Program Fasilitas Pembiayaan Perumahan masih seret dalam realisasinya. Dari target kucuran sebanyak 184 ribu unit Rumah Sejahtera Tapak (RST), realisasinya belum mencapai 50%. Alih-alih memperbaiki kinerja, Kemenpera malah menuding pengembang tak mampu memasok rumah dalam jumlah cukup. Lha, kalau rumah banyak tapi tak bisa dibeli, bukankah pengembang malah terancam bangkrut. Urusan pun bakal tambah rumit. Padahal, sumber masalah utamanya hanya selembar kertas bernama SPT pajak.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Zulfi Syarif Koto, Mantan Deputy Menteri Perumahan bidang Perumahan Formal, mulai merasakan pusingnya menjalankan bisnis properti di tanah air. Salah satu penyebab kepusingannya adalah amburadulnya regulasi yang memayungi bisnis properti. Padahal, regulasi tersebut justru dibuat ketika Zulfi masih menjadi salah satu pejabat di Kementerian Perumahan Rakyat.
Salah satu regulasi yang saat ini menjadi momok di kalangan stakeholder properti, terutama yang terkait dengan perumahan menengah bawah, adalah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak.
Lho kenapa SPT malah jadi tertuduh? Usut punya usut, ternyata SPT merupakan salah satu kewajiban administrasi yang harus dipenuhi tatkala seorang calon konsumen ingin melakukan akad kredit.
Dari sekian banyak persyaratan administrasi, SPT ini merupakan persyaratan yang paling banyak menggagalkan seorang calon konsumen merealisasikan mimpinya memiliki rumah dengan memanfaatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang ditopang Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Bayangkan, dari target penyediaan rumah sebanyak 184 ribu unti Rumah Sejahtera Tapak (RST), baru terdistribusi tak sampai separuhnya.
Hingga akhir semester I 2011, realisasi akad kredit pembelian rumah dengan dukungan KPR FLPP baru sebanyak 69 ribu unit. Itupun semuanya direalisasikan oleh PT Bank Tabungan Negara (BTN), sementara kucuran KPR FLPP dari perbankan lain seperti BNI, Bukopin, bank pembangunan daerah sampai BPR, tak jelas hasilnya. Angka ini bisa lebih besar lagi jika SPT tak bermasalah. Pasalnya, ada 11 ribu calon konsumen BTN yang masuk waiting list untuk merealisasikan transaksinya.
Irman A. Zahiruddin, Direktur Bank BTN, menyatakan, kendala terbesar realisasi fasilitas likuiditas adalah persyaratan memiliki Nomor Peserta Wajib Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak. Dia menyebut, sekitar 30% pembeli terhambat di NPWP dan SPT. SPT baru bisa didapatkan dengan menunjukkan NPWP. Tapi, tidak seluruh nasabah bersedia membuat SPT.
Meski banyak kendala yang mengganggu, namun Direktur BTN Irman A. Zahiruddin mengaku tetap optimis target realisasi penyaluran KPR FLPP untuk 120 ribu bakal tercapai dalam tahun ini. Meskipun, imbuh Irman, untuk itu BTN harus menggenjot penyaluran KPR FLPP sepanjang Agustus sampai Desember 2011. “Rata-rata, realisasinya harus sebanyak 15 ribu unit per bulannya,” jelas Irman.
Sayangnya, niat baik BTN kurang didukung oleh kinerja Badan Layanan Umum (BLU) pembiayaan perumahan. Pasalnya, dari sekitar 42 ribu unit rumah yang sudah direalisasikan KPRnya oleh BTN, bank khusus perumahan itu baru bisa mendapat ganti hanya untuk 40 ribu unit saja. Artinya, BLU Pembiayaan Perumahan masih berhutang kepada BTN senilai 2000 unit rumah atau sekitar Rp 140 miliar. Artinya, jika tak segera diganti, maka ada potensi 2000 konsumen gagal merealisasikan rumah dengan KPR FLPP.
