NERACA
Jakarta - Kalangan pengamat menyatakan informasi Peta Geospatial dan Kehutanan merupakan rahasia negara sehingga tidak bisa diberikan begitu saja kepada asing termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam konteks persaingan ekonomi global, menurut pengamat Kehutanan dan Lingkungan Ricky Avenzora di Jakarta, Senin (21/11), data geospatial masuk klasifikasi informasi rahasia, yakni berkaitan dengan kewajiban negara melindungi setiap jenis investasi dan usaha dari ancaman konspirasi persaingan usaha.
"Meskipun teknologi satelit asing mampu memotret dan memetakan detail berbagai kejadian di muka bumi, namun Peta Geospatial negara tetap harus diklasifikasikan sebagai informasi rahasia," katanya. Oleh karena itu Ricky menilai Keputusan Komite Informasi Pusat (KIP) yang memenangkan Greenpeace dalam sengketa informasi dan menyatakan File-SHP dari Peta Geospatial dan Kehutanan Indonesia sebagai materi informasi publik yang bersifat terbuka sebagai ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara.
"Kemenangan itu tidak sekedar kekalahan negara menjaga kerahasiaan negara serta kecerobohan KIP mengambil keputusan, namun bukti semakin kuat dan masifnya gerakan konspirasi asing dalam mendikte negara melalui isu lingkungan," katanya. Ricky berpendapat, keputusan KIP bisa dipetakan sebagai "sesat fikir" dalam memaknai UU No. 18 / 2008. Seharusnya KIP teliti dalam memaknai Pasal 2 khususnya Ayat 2 dan Ayat 4 dari UU No. 18/2008 tersebut.
Pada pasal 6 UU No. 18 / 2008 jelas disebut Badan Publik berhak menolak memberikan informasi, yaitu: a). informasi yang dapat membahayakan negara, dan b). berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. "Data geospasial digolongkan sebagai Informasi Publik yang bersifat rahasia dan harus ditutup untuk melindungi kepentingan yang lebih besar," katanya. Menurut dia, KIP seharusnya sadar bahwa LSM asing pasti mengusung agenda tersembunyi untuk kepentingan ekonomi negara asing dan kepentingan ekonomi pengusaha yang mendanainya.
Sementara itu Ketua Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan (Persaki) Dodik Ridho Nurrochmat menilai, tiap keterbukaan infomasi punya berbagai dampak. Dampak positif masyarakat dapat terlibat mengawasi, sedangkan dampak negatif, biasanya ada penumpang gelap (free rider) yang mendompleng keterbukaan informasi itu, untuk kepentingan politik, ekonomi, kepentingan asing maupun lokal, kepentingan kelompok maupun pribadi. Menurut Dodik, contoh sederhana dibukanya informasi peta dan data geospasial, maka dengan mudah akan terlihat areal-areal yang diplot sebagai areal High Conversation (HCV) yang dilindungi dan dibiarkan tetap dalam kondisi aslinya.
Bagi sebagian masyarakat, informasi itu sangat berguna untuk mencari lokasi "perambahan", lanjutnya, kawasan itu berpotensi diklaim sebagai lahan terlantar dan bukan merupakan bagian dari Hak Guna Bangunan (HGU) kebun atau konsesi Hutan Tanaman Indust (HTI). "Apalagi, lahan HCV secara de facto cenderung merupakan kawasan terbuka (open access). Ini berbeda dengan lahan HGU atau HTI yang memang diawasi karena ada pengelolanya," katanya.
NERACA Jakarta – Di tengah semakin kompleksnya tantangan dunia usaha, kewirausahaan tidak lagi dipahami sekadar sebagai aktivitas berjualan atau…
NERACA Jakarta – Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai adanya…
NERACA Jakarta – Di tengah tantangan global dan ketidakpastian perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia tetap optimis bahwa target pertumbuhan…
NERACA Jakarta - Perwakilan Indonesia, Indra Pradana Singawinata kembali terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Asian Productivity Organization (APO) untuk periode…
SAP Hadirkan Inovasi Business AI untuk Pekuat Perusahaan Broperasi NERACA Jakata - Dalam konferensi tahunan SAP Sapphire, SAP SE…
NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia menawarkan iklim investasi yang kondusif bagi para investor Thailand melalui insentif Kawasan Ekonomi Khusus…