Menteri LH Ingatkan Ancaman Pidana dan Perdata Jika Proyek FSRU Sidakarya Rusak Terumbu Karang

NERACA

Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq mendesak Pemerintah Provinsi Bali agar memperhatikan dampak lingkungan dan sosial terkait rencana pembangunan Floating Storage Regasification Unit (FSRU), di Pantai Sidakarya, Denpasar Selatan.

Pasalnya, lokasi pembangunan FSRU Sidakarya yang dipilih oleh Pemprov Bali hanya berjarak 500 meter dari garis pantai dan dinilai membawa potensi risiko besar terhadap keselamatan lingkungan hidup serta mengganggu keberlanjutan pariwisata Bali.

Hanif sendiri mengingatkan acaman pidana dan perdata jika nantinya proyek tersebut sampai berdampak terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove dan habitat penyu yang selama ini menjadi bagian pariwisata lingkungan penting di Pantai Sidakarya, Bali.

"Semua pihak akan dilibatkan untuk membahas ini. Bilamana dari kajian teknis dengan tim expert yang kami miliki baik di provinsi, kabupaten kota, maupun di kementerian kita menolak terkait dengan teknologi ini, maka dipastikan proyek ini belum terwujud di sini," tegas Hanif saat kunjungan ke lokasi FSRU Sidakarya, Denpasar, Bali pada Selasa (27/5/2025), seperti dikutip dari video yang tayang di YouTube, Kamis (29/5/2025).

Dia menambahkan, jika sampai nanti proyek pembangunan FSRU Sidakarya tetap dipaksakan dan mengganggu ekositem terumbu karang, mangrove ataupun penyu yang menjadi biodiversity (keanekaragaman hayati) Pantai Sidakarya, maka kementeriannya tidak segan-segan untuk mengenakan pasal pidana dan mengajukan gugatan perdata ke Pemprov Bali dan pihak yang bertanggung jawab terhadap pembangunan tersebut.

"Nah kondisi kita berdiri hari ini tidak jauh dari kita, berdasarkan peta yang saya miliki, peta lingkungan hidup yang saya miliki merupakan landasan dari coral (terumbu karang). Terumbu karang ini yang kemudian harus dicermati karena didalam penanganan pembangunan terminal pasti tidak bisa dihindari penggalian-penggalian itu. Dan kita ingin memastikan bahwa konstruksi ini seminimal mungkin, bahkan kalau bisa menghindari kerusakan terumbu karang," ungkapnya.

"Kalaupun rusak, maka dengan cepat kami akan menagihkan ke Bapak biaya konstruksi di tempat lain. Jadi begitu Bapak menyentuh coral, dua hal yang akan dikenakan kepada Bapak, pengenaan pidana dan gugatan perdatanya. Baik itu ganti rugi lingkungan maupun pemulihan lingkungan. Jadi dua ini pasti kena kepada siapapun yang mengganggu coral. Ini harus patut dicermati," tegasnya.

Hanif juga menyinggung soal keberadaan ekosistem mangrove dan penyu di Pantai Sidakarya yang selama ini menjadi potensi wisata andalan di Bali.

"Kemudian keberadaan ekosistem seperti penyu yang juga menjadi wisata kita, mangrove dan seterusnya. Karena konon katanya lampu-lampu itu membuat penyu tidak bertelur Pak. Samalah kita kalau masih lampu nyala di kamar pasti gak bisa berproduksi. Ini lampunya harus dimatiin. Apakah seperti itu nanti teman-teman expert di bidang biodiversity yang akan mendalami dengan detail," pungkasnya.

Ditolak Masyarakat Adat

Sebelumnya rencana pembangunan FSRU Sidakarya Denpasar yang diperuntukan untuk pembangkit PLN Bali juga mendapat penolakan keras dari masyarakat adat setempat.

Pasalnya, lokasi pembangunan FSRU Sidakarya yang hanya berjarak 500 meter dari garis pantai dinilai membawa potensi risiko besar terhadap keselamatan masyarakat, lingkungan, dan keberlanjutan pariwisata Bali.

Terlebih lagi lokasi tersebut sangat dekat dengan kawasan padat penduduk, destinasi wisata Pantai Sanur, dan Pulau Serangan.

Selain itu, lokasi yang dipilih juga hanya memiliki kedalaman berkisar 6-8 meter, sehingga diperlukan pengerukan besar-besaran hingga 15 meter untuk mencapai kedalaman ideal sekitar 23 meter seperti FSRU Lampung.

