NERACA
Jembrana – Pelaku industri tepung ikan, khususnya yang beroperasi di Bali, mengaku kesulitan pasokan bahan baku. Kendala bahan baku ikan dari laut inilah yang pada gilirannya membuat mereka hanya bisa memproduksi kurang dari 10% dari kapasitas produksi terpasang. Akibatnya, sembari menunggu pasokan bahan baku, para pelaku industri tersebut berupaya keras untuk hanya sekedar bertahan hidup.
Vice Director PT. Hosana Buana Tunggal (HBT) Tan Hendra Kurniawan mengatan industri tepung ikan yang dia kelola saat ini hanya mampu berproduksi kurang dari kapasitas yang dimiliki. Alasannya, bahan baku ikan dari nelayan sangat minim. Sehingga, pihaknya mengupayakan sejumlah langkah agar industri tersebut masih bisa bertahan.
“Untuk kendala bahan baku, sudah ada tiga tahun belakangan ini, kita hanya bisa produksi sekitar 15 ton per hari. Padahal kapasitas produksi sampai 480 ton per hari. Itu berarti sekitar 6,2% dari kapasitas terpasang,” kata Hendra kepada pers pada saat kunjungan kerja ke pabrik PT. HBT di Negara, Jembrana, Bali, pekan lalu.
Menurut dia, permintaan tepung ikan di pasar domestik, terutama untuk industri pembuat pakan ikan, sangat tinggi. Bahkan, berdasarkan data yang dia miliki, permintaan pasar ikan nasional sampai 120 ribu ton per tahun. Sekitar 80 ribu ton tepung ikan di antaranya didatangkan dari impor. “Pihak kami mampu pasok 7.200 ton per tahun. Jadi sekitar 7,2% dari total permintaan,” tambahnya.
Lebih jauh Hendra mengatakan, angka produksi sungguh kecil dibanding kapasitas produksi yang dimiliki, apalagi dibandingkan dengan permintaan pasar di dalam negeri. “Saya bilang, kecil sekali. Kita bisa produksi lebih dari 480 ton, tapi hanya bisa produksi 10-15 ton. Terus bagaimana solusinya, masih kita upayakan. Mungkin dengan kapasitas yang kecil kita bisa memaksimalkan produk yang lain. Apakah kita akan bikin yang edible oil atau fertilizer, itu produk unggulan yang bisa mendongkrak kelangsungan industri ini ke depan,” urainya.
Untuk menyiasati kekuarangan bahan baku, terkadang, PT. HBT membeli bahan baku ikan dari luar Pulau Dewata. “Kita beli dari luar Bali. Ikan kita beli dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ini untuk bertahan saja. Kita harus bisa produksi minimal 10-15 ton per hari untuk bertahan. Kalau tidak, akan susah betul,” jelasnya.
Sebagai informasi, tepung ikan (fish meal) adalah produk olahan yang berbahan dasar ikan. Bahan baku tersebut mengalami proses produksi seperti perebusan, pengepresan, pengeringan, serta penggilingan sehingga tercipta produk yang mengandung protein hewani yang nantinya dapat diperuntukkan sebagai bahan baku pangan, baik untuk konsumsi manusia atau hewan. Produk yang dihasilkan dari industri ini bisa merupakan tepung ikan, protein konsentrat, dan minyak ikan (fish oil).
Dijelaskan Hendra, PT. HBT sendiri merupakan perusahaan perikanan yang bergerak di bidang penepungan ikan (fish meal processing) dengan hasil samping berupa minyak ikan (fish oil) dan protein konsentrat . PT. HBT berdiri sejak tahun 1997 dengan kapasitas awal mencapai 75 ton/hari. Fasilitas penunjang yang dimiliki oleh PT. HBT adalah processing line (3 line), tricanter by flottweg (3 unit), separator (purifier) 3 unit dan tangki penampungan 4 unit.
Untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing serta meningkatkan kapasitas produksi, PT. HBT telah merencanakan untuk membuat fish oil in soft gel bekerjasama dengan IPB serta pembuatan pupuk cair (fertilizer) bekerjasama dengan Direktorat PPN, Ditjen P2HP. “Kami berusaha semaksimal mungkin agar bertahan di bidang industri penepungan ikan, dengan mencari peluang-peluang baru dalam pengembangan hasil produksi dengan mempertimbangkan nilai ekonomis maupun menjaga kesejahteraan orang banyak serta menciptakan industri ramah lingkungan (zero waste),” simpul Hendra.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Industri Direktorat Pengembangan Produk Non Konsumsi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dwi Budianto mengatakan, pihaknya memahami betul persoalan bahan baku yang mendera industri pengolahan tepung ikan, termasuk yang dialami oleh PT. HBT.
Kendati demikian, menurut Dwi, pihaknya tidak merekomendasikan untuk impor bahan baku, karena secara regulasi tidak diizinkan. Dwi menyarankan PT. HBT menginovasi produk di perusahaan tersebut, dalam hal ini produk turunan dari tepung ikan. “Memang sesuai aturan yang ada, impor ikan untuk pembuatan tepung tidak boleh. Karena tepung itu dianggapnya produk yang paling bawah. Kalau khusus untuk dibikin tepung, kelihatannya tidak dibolehkan. Kalau yang boleh diimpor adalah untuk produksi untuk pengalengan, untuk pindang,” kata Dwi.
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Luar Negeri dan Pembangunan Inggris (FCDO), meluncurkan Program…
NERACA Jakarta – Ketua Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) R. Azis Hidayat mengusulkan agar dibentuk Pelaksana Harian…
NERACA Indramayu — Pertamina EP melalui terobosan terbaru, yang disebut DOBBER (downhole scrubber), berhasil menurunkan angka loss production opportunity/LPO, dari…
NERACA Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama Kementerian Luar Negeri dan Pembangunan Inggris (FCDO), meluncurkan Program…
NERACA Jakarta – Ketua Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) R. Azis Hidayat mengusulkan agar dibentuk Pelaksana Harian…
NERACA Indramayu — Pertamina EP melalui terobosan terbaru, yang disebut DOBBER (downhole scrubber), berhasil menurunkan angka loss production opportunity/LPO, dari…