Saat berdiskusi yang difasilitas Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera), Rabu (10/8) kemarin, para pejabat Kemenpera seperti Deputy Bidang Pembiayaan Perumahan Sri Hartoyo dan Kepala BLU Pembiayaan Perumahan Gusmartieny terlihat bersikap defensif menanggapi seretnya realisasi transaksi pembelian rumah dengan KPR FLPP.
Baik Sri Hartoyo maupun Gusmartieny, mengaku sudah bekerja super keras agar target pengucuran KPR FLPP bisa maksimal. Sayangnya, fakta di lapangan menunjukan kenyataan berbeda.
Dengan kondisi seperti ini, ide besar pemerintah dalam program penyediaan perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah hanya seperti tong kosong nyaring bunyinya. Suara besar tapi isinya kosong melompong.
Tak heran, kalau para pejabat itu menyalahkan kalangan pengembang saat gagal mencapai target realisasi KPR FLPP untuk 184 ribu unit rumah. Bagi mereka, minimnya realisasi KPR FLPP akibat seretnya pasokan rumah murah dari para pengembang.
Sebagai entitas bisnis, perumahan adalah pasar utama para developer. Des, tak mungkin developer ogah membangun rumah untuk konsumen jika transaksi mudah dan murah. Masalah, jika developer membangun banyak rumah namun tak bisa diserap konsumen hanya gara-gara urusan administrasi seperti SPT, maka pengembang yang bakal terancam bangkrut karena investasinya mandeg.
Menurut Setyo Maharso, Ketua Umum Persatuan Real Estat Indonesia (REI), banyak konsumen di daerah membatalkan pembelian rumah dengan fasilitas likuiditas karena mengaku tidak mau repot mengurus NPWP dan SPT.“Kalau persyaratannya terlalu ketat juga sulit bagi kami," ujarnya.
Kondisi seperti jangan sampai seperti lorong tak berujung. Harus ada langkah terobosan yang dilakukan segera. Apabila pemerintah diam berpangku tangan saja, maka masyarakat berpenghasilan rendah yang dirugikan karena mereka sulit mendapat rumah.
Kini, Zulfi menyesali keputusannya mendukung keputusan Menpera Suharso Monoarfa dahulu yang memasukan SPT sebagai salah satu persyaratan memperoleh KPR FLPP. “Saya sudah menolak, karena bakal jadi sumber masalah di masa depan,” prediksi Zulfi saat itu.
Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Sebelum buburnya basi, lebih baik dicampur dengan ayam dan bumbu lain. Maksudnya, kalaulah saat itu Menpera salah mengambil keputusan, belum terlalu terlambat kesalahan itu diperbaiki. Misalnya, dengan mengeluarkan regulasi sementara yang bisa memungkinkan konsumen membeli rumah dengan KPR FLPP tanpa harus memiliki SPT Pajak.
Tanpa upaya para pengambil keputusan di Kementerian Perumahan Rakyat untuk mengambil keputusan berani, maka FLPP bakal menjadi program gagal. Persis seperti bubur yang tanpa campuran ayam dan bawang goreng.
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Luar Negeri dan Pembangunan Inggris (FCDO), meluncurkan Program…
NERACA Jakarta – Ketua Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) R. Azis Hidayat mengusulkan agar dibentuk Pelaksana Harian…
NERACA Indramayu — Pertamina EP melalui terobosan terbaru, yang disebut DOBBER (downhole scrubber), berhasil menurunkan angka loss production opportunity/LPO, dari…
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Luar Negeri dan Pembangunan Inggris (FCDO), meluncurkan Program…
NERACA Jakarta – Ketua Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) R. Azis Hidayat mengusulkan agar dibentuk Pelaksana Harian…
NERACA Indramayu — Pertamina EP melalui terobosan terbaru, yang disebut DOBBER (downhole scrubber), berhasil menurunkan angka loss production opportunity/LPO, dari…