bulan yang dikeluarkan setiap individu di Bali ternyata turut membantu menarik 4,8jt wisatawan mancanegara untuk datang ke Bali. Dan sampai saat ini Bali masih kokoh berdiri sebagai daerah penarik wisatawan dan penyumbang devisa negara terbesar, diatas Jakarta dan Batam. Dengan nilai yang diperkirakan mencapai 70 triliun rupiah. (Kemenpar, 2016). Pernahkah kita membayangkan Bali tanpa ritual? Bali tanpa puja pujinya terhadap kebesaran Tuhan, Alam, dan Semesta Raya?
Transformasi Adiluhur Budaya
Mengacu pada tiga pondasi dasar pariwisata, yaitu atraksi, akses, dan amenitas. Jelas dipahami ujung tombak utama pariwisata di Bali ada pada Atraksi Budayanya yang didukung atraksi alam, buatan, serta unsur lainnya. Mengutip pernyataan Deputi Pemasaran Pariwisata Mancanegara Kementerian Pariwisata, I Gde Pitana "Ketika bicara tentang wisata secara keseluruhan 60 persen wisatawan asing datang ke Indonesia motivasinya untuk kebudayaaan, lalu 30 persen termotivasi oleh alam, dan lima persen termotivasi oleh buatan seperti golfing, cycling".
Jika berpedoman pada Bali sebagai Role Model-nya, seyogyanya program pemerintah juga turut berpijak pada Unsur Dasar yang melekat, yaitu Atraksi Budaya yang mengakar. Bukan perkara mudah untuk membentuk komunitas di tingkat mikro untuk memegang teguh kearifan lokal yang ada sampai pada tatanan sosial yang mapan seperti halnya konsep Banjar di Bali. Selain kesediaan dan kerelaan masyarakatnya, diperlukan pula kolaborasi antara ahli budaya, antropolog, sosiolog, pendidikan, hingga tokoh keagamaan daerah setempat.
Peran ini tentu tidak bertumpu pada Kementerian Pariwisata semata, ada Peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus terus menggali dan menanamkan nilai luhur budaya setempat. Usaha ini bisa dimulai dari mata pelajaran disekolah – sekolah hingga pendidikan tinggi melalui mata pelajaran muatan lokal, yang juga bermuara pada penyediaan lapangan pekerjaan. Dana pemerintah bisa digulirkan pada penyiapan guru – guru pengajar seni daerah, guna untuk memancing, mengangkat, menerapkan, dan membumikan kembali literasi budaya yang mungkin telah tertidur atau bahkan ditinggalkan..
Semoga suatu hari, Budaya Luhur dapat terus dilestarikan dan diturunkan kepada anak cucu. Langkah strategis yang dapat diambil selanjutnya adalah berdisiplin diri dalam mengkaji, mendokumentasikan, mengaktifkannya sebagai sosok yang berharga. Serta menerapkan kepada seluruh masyarakat secara massif, terstruktur, dan konsisten. Contoh kerja nyata bisa dilihat dari Pemerintah Kabupaten Purwakarta yang secara serius mengangkat Budaya Sunda sebagai Panji Pariwisata mereka.
Mengutip pendapat seorang peneliti Kementerian Pariwisata, Cecep Rukendi dalam sebuah kesempatan “Pariwisata itu solusi utk memelihara dan memajukan alam dan budaya negeri. Sebab bagi pelaku pariwisata sejati. Atraksi akan diperlakukan sebagai situs suci. Berbisnis pariwisata sambil merusak atraksi sama saja dengan hara-kiri” Kembalilah ke esensi dasar. Bahwa Pariwisata bukanlah akar utama, ia adalah dampak dari ketekunan manusia meluhurkan Tuhan, Alam, dan Kearifan Leluhurnya dalam bentuk Mahakarya Terluhur hingga yang memikat hati orang lain untuk melihat dan menikmatinya.
Oleh: Esther Valentina, Pemerhati Sosial dan Budaya Dalam era digital yang penuh kemajuan teknologi, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda,…
Oleh: Budi Sumantoro, Pengamat Pertanian Ketersediaan pupuk dalam jumlah dan waktu yang tepat menjadi fondasi utama…
Oleh : Awaliyah, Penyuluh Pajak di KPP PMA Empat *) Ketersediaan stok hewan ternak dari tahun ke tahun selalu…
Oleh: Esther Valentina, Pemerhati Sosial dan Budaya Dalam era digital yang penuh kemajuan teknologi, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda,…
Oleh: Budi Sumantoro, Pengamat Pertanian Ketersediaan pupuk dalam jumlah dan waktu yang tepat menjadi fondasi utama…
Oleh : Awaliyah, Penyuluh Pajak di KPP PMA Empat *) Ketersediaan stok hewan ternak dari tahun ke tahun selalu…