Dikhawatirkan dampak dari pengerukan besar-besaran tersebut akan merusak habitat laut, meningkatkan kekeruhan, sedimentasi, serta mengganggu biota laut dan ekosistem mangrove di Taman Tahura Ngurah Rai yang berdekatan, dan penempatan FSRU berdekatan dengan daratan sangat membahayakan, banyak terdapat kawasan suci di pesisir, pun juga kawasan pariwisata sekitar seperti Sanur akan terdampak.

Bendesa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha meminta rencana proyek ini dilakukan kajian lebih lengkap terhadap dampak ekologis dan sosial di wilayah pesisir Bali Selatan mengingat rencana proyek ini dibangun sangat dekat dengan wilayah desa adatnya.

“Dalam pertemuan kemarin di Hotel Mercure di Sanur, kita diajak membahas tentang amdalnya. Salah satu yang tidak tertuang adalah soal kajian pariwisata dimana kalau kita lihat dari aspek geografis, bahwa pembangunan LNG sangat dekat palemahan Desa Adat Serangan,” ungkapnya saat dikonfirmasi wartawan dari Jakarta, Selasa (20/5/2025).

Nyoman Pariatha menegaskan masyarakat, nelayan dan pekerja pariwisata di kawasan tersebut tentu akan terdampak jika tidak dikaji secara matang. Ia berharap hal ini perlu diperhatikan agar pengaturan wilayah laut berjalan lancar, nyaman dan tidak merugikan.

“Yang menjadi usulan kami tentu harus jelas persoalan dampaknya, karena mengingat investasi besar LNG di kemudian hari bisa timbul berbagai masalah,” tegasnya.

Penolakan yang sama juga disuarakan oleh Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yang menilai rencana pembangunan FSRU Sidakarya akan membawa dampak visual dan polusi cahaya yang ditimbulkan oleh keberadaan kapal FSRU berukuran raksasa (290–300 meter panjangnya) yang harus dinyalakan terang pada malam hari untuk navigasi, mengganggu pemandangan dan kenyamanan warga.

Sebagai perbandingan, FSRU di lokasi lain seperti Lampung, Teluk Jakarta, dan OLT Toscana Italia ditempatkan jauh dari garis pantai — antara 12 hingga 22 kilometer — untuk meminimalkan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. FSRU Lampung, misalnya, ditempatkan sejauh 21 kilometer dari pantai guna memastikan panas radiasi dan awan gas dari skenario kecelakaan terburuk dapat mereda sebelum mencapai daratan.

Rencana pembangunan FSRU Sidakarya yang berjarak 500 meter dari daratan bertolak belakang dengan standar keselamatan global, harus ada evaluasi ulang demi keselamatan rakyat Bali dan kelestarian lingkungan. LMND juga menilai perlu adanya studi kelayakan ulang yang transparan, melibatkan masyarakat, dan mempertimbangkan opsi lokasi lain yang lebih aman dan ramah lingkungan. (Mohar/Iwan)

 

 

BERITA TERKAIT

MK: Pendidikan Dasar Gratis di Negeri dan Swasta Diterapkan Bertahap

NERACA Jakarta - Mahkamah Konstitusi menyatakan pemerintah pusat dan daerah harus menggratiskan pendidikan dasar di SD, SMP, dan madrasah atau…

Polri Dukung Iklim Investasi yang Bebas dari Premanisme

NERACA Jakarta - Polri mendukung terwujudnya iklim investasi di Indonesia yang bebas dari aksi premanisme dengan menjaga keamanan dan ketertiban…

Polri Siap Kolaborasi dengan KLH dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan

NERACA Jakarta - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan siap berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam upaya menjaga kelestarian…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

MK: Pendidikan Dasar Gratis di Negeri dan Swasta Diterapkan Bertahap

NERACA Jakarta - Mahkamah Konstitusi menyatakan pemerintah pusat dan daerah harus menggratiskan pendidikan dasar di SD, SMP, dan madrasah atau…

Polri Dukung Iklim Investasi yang Bebas dari Premanisme

NERACA Jakarta - Polri mendukung terwujudnya iklim investasi di Indonesia yang bebas dari aksi premanisme dengan menjaga keamanan dan ketertiban…

Polri Siap Kolaborasi dengan KLH dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan

NERACA Jakarta - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menyatakan siap berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam upaya menjaga kelestarian…