Hapus Tagih Kredit Bisa Atasi Hambatan KPR Akibat Pinjol

NERACA

Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan kebijakan hapus tagih kredit di bank BUMN bisa mengatasi hambatan pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR) akibat pinjaman online (pinjol).

Dalam Dialog Interaktif Seri Kedua: Program 3 Juta Rumah di Jakarta, Jumat (29/11), ia menjelaskan implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 akan membantu menyelesaikan masalah yang dikeluhkan para pengembang mengenai kesulitan calon debitur mengajukan KPR Subsidi karena memiliki utang macet di pinjol.

“Kalau dihapus tagih maka otomatis (kredit macet) para petani dan nelayan yang tercatat di Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK akan terhapus bersih. Ini akan membantu mereka untuk mengajukan kredit termasuk kredit perumahan,” ujar Dian.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu mengatakan pinjol kerap menjadi kendala bagi masyarakat untuk mengakses pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi.

"30 persen aplikasi yang diajukan ke pengembang untuk beli rumah KPR Subsidi ditolak karena Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merah akibat pinjol," kata Nixon.

Sementara dari sisi bank, ketentuan mengenai SLIK OJK bersifat mutlak sehingga harus dipatuhi oleh perbankan.

Maka, BTN menilai persoalan pinjol perlu didiskusikan agar muncul solusi yang dapat membantu masyarakat bisa mengakses KPR Subsidi.

Sebelumnya, Asisten Deputi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gede Edy Prasetya menyebut, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dapat menjadi alternatif akses pembiayaan menggantikan pinjaman daring (pinjol).

Dirinya mengajak masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas layanan KUR dalam mendapatkan akses pembiayaan di sektor produktif dibandingkan menggunakan layanan pinjol.

Menurutnya, pembiayaan lewat KUR relatif lebih aman untuk diakses daripada pinjol yang kerap menimbulkan masalah terkait penyalahgunaan data pribadi nasabah.

Selain itu, dibandingkan pinjol, KUR juga menawarkan bunga yang kompetitif dan tidak perlu adanya tambahan agunan untuk nilai pinjaman maksimal Rp100 juta. Gede menjelaskan, saat ini tingkat kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) KUR cukup terjaga, yakni berada di angka 2,19 persen.

Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal mengkaji rencana peningkatan kuota Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang diusulkan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait.

Menteri PKP, atau yang akrab disapa Ara, mengusulkan kuota penyaluran KPR FLPP untuk ditingkatkan dari 200 ribu unit menjadi 800 ribu unit pada tahun depan.

“Kemenkeu menerima rencana peningkatan kuota FLPP dan akan didiskusikan dalam pembahasan RAPBN tahun 2025,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam Dialog Interaktif Seri Kedua: Program 3 Juta Rumah di Jakarta, Jumat (29/11).

Selain itu, Kemenkeu juga mendukung adanya sumber pendanaan alternatif untuk bisa mendukung pembiayaan jika skema pembiayaan diubah.

“Untuk bisa mendesain ulang FLPP, kita perlu menyesuaikan aturan-aturan yang ada dan penambahan kuota akan masuk ke pembahasan tahun depan karena ada hitungan berapa belanja, penerimaan, dan lain-lain,” ujar dia.

Berdasarkan rencana Kementerian PKP, skema pembagian porsi pembiayaan FLPP akan diubah menjadi 50 persen dari negara dan 50 persen dari perbankan agar tidak membebani keuangan negara, dengan penambahan masa atau tenor kredit menjadi 30 tahun agar angsuran menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat.

Saat ini, pembagian proporsi dukungan FLPP masih 75 persen berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan 25 persen dari perbankan, dan tenor selama 20 tahun.

Sementara itu, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) Nixon LP Napitupulu menyampaikan kenaikan kuota FLPP menjadi 800 ribu unit akan memerlukan lebih dari Rp70 triliun, jauh lebih besar dari pendanaan FLPP saat ini hampir Rp30 triliun.

Jika skema pembagian proporsi diubah menjadi 50 persen-50 persen antara APBN dan perbankan, maka BTN memerlukan alternatif sumber pendanaan di luar dana pihak ketiga (DPK) reguler. Salah satunya yakni penerbitan obligasi dan pinjaman luar negeri yang nilainya bisa mencapai sekitar Rp10 triliun hingga Rp12 triliun.

“Selain menyiapkan DPK, kami ingin menerbitkan bonds (obligasi), namun usulan kami adalah supaya obligasi tersebut bisa dijamin pemerintah, sehingga akan lebih murah untuk kami dan size yang didapat bisa lebih besar. Kami juga akan mencari kanal-kanal pinjaman luar negeri dan saat ini kami sedang banyak bertemu dengan investor,” ujar Nixon. (Mohar/Ant)

 

BERITA TERKAIT

LG Perkuat Posisi di Pasar AC Komersil

  NERACA Jakarta – Mengawali tahun 2025, PT LG Electronics Indonesia (LG) Bersiap untuk memperkuat posisinya di sektor pendingin udara…

LG Produksi Kulkas Tok Tok di Dalam Negeri

  NERACA Tangerang – Beberapa waktu lalu, sempat viral kulkas yang ketika diketuk pintunya atau “tok tok” langsung menyala lampu…

SIG Komitmen Bantu Target 3 Juta Rumah Lewat Inovasi Bata Interlock

NERACA Jakarta - PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) berkomitmen mendukung Pemerintah mencapai target 3 juta rumah per tahun melalui…

BERITA LAINNYA DI Hunian

LG Perkuat Posisi di Pasar AC Komersil

  NERACA Jakarta – Mengawali tahun 2025, PT LG Electronics Indonesia (LG) Bersiap untuk memperkuat posisinya di sektor pendingin udara…

LG Produksi Kulkas Tok Tok di Dalam Negeri

  NERACA Tangerang – Beberapa waktu lalu, sempat viral kulkas yang ketika diketuk pintunya atau “tok tok” langsung menyala lampu…

SIG Komitmen Bantu Target 3 Juta Rumah Lewat Inovasi Bata Interlock

NERACA Jakarta - PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG) berkomitmen mendukung Pemerintah mencapai target 3 juta rumah per tahun melalui…