NERACA
Putrajaya – Indonesia dan Malaysia sama-sama memandang penting peran Komite Gabungan Bidang Perdagangan dan Investasi (Joint Trade and Investment Committee/JTIC) Indonesia-Malaysia dalam peningkatan hubungan dagang kedua negara. Pertemuan bilateral tersebut dihadiri oleh Menteri Perdagangan RI Budi Santoso dengan Menteri Investasi, Perdagangan, dan Industri Malaysia Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Bin Tengku Abdul Aziz. Pertemuan berlangsung di Putrajaya,Malaysia.
Menteri Perdagangan RI Budi Santoso, mengatakan, komite gabungan menjadi salah satu instrumen untuk mengeksplorasi berbagai peluang dagang dan investasi Indonesia dan Malaysia. Adapun untuk mendukung hal tersebut, Indonesia siap menjadi tuan rumah pertemuan JTIC ke-4 pada 2025.
“Indonesia dan Malaysia memandang penting peran JTIC Indonesia-Malaysia sebagai forum bilateral antara kedua negara untuk membahas isu perdagangan dan investasi. Kami juga menyampaikan kepada Menteri Zafrul bahwa Indonesia siap menjadi tuan rumah pelaksanaan JTIC ke-4,” ungkap Budi pasca pertemuan.
Dalam pertemuan, kedua menteri juga membahas berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perdagangan antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia dan Malaysia juga akan mempererat kolaborasi untuk mengatasi hambatan-hambatan perdagangan bagi komoditas ekspor kedua negara.
Lebih lanjut, Budi menyampaikan, Indonesia mendukung Priority Economic Deliverables (PED) Malaysia pada keketuaannya di ASEAN tahun 2025.
Pada periode Januari—November 2024, total perdagangan kedua negara adalah USD21,1 miliar. Ekspor Indonesia ke Malaysia sebesar USD10,9 miliar dan impor Indonesia dari Malaysia USD10,1 miliar. Surplus perdagangan Indonesia sebesar USD800 ribu terhadap Malaysia.
Pada 2023, Malaysia adalah tujuan ekspor ke-6 dan sumber impor ke-5 bagi Indonesia. Total perdagangan kedua negara mencapai USD 23,2 miliar. Ekspor Indonesia ke Malaysia USD 12,5 miliar, sementara impor Indonesia dari Malaysia USD 10,8 miliar. Indonesia mencatatkan surplus terhadap Malaysia sebesar USD 1,7 miliar.
Pertumbuhan nilai perdagangan kedua negara dalam lima tahun terakhir (2019—2023) mencapai 13,8 persen. Adapun untuk 2023, komoditas ekspor nonmigas utama Indonesia ke Malaysia, antara lain, bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati maupun hewani, kendaraan, besi dan baja, serta tembaga.
Di sisi lain, komoditas impor nonmigas utama Indonesia dari Malaysia, antara lain, reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; plastik; mesin dan perlengkapan elektronik; bahan kimia organik; serta besi dan baja.
Tidak hanya itu, saat di Malaysia juga disepakati penguatan kerja sama strategis, termasuk bidang perdagangan dan investasi. Salah satunya, terkait pengelolaan industri kelapa sawit yang menjadi komoditas utama kedua negara.
“Pada pertemuan, Presiden Prabowo mengatakan, setiap negara yang dikunjungi selalu mengatakan perlu kelapa sawit. Presiden Prabowo pun berharap kerja sama Indonesia dan Malaysia untuk sektor ini dapat ditingkatkan,” kata Budi.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen terbesar kelapa sawit dunia yang mencakup 80 persen dari produksi global. Oleh karena itu, Budi mengapresiasi dukungan Malaysia dalam peningkatan kerja sama di sektor kelapa sawit.
Budi juga mengatakan, Kementeriian Perdagangan (Kemendag) siap menindaklanjuti berbagai upaya untuk memperkuat kerja sama di sektor kelapa sawit.
“Indonesia berharap kolaborasi Indonesia dan Malaysia tetap berlanjut untuk mengatasi munculnya hambatan-hambatan ekspor sawit baru di berbagai negara,” ujar Budi.
Terkait sawit, Kemendag berhasil membuktikan diskriminasi yang dilakukan oleh Uni Eropa (UE) dalam sengketa dagang kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO).
Secara umum, Panel WTO menyatakan, UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.
Sehingga jika pakar sawit di Indonesia, Prof. Dr. Budi Mulyanto, mengatakan bahwa pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut sawit sebagai aset nasional itu sudah sangatlah tepat. Hal tersebut lantaran mengingat tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Saat ini, luas area tanaman sawit di Indonesia telah mencapai 16,8 juta hektare, dan dari luas tanaman tersebut suda.
“Apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo bahwa sawit adalah aset nasional, menurut saya sangat tepat. Saya ulangi, sangat tepat. Karena apa? Karena tanaman sawit itu bisa tumbuh dengan sangat baik di Indonesia,” kata Prof. Budi.
NERACA Jakarta – Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menegaskan komitmennya untuk menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai sentra produksi jagung nasional dalam…
NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan kualitas layanan perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk menjaga…
NERACA Jakarta – Pemerintah menargetkan untuk sepenuhnya menghentikan impor beras pada tahun 2026 mendatang sebagai bagian dari strategi nasional menuju…
NERACA Jakarta – Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman menegaskan komitmennya untuk menjadikan Provinsi Gorontalo sebagai sentra produksi jagung nasional dalam…
NERACA Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan kualitas layanan perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk menjaga…
NERACA Jakarta – Pemerintah menargetkan untuk sepenuhnya menghentikan impor beras pada tahun 2026 mendatang sebagai bagian dari strategi nasional menuju…